Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desrina Putri Marlip
"Kehilangan gigi permanen merupakan salah satu indeks kesehatan gigi-mulut. Kehilangan gigi permanen disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat dicegah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi alasan ekstraksi gigi permanen berdasarkan jenis kelamin, umur, dan elemen gigi pasien RSGM-P FKG UI periode 1 September 2011-31 Agustus 2012. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Hasil penelitian adalah penyebab ekstraksi karies (51,3%), orthodontik (28,9%), impaksi (11,4%), penyakit periodontal (4,1%), trauma (2,3%), dan preprostetik (2,0%). Wanita lebih banyak melakukan ekstraksi (69,7%). Ekstraksi gigi permanen banyak pada usia 21-30 tahun (33,9%). Elemen gigi paling banyak diekstraksi adalah gigi premolar satu (29,5%) karena perawatan orthodontik.

Permanent tooth loss can be caused by many factors that can be prevented. This research aims to identify distribution and frequency the reason of permanent tooth according to gender, age, and tooth element in RSGM-P FKG UI period 1st September 2011-31st August 2012. This research is retrospective descriptive study. The reasons of extraction consist of caries (51,3%), orthodontic (28,9%), impaction (11,4%), periodontal disease (4,1%), trauma (2,3%), and pre-prosthetic reason (2,0%). Extraction of permanent tooth is mostly done in females (69,7%). First premolar is the most common permanent tooth extracted (29,5%) because of orthodontic treatment. Tooth permanent extraction most widely performed in 21-30 years group (33,9%)."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S44917
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halimah Hasan
"ABSTRAK
Latar Belakang: Asimetri pada wajah dan lengkung gigi merupakan fenomena yang dapat ditemui hampir pada seluruh individu sehingga saat ini asimetri dengan batas-batas tertentu masih dianggap seimbang secara klinis dan dinilai normal. Asimetri mandibula merupakan asimetri yang paling sering terjadi dan mudah terlihat dikarenakan mandibula adalah bagian wajah yang paling mudah bergerak dibandingkan bagian wajah lainnya. Asimetri mandibula ditemukan paling tinggi dan dapat memengaruhi perawatan. Untuk mendiagnosis asimetri mandibula dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis ekstra oral yang meliputi pemeriksaan smile symmetry. Tujuan: Mengetahui frekuensi dan distribusi terjadinya asimetri mandibula pada mahasiswa angkatan tahun 2016 FKG UI dan mengetahui berapa persen mahasiswa yang mengalami asimetri mandibula. Metode: Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis gambaran klinis yang dilakukan untuk melihat adanya asimetri atau disporposi pada wajah tampak frontal khususnya pada mandibula. Analisis dilakukan dengan cara fotografi frontal dalam kondisi standar dan kondisi gigi tersenyum. Kesimpulan: Pada mahasiswa FKG UI angkatan 2016 terdapat 37 subjek (32,2%) dengan asimteri mandibula dan terdapat 57 subjek (49,6%) yang memiliki senyum tidak simetris.

ABSTRACT
Background: Facial asymmetry is a phenomenon found in almost every individual, thus asymmetry within certain boundaries is accepted as clinically balanced and normal. Mandibular asymmetry is the most common asymmetry that can occur and is easily seen because the mandibula is the part of the face that is most mobile compared to the rest of the face. Mandibular asymmetry are the most common asymmetry that can affect treatment for asymmetry. Mandibular asymmetry can be diagnosed by extra oral clinical examination which includes smile symmetry. Objective: Knowing the frequency and distribution of mandibular asymmetry in In Faculty Of Dentistry batch 2016 students and knowing what percentage of students experience mandibular asymmetry. Method: The method used in this research is clinical image analysis which is used to see whether asymmetry or facial disproportion on the frontal face image, especially on the mandibula, is present. The analysis is done via frontal photography in a standard setting. Conclusion : In Faculty Of Dentistry batch 2016, there were 42 subjects with mandibular asymmetry and 58 subjects with asymmetry smile."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raedi Mahardika
"Latar Belakang: Komplikasi edema pascaodontektomi merupakan komplikasi yang sering terjadi. Evaluasi terhadap proses penyembuhan luka yang ditandai dengan edema pascaodontektomi perlu dilakukan dalam kurun waktu tertentu agar dapat memberikan edukasi yang lengkap dan tepat sehingga pasien mendapatkan informasi yang jelas mengenai waktu penyembuhan dan kemungkinan komplikasi yang umum terjadi pascaodontektomi. Pada penelitian ini digunakan 3D Scanner ekstraoral untuk mengevaluaasi edema maksilofasial yang terjadi pada pasien pascaodontektomi gigi molar tiga mandibula dengan anastesi lokal Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi edema pascaodontektomi molar tiga bawah dengan anestesi lokal menggunakan teknologi 3D scanner esktra oral dalam pengukuran linear, ketebalan dan volumetrik. Metode: Sejumlah 55 pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi dilakukan pengukuran dalam aspek aksial, koronal, sagital menggunakan pemindaian 3D scanner ekstraoral pada wajah. File diubah dalam format .Stl menggunakan software einstar 3D. Pengukuran edema dilakukan dalam aspek sagital, axial, dan koronal pada pasien pada hari ke-0 sebelum tindakan odontektomi, hari kedua dan ketujuh pascaodontektomi secara tiga dimensi menggunakan software 3D builder dan mesh lab. Kemudian data dianalisis secara statistic menggunakan IBM SPSS 26 Hasil: Pola perubahan edema pascaodontektomi gigi molar tiga mandibula dari perhitungan linear, ketebalan, dan volumetrik dari gambar 3D yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu menunjukkan perubahan nilai yang cukup besar terjadi pada hari kedua. Dari hasil uji statistik dan grafik menunjukkan bahwa edema maksilofasial yang terjadi pada H2 mengalami kenaikan nilai secara linear dan volumetrik yang signifikan kemudian pada H7 mengalami penurunan secara signifikan. Namun pada H0 dan H7 masih terlihat adanya perbedaan sehingga kondisi edema maksilofasial tersebut masih belum mencapai nilai yang sama pada H0 atau sebelum tindakan odontektomi Kesimpulan :Terdapat perbedaan edema pada wajah pascaodontektomi gigi molar tiga mandibula dengan lokal anastesi pada hari ke-0, ke-2, ke-7 diukur secara linear, ketebalan dan volumetrik dengan nilai edema maksimal terjadi pada saat hari ke-2

Background: Post odontectomy edema is a frequent complication. Evaluation of the wound healing process characterized by post odontectomy edema needs to be carried out within a certain period of time in order to provide complete and appropriate education so that patients receive clear information regarding healing time and possible complications that commonly occur after odontectomy. In this study, an extra-oral 3D scanner was used to evaluate maxillofacial edema that occurred in post-odontectomy patients with mandibular third molars under local anesthesia. Objective: This study aims to evaluate post-odontectomy edema of lower third molars under local anesthesia using extra-oral 3D scanner technology in linear, thickness and volumetric measurements. Methods: A total of 55 patients who met the inclusion criteria had measurements taken in the axial, coronal and sagittal aspects using an extra-oral 3D scanner on the face. Files were converted in .Stl format using einstar 3D software. Edema measurements were carried out in the sagittal, axial and coronal aspects on patients on day 0 before odontectomy, the second and seventh days after odontectomy in three dimensions using 3D builder and mesh lab software. Then the data was analyzed statistically using IBM SPSS 26. Results: The pattern of changes in postodontectomy edema of the mandibular third molar from linear, thickness and volumetric calculations from 3D images carried out over a certain period of time shows that quite large changes in values occurred on the second day. From the results of statistical tests and graphs, it shows that the maxillofacial edema that occurred in H2 experienced a significant increase in linear and volumetric values, then in H7 it decreased significantly. However, at H0 and H7 there are still visible differences so that the condition of maxillofacial edema still has not reached the same value as at H0 or before the odontectomy. Conclusion : There are differences in edema on the face after odontectomy of mandibular third molars with local anesthesia on days 0, 2, 7, measured linearly, thickness and volumetrically with the maximum edema value occurring on day 2"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Alexandra
"ABSTRAK
Ameloblastoma merupakan aspek penting dalam patologi mulut dan maksilofasial.
Frekuensi dan distribusi ameloblastoma bervariasi di setiap negara, namun masih
sangat sedikit penelitian mengenai hal ini yang dilakukan di Indonesia. Penelitian ini
bertujuan mengetahui frekuensi dan distribusiameloblastoma di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo periode Januari 2008-September 2014. Analisis dilakukan pada 98
kasus ameloblastoma. Frekuensi dan distribusi dilihat berdasarkan usia, jenis
kelamin, dan tipe histopatologis. Mayoritas pasien berusia 30-39 tahun (33.67%) dan
berjenis kelamin laki-laki (59.18%) dengan perbandingan 1.45:1 terhadap
perempuan. Tipe histopatologis yang paling banyak ditemukan adalah tipe campuran
pleksiform dan folikuler (18.37%).

ABSTRACT
Ameloblastoma constitutes an important aspect of oral and maxillofacial pathology.
Frequency and distribution of ameloblastoma varies in different countries, however
very few studies have been done in Indonesia. This study aims to evaluate the
frequency and distribution of ameloblastoma cases in Dr. Cipto Mangunkusumo
General Hospital from January 2008-September 2014. 98 ameloblastoma cases were
analyzed. Frequency and distribution was analyzed based on age, gender, and
hisopathologic type. Most of the patients were 30-39 years old in age (33.67%) and
men were more involved than women (59.18%) with ratio 1.45:1. The most frequent
histopathologic type that was found is plexiform and follicular mixed type (18.37%).
"
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Nur Cahyo
"Latar Belakang: Gigi impaksi adalah gigi yang gagal erupsi atau berkembang di lokasi fungsional yang tepat. Molar ketiga yang impaksi diklasifikasikan menurut: Klasifikasi Winter dan Pell & Gregory. Klasifikasi musim dingin menjelaskan hubungan angulasi, sedangkan klasifikasi Pell & Gregory menjelaskan hubungan ramus dan kedalaman impaksi. Molar ketiga rahang bawah impaksi yang tumbuh tidak normal sehingga mengakibatkan kondisi patologis, salah satunya yang lainnya adalah karies distal pada gigi tetangga, molar kedua. Tujuan: Untuk mengetahui distribusi dan frekuensi karies distal pada gigi molar dua rahang bawah akibat gigi geraham ketiga yang impaksi di Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia periode 2015-2018. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif. Subjek Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medis Pasien RS Khusus Gigi dan Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia periode 2015-2018. Kesimpulan: Distribusi dan frekuensi pasien pasien bedah mulut dan odontektomi di Fakultas Kedokteran Gigi dan Mulut Kedokteran Gigi di Universitas Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, pada kunjungan pasien bedah mulut tertinggi yaitu pada tahun 2018 sebanyak 3290 pasien (31%), dan kunjungan pasien odontektomi tertinggi terjadi pada tahun 2018
sebanyak 859 pasien (36%), kasus yang ditemukan dalam penelitian ini, lebih menemukan pasien tanpa karies distal molar kedua mandibula
Universitas Indonesia iv sebanyak 181 kasus (66%) dibandingkan dengan yang karies, elemen gigi yang Paling sering ditemukan pada karies distal molar ketiga mandibula, yaitu pada gigi 37 sebanyak 60 kasus (57%), prevalensi tertinggi pada kedalaman karies distal molar kedua bawah terletak di dentin pada 63 kasus (59%), dan karies distal geraham bawah adalah umum

Background: Impacted teeth are teeth that fail to erupt or develop in the proper functional location. Impacted third molars are classified according to: Winter and Pell & Gregory classification. The winter classification describes the angulation relationship, while the Pell & Gregory classification describes the ramus relationship and impaction depth. The impacted mandibular third molar that grew abnormally resulted in pathological conditions, one of which was distal caries on the neighboring tooth, the second molar. Objective: To determine the distribution and frequency of distal caries in mandibular second molars due to impacted third molars at the Dental and Oral Special Hospital, Faculty of Dentistry, University of Indonesia for the period 2015-2018. Methods: This study is a retrospective descriptive study. The subject of this study used secondary data obtained from the medical records of patients at the Special Dental and Oral Hospital, Faculty of Dentistry, University of Indonesia for the period 2015-2018. Conclusion: The distribution and frequency of oral surgery and odontectomy patients at the Faculty of Dentistry and Oral Dentistry at the University of Indonesia has increased every year, the highest oral surgery patient visits were in 2018 as many as 3290 patients (31%), and the highest odontectomy patient visits happened in 2018
as many as 859 patients (36%), the cases found in this study, found more patients without caries distal to the mandibular second molar
University of Indonesia iv as many as 181 cases (66%) compared to those with caries, the most common dental element found in caries distal to the mandibular third molar, namely in tooth 37 as many as 60 cases (57%), the highest prevalence in the distal caries depth of the lower second molar is located in dentin in 63 cases (59%), and distal mandibular caries was common
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Afianjani Rahmadianti
"Latar Belakang: Gangguan sendi temporomandibular (TMJD) merupakan penyebab utama nyeri non-odontogenik di regio oro-fasial. Diagnosis dini dari TMJD penting dilakukan, namun kesadaran diri akan TMJD masih terbilang rendah. TMJD juga terjadi pada mahasiswa kedokteran gigi dengan persentase yang cukup tinggi, hal ini dapat dikaitkan dengan kurangnya kesadaran dan pengetahuan. Tujuan: mengetahui sejauh mana pengetahuan dan kesadaran diri akan tanda dan gejala TMJD pada mahasiswa FKG UI dan melihat hubungan antara keduanya. Metode: Studi deskriptif potong lintang pada 617 mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia menggunakan kuesioner pengetahuan, dan tanda dan gejala TMJD yang pernah digunakan dalam penelitian terdahulu di India. Hasil: Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kesadaran diri akan tanda dan gejala TMJD. Namun terdapat korelasi positif antara angkatan dengan tingkat pengetahuan dan korelasi negatif antara angkatan dengan tingkat kesadaran diri. Tingkat pengetahuan dan kesadaran diri mayoritas mahasiswa tergolong sedang serta tanda dan gejala yang paling banyak pernah dirasakan oleh mahasiswa yaitu pengalaman mendengar suara dari TMJ saat membuka atau menutup mulut. Kesimpulan: Semakin tinggi angkatan mahasiswa maka tingkat pengetahuan TMJD akan meningkat namun, tingkat kesadaran diri akan tanda dan gejala TMJD justru menurun.

Background: Temporomandibular Joint Disorder (TMJD) is the main cause of non-odontogenic pain in oro-facial region. Early diagnosis of TMJD urge to be done, however the self-awareness of TMJD is usually low. TMJD also occurred among dentistry students with significant percentage, this could be associated with the lack of awareness and knowledge. Objective: To understand the level of knowledge and self-awareness regarding the sign and symptoms of TMJD and its relations of the dentistry student in University of Indonesia. Methods: Descriptive cross-sectional was applied to 617 students using adapted questionnaire concerning knowledge, sign and symptoms of TMJD used by a similar study in India. Results: There is no association between knowledge level and self-awareness regarding the sign and symptoms of TMJD level. There is a positive correlation between student’s grade and the level of knowledge, however negative correlation appears between student’s grade and the level of self-awareness. The knowledge and self-awareness level among majority of students are moderate. The major sign and symptoms that mostly have ever felt by students is experiencing of noises within TMJ while opening or closing the jaw. Conclusion: Higher student’s grade tends to have higher TMJD knowledge level but lower TMJD sign and symptoms self-awareness level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aggil Segara Alamsyah
"Latar belakang: Ekstraksi gigi merupakan tindakan yang sangat kompleks sehingga dibutuhkan banyak keterampilan dan pengetahuan khusus. Dan hal tersebut dipelajari dalam pendidikan kedokteran gigi. Indonesia memiliki 32 universitas baik negeri maupun swasta yang menyediakan program sarjana dan profesi kedokteran gigi, termasuk Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Salah satu modul utama dalam kurikulum pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia adalah pembelajaran teknik ekstraksi gigi. Dan saat ini belum diketahui gambaran persepsi mahasiswa terhadap pembelajaran teknik ekstraksi gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Metode: Penelitian ini menggunakan deskriptif potong lintang pada 404 mahasiswa menggunakan kuesioner tentang persepsi mahasiswa terhadap pembelajaran teknik ekstraksi yang pernah dipakai sebelumnya. Hasil: Setiap angkatan menunjukkan variasi penilaian yang berbeda terhadap pembelajaran teknik ekstraksi gigi. Mayoritas mahasiswa yang menggunakan model pelatihan praklinik menganggapnya sebagai persiapan yang berguna untuk tindakan ekstraksi gigi pada pasien. Sebagian besar mahasiswa merasa bahwa pengetahuan mereka tentang anatomi dan kesiapan mereka untuk menghadapi komplikasi saat ekstraksi terhitung kurang. Selain itu, mayoritas mahasiswa merasa telah dilatih dengan baik dan merasa puas dengan pelayanan pendidikan yang diberikan dalam pembelajaran teknik ekstraksi gigi. Kesimpulan: terdapat beberapa perbedaan persepsi antar angkatan 2014 – 2017 terhadap pembelajaran teknik ekstraksi gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia

Background: Tooth extraction is a very complex procedure that requires a lot of special skills and knowledge. This is taught in dentistry education. Indonesia has 32 public and private universities that provide undergraduate and professional dental programs, including the Faculty of Dentistry, University of Indonesia. One of the main modules in the education curriculum of the Faculty of Dentistry, University of Indonesia is learning tooth extraction techniques. And currently, there is no known description of student perceptions of learning tooth extraction techniques at the Faculty of Dentistry, University of Indonesia. Methods: This study used a cross-sectional descriptive study on 404 students using a questionnaire about student’s perceptions of learning extraction techniques that had been previously used. Results: Each batch students showed a different variation in the assessment of learning tooth extraction techniques. The majority of students who use the preclinical training model consider it a useful preparation for dental extraction in patients. Most of the students felt that their knowledge of anatomy and their readiness to deal with complications during extraction was lacking. In addition, the majority of students felt that they had been properly trained and were satisfied with the educational services provided in learning tooth extraction techniques. Conclusion: There are several differences in perceptions between 2014 - 2017 students batches of learning tooth extraction techniques at the Faculty of Dentistry, University of Indonesia"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lully Kurniawan
"Latar Belakang : Defek pada mandibula yang tidak direkonstruksi dapat menyebabkan
morbiditas yang berat seperti gangguan mastikasi, bicara, dan estetika. Defek mandibula
dapat disebabkan oleh berbagai sebab diantaranya trauma, infeksi, kondisi patologis,
dan kongenital. Diperlukan tindakan rekonstruksi untuk memperbaiki defek tersebut.
Penggunaan autogenus bone graft masih merupakan pilihan utama dalam hal
rekonstruksi. Pada defek mandibula, rekonstruksi autogenus yang digunakan terdapat
dua pilihan yaitu vascularized graft dan non vascularized graft. Di Indonesia sendiri,
penggunaan vascularized bone graft sebagai penutupan defek belum banyak dilakukan
akibat dari kurangnya alat dan keterbatasan operator. Pemilihan rekonstruksi defek yang
lebih reliable yaitu dengan non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft
memiliki beberapa keunggulan yaitu morbiditas donor site lebih kecil, tidak
membutuhkan alat yang lebih kompleks dan tidak membutuhkan skill operator yang
lebih besar, walaupun tingkat keberhasilannya kurang. Resiko resorbsi dan infeksi pada
non vascularized graft lebih besar daripada vascularized graft. Semakin panjang non
vascularized bone graft yang digunakan maka semakin kecil pula tingkat kesuksesan
graft tersebut
Tujuan : Mengevaluasi pengaruh Platelet Rich Plasma (PRP) yang dicampur dengan
autogenous bone graft pada penyembuhan tulang mandibula (studi pada Ovis aries
sebagai model manusia). Material dan Metode : Penelitian metode quasi eksperimental dengan bentuk post test
with control group design ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh Platelet Rich
Plasma (PRP) yang dicampur dengan autogenous bone graft pada penyembuhan
mandibula Ovis aries secara klinis dan laboratoris (studi pada Ovis aries sebagai model
manusia).
Kesimpulan : Pemeriksaan klinis pada PRP dan Non-PRP dari hasil rata-rata tidak
terdapat perbedaan yang bermakna. Pemeriksaan laboratoris pada PRP dengan Non-
PRP sebelum dan sesudah operasi juga didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna

Background: Mandibular defects that are not reconstructed can cause serious
morbidity such as impaired mastication, speech, aesthetics. Mandibular defects can be
caused by a variety of causes including trauma, infection, pathological conditions and
congenital. Reconstruction is required to correct the defect. Autogenus bone graft is
still the main choice in terms of reconstruction. In mandibular defects there are two
options, vascularized graft and non vascularized graft. In Indonesia, the use of
vascularized bone graft as a closure defect has not been done much due to lack of tools
and operator limitations. The selection of reconstruction of more reliable defects i.e.
with non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft has several advantages
namely smaller donor site morbidity, does not require more complex tools and does not
require greater operator skills, although the success rate is less. The risk of resorbsi
and infection in non vascularized graft is greater than vascularized graft The longer
non vascularized bone graft is used the smaller the success rate of the graft.
Purpose: Evaluating the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with
autogenous bone graft on the amount of collagen in sheep (Ovis aries as a human
model).
Materials and Methods: Research on this experimental analytical method was
conducted to determine the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed withautogenous bone graft in clinical examination and laboratoris in sheep (Ovis aries as a
human model).
Conclusion: Clinical examination in PRP with Non-PRP from the average result there
is not a meaningful difference. Laboratory examination before and after operation in
PRP with Non-PRP also obtained not significantly different meaning
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Destiana Nur Fithri
"Latar Belakang:.Pembedahan kepala dan leher merupakan tindakan yang kompleks dan penuh tantangan karena berhubungan dengan pencernaan dan pernapasan. Dengan angka kejadian komplikasi yang cukup tinggi yaitu 17%, dibutuhkan tolok ukur yang dapat memprediksi komplikasi pascabedah terutama di bidang bedah mulut dan maksilofasial. Sistem skoring APACHE II pada penelitian terdahulu terbukti efektif dalam memprediksi kejadian komplikasi pascabedah reseksi dan rekonstruksi mandibula. Tujuan Penelitian: Mengetahui efektivitas sistem skoring APACHE II sebagai prediktor komplikasi pascabedah reseksi dan rekosntruksi tumor jinak mandibula. Metode Penelitian: Studi retrospektif tahun 2015 – 2020 pada subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Data diambil dari rekam medis pasien baik tertulis maupun digital. Analisis variabel kategorik dengan Uji Chi Square. Uji Mann-Whitney U untuk perbandingan rerata skor dua kelompok. Efektivitas skor APACHE II dinilai berdasarkan kurva ROC dan luas area dibawah kurva. Hasil: Dari 62 subjek penelitian, sebanyak 6 responden (9.7%) mengalami komplikasi pascabedah. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara semua variabel independen yang duji dengan peningkatan skor APACHE II (nilai p > 0.05). Rerata skor pada kelompok komplikasi lebih tinggi (4.83) namun pada Uji Mann-Whitney U nilai p > 0.05. Analisis ROC pada studi ini memiliki sensitivitas 50% dan spesifisitas 78.6% dengan nilai cut off point 5.5 dan luas area dibawah kurva ROC sebesar 0.558. Kesimpulan: Sistem skoring APACHE II terbukti efektif dalam memprediksi kejadian komplikasi pascabdedah reseksi dan rekonstruksi tumor jinak mandibula.

Background: Head and neck surgery is a complex and challenging procedure because it affect the digestion and respiration organ system. With a fairly high incidence of complications, namely 17%, an indicator is needed to predict postoperative
complications, especially in the field of oral and maxillofacial surgery. The APACHE II scoring system in a previous study proved to be effective in predicting the incidence of postoperative complications after mandibular resection and reconstruction. Objective: To determine the effectiveness of the APACHE II scoring system as a predictor of postoperative complications of mandibular resection and reconstruction of benign tumors. Methods: Retrospective study on subjects who met the inclusion criteria in the period of 2015 – 2020. The data is collected from the patient's medical record, both written and digital. Categorical variable is being analyze with Chi Square Test. While Mann-Whitney U test analyzing the comparison of the mean scores of the two groups. The effectiveness of the APACHE II score was assessed based on the ROC curve and the area under the curve. Results: Of the 62 research subjects, 6 respondents (9.7%) experienced postoperative complications. There was no significant difference between all tested independent variables with an increase in the APACHE II score (p value > 0.05). The mean score in the complication group was higher (4.83) but in the Mann-Whitney U test the p value was > 0.05. The ROC analysis in this study has a sensitivity of 50% and a specificity of 78.6% with a cut off point value of 5.5 and an area under the ROC curve of 0.558. Conclusion: The APACHE II scoring system proved to be effective in predicting the incidence of postoperative complications after surgical resection and reconstruction of benign mandibular tumors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rajagukguk, Erick Endrawan
"Latar Belakang: Parastesi adalah salah satu komplikasi yang sering terjadi setelah pembedahan gigi molar tiga rahang bawah impaksi, yang terjadi akibat cedera saraf inferior alveolaris. Diagnosis dan rekognisi factor-faktor risiko parastesi penting untuk mencegah terjadinya parastesi pasca pembedahan.Tujuan: Menganalisa faktor risiko parastesi pada gigi molar tiga rahang bawah impaksi berdasarkan gambaran panoramik setelah prosedur odontektomi dalam anestesi umum di RS Universitas Indonesia. Metodologi: Penelitian cross sectional dengan total sampling pada pasien dengan gigi molar tiga rahang bawah impaksi yang masuk kriteria inklusi. Analisis data dilakukan untuk melihat hubungan antara faktor risiko dan kejadian parastesi menggunakan analisis bivariate dan multivariate. Hasil Penelitian: Total sampel dalam penelitian berjumlah 658. Faktor yang berhubungan bermakna dengan parastesi adalah posisi gigi menurut Rood and Sheath (p<0.05) dan hanya pada gigi 38. Jenis kelamin dan usia pasien tidak berhubungan bermakna dengan kejadian parastesi (p>0.05). Posisi gigi dapat menjadi prediktor kejadian parastesi pada gigi 38 (ROC: 0.712). Kesimpulan: Posisi gigi terhadap kanalis mandibular menurut Rood and Sheath dapat menjadi predictor kejadian parastesi akibat cedera saraf inferior alveolaris.

Background: Parasthesia is one of the frequent complications after surgery of impacted mandibular third molar, which occurs due to injury of the inferior alveolary nerve. Diagnosis and recognition of risk factors for parasthesia are important to prevent post-surgical parasthesia.Objective: To analyze the risk factors of parasthesia in impacted mandibular third molar teeth after odontectomy procedure under general anesthesia at Universitas Indonesia Hospital. Methodology: Cross sectional study with total sampling in patients with impacted mandibular third molar teeth who met the inclusion criteria. Data analysis was performed to see the relationship between risk factors and the incidence of parasthesia using bivariate and multivariate analysis. Results: The total sample in the study amounted to 658. The factor that was significantly associated with parasthesia was tooth position according to Rood and Shehab (p<0.05) and only in tooth 38. Gender and age of the patient were not significantly associated with the incidence of parasthesia (p>0.05). Tooth position can be a predictor of the incidence of parasthesia in tooth 38 (ROC: 0.712). Conclusion: Tooth position to the mandibular canal according to Rood and Shehab can be a predictor of parasthesia due to inferior alveolary nerve injury."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>