Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yann Penduff
"ABSTRACT
Hypertension has been shown to be a risk factor for cerebral structural changes, but there is currently no evidence that hypertension control prevents their occurrence. We aimed to demonstrate whether controlling hypertension delays the occurrence of cerebral structural changes. We performed a cross sectional study comparing controlled and uncontrolled hypertensive patients to investigate whether structural changes occurred more in uncontrolled hypertensive patients, compared to controlled hypertensive patients. Data from 57 patients at RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo was collected between March and April 2017, in which we compared the occurrence of cerebral structural changes between the controlled and uncontrolled groups. Cerebral atrophy.

ABSTRACT
Hipertensi diketahui dapat mengakibatkan perubahan struktur di otak, namun sampai saat ini tidak ada bukti jelas bahwa hipertensi yang terkontrol dapat mencegah terjadinya perubahan struktural pada otak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keuntungan pengendalian tekanan darah dalam mencegah perubahan struktural otak pada pasien hipertensi. Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang, dengan membandingkan perubahan struktural otak pada pasien hipertensi terkontrol dan pasien hipertensi tidak terkontrol dan menilai apakah perubahan structural akan terjadi lebih banyak pada pasien tidak terkontrol dibandingkan dengan pasien terkontrol, Data pada penelitian diambil dari 57 pasien di RSUPN dr. Ciptomangunkusumo yang dikumpulkan pada periode Maret sampai April 2017. Pada grup pasien hipertensi tidak terkontrol, atropi otak."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dennis Oh
"Latar Belakang: Prevalensi keterlambatan tumbuh kembang di Indonesia masih cukup tinggi. Kuesioner Pra Skrining Perkembangan merupakan alat skrining yang digunakan untuk mendeteksi dini gangguan tumbuh kembang anak. Sensitifitas KPSP adalah 60%, yang merupakan nilai yang cukup rendah. Maka dari itu, alat skrining lain diperlukan untuk mencegah tidak terdeteksi anak yang mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian diagnostik potong lintang 101 anak sehat usia 0-5 tahun yang memenuhi kriteria inklusi di Kampung Lio, Kampung Gangsang, Kampung Tapos dan mal di Jakarta.
Hasil: Hasil menunjukkan bahwa KPSP dan BDI-2 ST tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p=0.078). Sensitifitas dan Spesifisitas BDI-2 ST masing-masing adalah 34.78% dan 92.31%. Umur dan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0.05) bagi nilai KPSP maupun BDI-2 ST. Pendidikan anak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0.05) untuk nilai KPSP tetapi tidak dengan nilai BDI-2 ST. Sebagian anak dengan KPSP skor pass tetap memiliki gangguan di 1 atau lebih domain BDI-2 ST (39.7%).
Konklusi: Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna dari nilai KPSP dan BDI-2 ST. Sensitifitas BDI-2 ST yang rendah diakibatkan oleh pemeriksaan yang hanya membandingkan skor total sedangkan seharusnya disertakan skor domain. Penggunaan KPSP sebagai reference test juga kurang memadai. Anak yang sudah melakukan skrining menggunakan KPSP sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan skrining dengan BDI-2 screening test untuk mendeteksi gangguan di area perkembangan tertentu.

Background: The prevalence of developmental delays in Indonesia is still high. Kuesioner Pra Screening Perkembangan is a questionnaire used to screen for developmental delays. The sensitivity of Kuesioner Pra Screening Perkembangan is 60%, which is still considered low. Therefore, different screening tests are required to prevent under-detection.
Methods: A diagnostic cross-sectional study of 101 healthy children aged 0-5 years old was done at Kampung Lio, Kampung Gangsang, Kampung Tapos, and malls in Jakarta.
Results: KPSP and BDI-2 ST does not have a significant difference (p=0.078). The sensitivity and specificity of BDI-2 ST is 34.78% and 92.31% respectively. Age and gender both do not show a significant correlation (p>0.05) with both KPSP and BDI-2 ST scores. Education, however, shows a significant correlation (p<0.05) with KPSP scores while not with BDI-2 ST scores. Some children with KPSP score pass still had at least 1 domain in BDI-2 ST that is refer (39.7%).
Conclusion: There is no significant difference between the scores of KPSP and BDI-2 ST. The low sensitivity of BDI-2 ST was caused by the assessment which compares only the total score when the domain scores needed to be taken into account. Usage of KPSP as a reference test also lacks in reliability. Subjects who have undergone KPSP screening should not stop there, and is recommended to continue with a BDI-2 screening test to detect developmental delays in specific areas.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Ulfah
"ABSTRAK
Gangguan kognitif ringan merupakan gejala awal dari perkembangan penyakit demensia yang dapat dicegah dan diperbaiki. Deteksi MCI menggunakan bantuan informan memiliki kelebihan dibandingkan pemeriksaan langsung ke lansia. Salah satu pemeriksaan berdasarkan informan adalah IQCODE-S. Tujuan dari penelitian ini untuk melakukan adaptasi lintas budaya, uji validitas dan reliabilitas IQCODE-S Bahasa Indonesia.Metode Penelitian. Penelitian dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama meliputi adaptasi lintas budaya berdasarkan ketentuan World Health Organization WHO , dilanjutkan uji validitas interna, reliabilitas interna dan reliabilitas test-retest pada 30 pasien epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi. Tahap kedua adalah uji diagnostik. Hasil IQCODE-S dengan titik potong ge;3,19 dibandingkan dengan pemeriksaan neuropsikologi sebagai baku emas.Hasil. Kuesioner IQCODE-S versi bahasa Indonesia didapatkan melalui proses adaptasi lintas budaya menurut WHO. Hasil uji validitas interna dengan korelasi Spearman didapatkan koefisien korelasi 0,382 hingga 0,778. Uji reliabilitas konsistensi interna dengan Cronbach rsquo;s Alpha 0,854. Perbedaan nilai koefisien korelasi dan Cronbach rsquo;s Alpha antara pemeriksaan pertama dan retest menunjukkan reliabilitas test-retest yang baik. Dari 63 subyek uji diagnostik, proporsi MCI hasil pemeriksaan neuropsikologi sebanyak 87,3 . Dengan titik potong ge;3,19, IQCODE-S memiliki sensitivitas 76,4 dan spesifisitas 87,5 . Kesimpulan. Kuesioner IQCODE-S versi Indonesia terbukti valid dan reliabel sehingga dapat digunakan untuk menapis MCI. Dengan titik potong ge;3,19, IQCODE-S memiliki nilai akurasi yang tinggi tapi belum dapat menjadi alat skrining MCI di komunitas.Kata Kunci. MCI, IQCODE-S versi Indonesia, uji validitas dan reliabilitas, uji diagnostik.

ABSTRACT
Mild cognitive impairment MCI is the most early clinical symptom from the progression stage of dementia which this stage can be prevented or fixed. Detection of MCI by using informant based report has many advantages compared with objective screening test. One of informant based tools is Informant Questionnaire on Cognitive Decline in the Elderly short version IQCODE S . The aim of this study is to develop transcultural adaptation, validity and reliability test and diagnostic test with neuropsychological test of the IQCODE S.Method. The study was conducted in two phases. The first phase included transcultural adaptation based on World Health Organization WHO standards, followed by internal validity test, internal reliability test and test retest in 30 elderly patients within their informants who fulfill the inclusion criteria. The second phase was diagnostic test, in which, IQCODE S, with cut off point ge 3,19,will be compared with Neuropsychological test as the gold standard examination for diagnosing MCI.Results. The Indonesian version of IQCODE S was obtained by transcultural adaptation based on WHO standards. Internal validity test with Spearman correlation obtained the correlation coefficient 0.38 to 0.778 Internal consistency reliability test with Cronbach rsquo s Alpha was 0.854. The difference of correlation coefficient and Cronbach rsquo s Alpha between the first and the retest showed good test retest reliability. Out of 63 of subjects of diagnostic test, the proportion of MCI using neuropsychological test was 87.3 . With cut off point 3,19, IQCODE S had sensitivity rate of 76,4 and specificity 87,5 .Conclusion. The Indonesian version of the the IQCODE S was proven to be valid and reliable, also was found to be accurate but there should be cut off point determination as screening test so sensitivity could be higher than specificity. Keywords. MCI, IQCODE S Indonesian version, validity and reliability test, diagnostic test. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naila Karima
"ABSTRAK
Nama : Naila KarimaProgram Studi : Magister Epidemiologi Komunitas Judul : Hubungan Diabetes Mellitus dengan Kejadian Gangguan FungsiKognitif Ringan pada Lansia Puskesmas Kecamatan Cipayung Kota Depok Tahun 2017Pembimbing : Dr.dr.Helda, MKesDiabetes mellitus merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Mild Cognitive Impairment MCI . MCI adalah gangguan fungsi kognitif ringan yang mengacu pada keadaan transisipenuaan normal dan demensia dan tidak mengganggu aktivitas harian. Tujuan penelitian iniadalah untuk mengetahui hubungan diabetes mellitus dengan kejadian gangguan kognitif ringanpada lansia di wilayah kerja puskesmas kecamatan Cipayung kota Depok. desain studi yangdigunakan adalah cross sectional menggunakan data primer dengan instrument MoCa-Inatervalidasi. Sampel berjumlah 272 pasien lanjut usia. Analisis data dilakukan menggunakan coxregression. Hasil analisis data diperoleh prevalensi MCI sebesar 47,1 dan lansia dengan DMsebesar 17,3 . Pada analisis multivariat didapatkan MCI berisiko 2,4 kali lebih besar pada lansiayang memiliki DM dibandingkan dengan lansia yang tidak memiliki DM setelah dikontrolvariabel hipertensi dan variabel interaksi DM dengan hipertensi PR=2,436 95 CI: 1,191-4,983 .Skrining deteksi dini MCI pada lansia dengan DM merupakan intervensi awal untukmencegah terjadinya demensia.Kata kunci:Diabetes mellitus DM , Mild Cognitive Impairment MCI , Lansia

ABSTRACT
Name Naila KarimaStudy Program Magister of EpidemiologyTitle Association Between Diabetes Mellitus in Elderly with IncidentMild Cognitive Impairment in Cipayung Health, Center Depok City, 2017Counsellor Dr.dr.Helda,MKesDiabetes mellitus is a risk factors of Mild Cognitive Impairment MCI . MCI is a transition phasebetween healthy cognitive aging and dementia. The purpose of this study is to determaine theassociation between diabetes mellitus in elderly with the incidence of MCI in Cipayung HealthCenter, Depok city. Study design was cross sectional using primary data with validated Montrealcognitive test for Indonesia MoCa Ina . Total sample of 272 elderly people age more than 60years old. cox regression analysis were applied in the research. The result of study showed theprevalence of MCI is 47,1 and elderly with DM is 17,3 . The result of multivariate analysisshowed the elderly people with diabetes mellitus probably had 2,4 risk to get MCI PR 2,43695 CI 1,191 4,983 than elderly with no diabetes after adjusted with hypertention andinteraction diabetes with hypertention variable. Screaning early detection of MCI in elderlywith diabetes mellitus is early intervention to prevent to dementia.Key words Diabetes mellitus DM , Mild Cognitive Impairment MCI , Elderly"
Depok: 2018
T51558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Suryo Aji
"Latar Belakang: Pengaruh sering kontak dengan white spirit di lingkungan kerja menjadi salah satu hal yang dicurigai sebagai pencetus penurunan atensi/konsentrasi/ingatan para mekanik sehingga terjadinya kecelakaan. Dari toxicological profilenya zat tersebut memiliki efek terhadap susunan saraf pusat yang kronis salah satunya adalah gangguan memori jangka pendek.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Subjek penelitian para mekanik kontraktor pertambangan batubara PT.A di Kalimantan Selatan, berjumlah 80 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pemeriksaan fisik, pemberian kuesioner serta pemeriksaan fungsi memori dengan RAVL dan ROCF test.
Hasil: Dari 80 sampel 57 (71,3%) mengalami gangguan memori jangka pendek. Tingkat pajanan ≥2,64 memiliki risiko 3,1 kali terjadi gangguan memori jangka pendek dibanding tingkat pajanan <2,64 (nilai p=0,048; OR=3,109; CI=1,012-9,551). Secara statistik faktor risiko yang bermakna adalah status gizi (nilai p=0,026; OR=0,276; CI=0,089-0,858) dan usia (nilai p=0,045; OR=0,310; CI=0,099-0,972)
Kesimpulan: Prevalensi gangguan memori jangka pendek para mekanik kontaktor PT.A sebesar 71,3%. Tingkat pajanan ≥2,64 memiliki risiko gangguan memori jangka pendek 3,1 kali lebih besar dari tingkat pajanan <2,64. Secara statisitik status gizi dan usia bermakna dalam risiko gangguan memori jangka pendek.
Kata kunci: gangguan memori jangka pendek, white spirit, tingkat pajanan.

Background: The effect of white spirit chemicals suspected as the cause of
attention/concentration/memories decreasses of mechanics. It can occurs the accidents. Having known of the toxicological profile that these chemicals have chronical effects on the central nervous system. Then one of the disorders examined is something related to the function of the central nervous system is impaired of short-term memory. Methods: This study used a cross-sectional design. The subjects are PT.A coal contractor mechanics in South Borneo, totaling 80 people. Data collected through interviews, physical examinations, questionnaires and examination administration with memory function RAVL and ROCF test.
Results: There are 80 samples of 57 (71.3%) experiencing short-term memory impairment. The white spirit exposure level ≥2,64 has risk 3,1 times bigger than white spirit exposure level <2,64 become a short term memory loss (p value=0,048; OR=3,109; CI=1,012-9,551). Statistically the factors that has a significant association are nutritional status (p value=0,026; OR=0,276;
CI=0,089-0,858) and age (p value=0,045; OR=0,310; CI=0,099-0,972)
Conclusion: 57 (71.3%) from 80 people experiencing short-term memory impairment. White spirit exposure level ≥2,64 has risk 3,1 times bigger than white exposure level <2,64 become a short term memory loss There are statistics relations between age dan nutritional status with short term memory loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Maulina
"Latar belakang: Metastasis leptomeningeal (ML) merupakan penyebaran sel tumor ke leptomening dan ruang subarakhnoid, dengan insidens yang semakin meningkat dan prognosis yang buruk. Analisis cairan serebrospinal (CSS) merupakan pemeriksaan penting dengan sitologi sebagai standar baku emas untuk deteksi sel tumor di CSS.
Metode penelitian: Studi potong lintang retrospektif multisenter untuk mengetahui gambaran analisis rutin dan sitologi CSS pada keganasan dengan kecurigaan ML yang dilakukan pungsi lumbal pada Januari 2018-Desember 2021. Dilakukan pencatatan data klinis, radiologis, jenis tumor, analisis rutin serta frekuensi pungsi lumbal, dan dianalisis hubungannya dengan sitologi CSS.
Hasil: Terdapat 153 subjek dengan abnormalitas analisis rutin CSS(75,2%) berupa peningkatan jumlah sel >5/uL(47,1%) dengan median 5(1-3504)/uL; peningkatan protein CSS >45 mg/dl (52,9%) dengan median 50 (5-820)mg/dl serta penurunan glukosa CSS <50 mg(15%) dengan median 68 (3-269)mg/dl. Proporsi sitologi CSS positif sel ganas 20,3%. Proporsi flow cytometry immunophenotyping CSS positif pada keganasan hematologi dengan kecurigaan ML 25,6%. Terdapat hubungan bermakna antara peningkatan sel, jenis keganasan hematologi, dan gambaran MRI dengan sitologi CSS (p<0,001;p=0,03;p=0,03). Tidak terdapat hubungan bermakna antara manifestasi klinis dan frekuensi pungsi lumbal dengan sitologi CSS.
Kesimpulan: Abnormalitas analisis rutin CSS didapatkan pada sebagian besar subjek keganasan dengan kecurigaan ML, dengan positivitas sitologi yang rendah. Gejala klinis yang bervariasi dan pengulangan pungsi lumbal tidak signifikan menaikkan kemungkinan sitologi CSS positif.

Background: Leptomeningeal metastases (LM) is a condition where malignant cells spread to leptomeninges and subarachnoid space, with increasing incidence and poor prognosis. Cerebrospinal fluid (CSF) analysis is an important examination with cytology as the gold standard for malignant cells detection in CSF.
Methods: A multicenter cross-sectional retrospective study to describe CSF routine analysis and cytology in suspected LM on January 2018-December 2021. Clinical manifestations, radiological data, tumor type, CSF routine analysis, and lumbal puncture frequency were recorded, and their correlation with CSF cytology was analyzed.
Results: There were 153 subjects with abnormalities on CSF routine analysis(75,2%), consist of CSF cell count >5/uL(47,1%) with median 5(1-3504)/uL, CSF protein >45 mg/dL(52,9%) with median 50(5-820) mg/dL, and CSF glucose <50 mg/dL(15%) with median 68(3-629)mg/dL. Positive CSF cytology result was 20,3%. Positive CSF flow cytometry immunophenotyping in hematological malignancy with suspected LM was 25,6%. There was significant correlation between the increase in CSF cell count, hematological malignancy, and MRI results with CSF cytology (p<0,001;p=0,03;p=0,03). There was no significant correlation between clinical manifestations and lumbal puncture frequency with CSF cytology.
Conclusion: Abnormalities of CSF routine analysis were found in majority subjects with suspected LM but CSF cytology positivity rate was considered low. The presence of varied clinical symptoms and repeated lumbal punctures didn’t increase the likelihood of positive CSF cytology.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardito Puspo Yugo
"Latar Belakang: Afasia merupakan sindroma klinis gangguan fungsi bahasa dimana terdapat gangguan pada pusat bahasa di hemisfer dominan.3 Tes Afasia untuk Diagnosis, Informasi dan Rehabilitasi (TADIR) hingga saat ini belum pernah dilakukan uji diagnostik, dan tidak jarang dari hasil pemeriksaan didapatkan ketidakcocokan hasil tipe afasia dengan memperhitungkan skor dalam TADIR dibandingkan dengan pemeriksaan langsung oleh ahli Neurobehavior. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan proporsi tipe afasia berdasarkan hasil pemeriksaan TADIR dibandingkan ekspertise ahli Neurobehavior.
Metode: Jenis penelitian retrospektif dengan populasi penelitian rekam medis dengan diagnosis afasia di Poliklinik Neurologi Fungsi Luhur RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo, periode Januari 2019-Juni 2022. Metode yang digunakan consecutive sampling dan analisis data menggunakan SPSS.
Hasil: Sensitivitas dan spesifisitas TADIR subtes A yakni 97,6% dan 21%. NDP dan NDN TADIR subtes A yakni 88,9% dan 57,1%. Subtes B sensitivitas dan spesifisitas tertinggi 77,7% dan 100%. NDP dan NDN tertinggi subtes B 100% pada 12,5% subjek dan 98,2% pada 2 % subjek, aktualisasi nilai kurang baik.
Kesimpulan: TADIR dibutuhkan sebagai tujuan skrining afasia bukan bertujuan sebagai alat diagnostik. Diperlukan instrumen baru yang dapat menggantikan TADIR subtes B dengan hasil uji diagnostik, serta uraian tugas dan algoritma yang lebih baik sehingga dapat membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis afasia dan khususnya tipe afasia.

ackground: Aphasia is a clinical syndrome of impaired language function with impairment of the language center in the dominant hemisphere.3 The Aphasia Test for Diagnosis, Information and Rehabilitation (TADIR) has not yet been carried out as a diagnostic test, and it is not uncommon for the examination results to show discrepancies in the results of the type of aphasia taking into account the score in TADIR compared to direct examination by a Neurobehavior expert. The purpose of this study was to determine the difference in the proportion of aphasia types based on the results of the TADIR examination compared to the expertise of neurobehavior experts.
Method: A retrospective with medical record research population with a diagnosis of aphasia at the Neurology Polyclinic of Superior Function Dr.Cipto Mangunkusumo National Hospital, period January 2019-June 2022. The method used was consecutive sampling and data analysis using SPSS. Result: The sensitivity and specificity of TADIR subtest A were 97.6% and 21%, respectively. PPV and NPV TADIR subtest A are 88.9% and 57.1%. Subtest B highest sensitivity and specificity 77.7% and 100%. The highest PPV and NPV in subtest B was 100% in 12.5% ​​of subjects and 98.2% in 2% of subjects, the actual score was not good.
Conclusion: TADIR is needed for aphasia screening purposes, not as a diagnostic tool. A new instrument is needed that can replace the TADIR subtest B with diagnostic test results, as well as better job descriptions and algorithms so that they can assist clinicians in establishing the diagnosis of aphasia and especially the type of aphasia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Triono
"Penghentian obat antiepilepsi OAE dengan terburu-buru meningkatkan risiko relaps pada epilepsi. Risiko resistensi obat pada epilepsi relaps sangat tinggi. Belum ada kesepakatan umum kapan OAE dapat dihentikan dengan aman sehingga tidak terjadi relaps. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian relaps pada anak dengan epilepsi terkontrol danyang belum terkontrol kejangnya, mengetahui karakteristik anak dengan epilepsi terkontrol yang mengalami relaps, mengetahui faktor prediktor epilepsi relaps, mengetahui luaranepilepsi relaps, mengetahui perjalanan EEG anak dengan epilepsi relaps. Penelitian dilakukan pada Juni-Desember 2016. Desain studi adalah kasus-kontrol, retrospektif, multisite dari rekam medis tahun 2012-2016. Studi rekam medis dilanjutkan dengan wawancara dan pemeriksaan EEG untuk kelompok kasus. Kelompok kasus adalah anak-anak dengan epilepsi relaps sedangkan kelompok kontrol adalah epilepsi remisi komplit. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prediktor epilepsi relaps. Angka kejadian epilepsi relaps pada penelitian ini adalah 13,6 . Dilakukan analisis terhadap 63 subyek epilepsi relaps dan 63 subyek epilepsi remisi komplit. Faktor prediktor epilepsi relaps pada analisis bivariat yaitu: epilepsi simptomatik P

An inappropriate antiepileptic drugs AED withdrawal increases the risk of relapse. The risk of drug resistance in epilepsy relapse is very high. There is no consensus when the AED is safely withdrawn, so that epilepsy will not relapse. This study aims to know the incidence of relapse in children with controlled and uncontrolled epilepsy, the characteristics, predictors, outcomes, and EEG evolutions in children with epilepsy relapse. This study was held from June December 2016. This was a case control study with retrospective, multi site medical record evaluation from 2012 2016, followed by interview and EEG examination for the case group. The case group was children with epilepsy relapse, while the control was children with epilepsy complete remission. Bivariate and multivariate analysis was done to identify predictors of relapse. The incidence of epilepsy relapse in this study was 13,6 . We analyzed 63 epilepsy relapse and 63 epilepsy complete remission subjects. Relapse predictors in bivariate analysis were symptomatic etiology P
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
David
"Latar Belakang. Sejak laporan pertama ensefalitis antireseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) pada 2007, prevalensi ensefalitis autoimun (EA) serupa dengan ensefalitis infeksi (EI). Sayangnya, heterogenitas klinis EA, serupanya klinis dengan EI, penyakit autoimun seperti neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik, atau penyakit psikiatrik menjadi tantangan deteksi awal dan tatalaksana EA. Keterlambatan berhubungan dengan perburukan luaran, sedangkan kekurang-tepatan menerapi EI sebagai EA dapat mengeksaserbasi infeksi. Studi ini bertujuan mengenali karakteristik EA, khususnya ensefalitis antireseptor NMDA definit sebagai EA tersering, di era keterbatasan ketersediaan penunjang definitif di Indonesia.
Metode. Studi kohort retrospektif dengan rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dilakukan pada curiga EA yang menjalani pemeriksaan antireseptor NMDA cairan otak sejak Januari 2015-November 2022. Karakteristik klinis dan penunjang EA, EA seropositif NMDA, dan luarannya dinilai. Analisis univariat dan bivariat dilakukan sesuai kebutuhan.
Hasil. Dari 102 subjek yang melalui kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat 14 EA seropositif dan 32 seronegatif NMDA. Temuan klinis EA terbanyak adalah gangguan psikiatri dan tidur (85,7%), gangguan kesadaran (78,3%), prodromal (76,1%), dan bangkitan (70,6%). Karakteristik penunjang EA adalah inflamasi sistemik (75,0%), inflamasi cairan otak (69,2%), abnormalitas MRI (57,9%) dominan inflamasi (42,2%), dan abnormalitas EEG (89,5%). Karakteristik klinis EA seropositif NMDA adalah psikosis (76,9% vs 24,1%, p=0,002), delirium (71,4% vs 40,6%, p=0,06), bangkitan (71,4% vs 46,7%, p=0,12), takikardia (55,6% vs 17,6%, p=0,08), dan gangguan otonom lainnya (55,6% vs 23,5%, p=0,19), sedangkan klinis EA seronegatif NMDA adalah somnolen (34,4% vs 7,1%, p=0,07) dan defisit neurologis fokal (31,3% vs 7,1%, p=0,13). Leukositosis dan pleositosis cairan otak dengan dominasi mononuklear secara signifikan lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Sebanyak 10,9% subjek meninggal.
Kesimpulan. Karakteristik klinis EA adalah gangguan psikiatri dan tidur, gangguan kesadaran, prodromal, dan bangkitan. Psikosis, delirium, bangkitan, dan disfungsi otonom cenderung lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Inflamasi sistemik, cairan otak, MRI, dan abnormalitas EEG sering ditemukan pada EA, terutama seropositif NMDA. 

Background. Since the first report of N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR) encephalitis in 2007, the prevalence of autoimmune encephalitis (AE) was similar to infectious encephalitis (IE). Unfortunately, heterogenities of EA as well as similarities in the manifestation to IE, other autoimmune diseases including neuropsychiatric systemic lupus erythematosus, or psychiatric diseases compromised the early detection and management of EA. This delay correlated with worse outcome whereas the inaccuracy in treting IE as AE may exacerbate infection. This study aimed to describe the characteristics of EA, particularly definitive NMDAR encephalitis as the most common, in the era of limited availability of definitive ancillary test in Indonesia.
Methods. Retrospective study using medical records at Dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital was conducted for suspected EA cases tested for cerebrospinal fluid NMDAR autoantibody test from January 2015 to November 2022. Clinical, ancillary characteristics, and concordance between clinical diagnosis and diagnostic criteria were assessed. Univariate, bivariate, and multivariate analysis were perfomed as needed.
Result. Of 102 subjects following inclusion and exclusion criteria, there were 14 seropositive and 32 seronegative NMDA subject. Clinical characterstics of AE were psychiatric and sleep disorder (85,7%), altered consciousness (78.3%), prodromal (76.1%), and seizure (70.6%). Ancillary characteristics of AE were systemic inflammation (75.0%), cerebrospinal fluid inflammation (69.2%), MRI abnormalities (57.9%) with inflammatory predominance (42.2%), and EEG abnormalities (89.5%). Seropositive NMDA characteristics were psychosis (76.9% vs 24.1%, p=0.002), delirium (71.4% vs 40.6%, p=0.06), seizure (71.4% vs 46.7%, p=0.12), tachycardia 955.6% vs 17.6%, p=-0.08), and other autonomic disorder (55.6% vs 23.5% p=0.19) whereas seronegative NMDA characteristics were somnolence (34.4% vs 7.1%, p=0.07) and focal neurologic deficit (31.3% vs 7.1%, p=0.13). Leukocytosis and cerebrospinal fluid pleocytosis with mononuclear predominance were significantly found in seropositive NMDA AE. The mortality rate was 10.9%.
Conclusion. Clinical characteristics of AE were psychiatric and sleep disorder, altered consciousness, prodromal, and seizure. Psychosis, delirium, seizure, and autonomic dysfunction tended to be found in seropositive NMDA AE. Inflammation in systemic, cerebrospinal fluid, and MRI findings as well as EEG abnormalities commonly occurred in AE, especially seropositive NMDA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Septiana Andri Wardana
"Latar Belakang. Prevalensi disabilitas pada pasien meningitis tuberkulosis (MTB) hampir setara dengan angka mortalitas mencapai 29-50%. Aspek luaran pasien MTB tidak cukup dinilai berdasarkan angka morbiditas dan mortalitasnya, namun mencakup kesehatan fisik, mental, dan sosial seperti yang didefinisikan oleh World Health Organization (WHO). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup pasien MTB selesai obat anti-tuberkulosis (OAT) dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode. Studi potong lintang (cross sectional) dilakukan pada pasien MTB, termasuk tuberkuloma selesai OAT di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo periode Mei 2019-Juni 2023. Karakteristik demografis, klinis, diagnosis, tatalaksana pasien dinilai dari data rekam medis dan wawancara. Luaran kualitas hidup pasien dinilai menggunakan kuesioner SF (Short form)-36. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS versi 19.0, yaitu Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis untuk data kategorik, Spearman untuk data numerik. Hasil. Dari 53 subjek penelitian dengan median usia 30 (IQR 25,5-39) tahun, didapatkan median skor SF-36 yaitu, 86,5 (IQR 74,9-92,8). Median (IQR) skor pada aspek fisik (PCS) dan mental (MCS) kualitas hidup serupa, yaitu 85 (IQR 69,4-94,85) dan 88,1 (IQR 74,1-95,3). Faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien MTB selesai OAT antara lain penghasilan (p=0,033), kejang (p=0,028), kelemahan motorik (p=0,023), dan mRS saat pulang perawatan (p=0,007). Faktor yang berhubungan dengan skor PCS adalah pekerjaan (p=0,012), penghasilan (p=0,007), kelemahan motorik (p=0,024), dan mRS saat pulang perawatan (p=0,01). Faktor yang berhubungan dengan skor MCS adalah usia (p=0,006) dan kejang (p=0,025). Kesimpulan. Kualitas hidup pasien MTB selesai OAT berdasarkan skor SF-36, PCS, dan MCS tergolong baik. Faktor yang memengaruhi kualitas hidup lebih tinggi pada pasien MTB selesai OAT adalah berpenghasilan, tanpa klinis kejang atau kelemahan motorik, dan mRS saat pulang perawatan 0-2. Faktor yang memengaruhi aspek fisik lebih tinggi adalah pekerjaan, berpenghasilan, tanpa klinis kelemahan motorik, dan mRS saat pulang perawatan 0-2, sedangkan aspek mental lebih tinggi adalah usia ≥30 tahun dan tanpa klinis kejang. Kata kunci. Kualitas hidup, meningitis tuberkulosis, selesai OAT, SF-36<

The prevalence of disabilities among tuberculous meningitis (TBM) patients almost similar with its mortality rate (29-50%). The comprehensive evaluation of long-term outcomes should encompass not only morbidity and mortality rates but also incorporate the dimensions of physical, mental, and social well-being as outlined by the World Health Organization (WHO). This study aimed to assess the quality of life (QoL) among patients with TBM following the completion of anti-tuberculosis treatment (ATT) and investigating the factors that have impacts on this particular aspect. Methods. Retrospective cross sectional study of TBM patients, including tuberculoma upon completion of ATT at dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital during May 2019-June 2023. Demographic, clinical, diagnostic, and treatment characteristics were conducted by medical records and interviews. The assessment of QoL in TBM patients was performed using Short form (SF)-36 questionnaire. Statistical analysis was performed with SPSS version 19.0 (Mann-Whitney and Kruskal-Wallis for categorical data, Spearman for numeric data). Result. The study involved 53 participants, with median of age 30 (IQR 25.5-39) years, demonstrated favorable median SF-36 score of 86.5 (IQR 74.9-92.8). Median of physical score (PCS) and mental score (MCS) almost similar, 85 (IQR 69.4-94.85) and 88.1 (IQR 74.1-95.3), respectively. The impact of various factors on QoL was assessed, revealing significant associations with monthly income (p=0.033), presence of seizure (p=0.028), motoric abnormalities (p=0.023), and mRS at discharge (p=0.007). Employment (p=0.012), monthly income (p=0.007), motoric abnormalities (p=0.024), and mRS at discharge (p=0.01) were identified as factors influencing the PCS score. Age (p=0.006) and presence of seizure (p=0.025) found to impact the MCS score. Conclusion. The evaluation of QoL in TBM patients after completing ATT utilizing SF-36 score, PCS, and MCS revealed favorable outcome. Several factors were found to significantly influence higher SF-36 score, including monthly income, absence of seizure and motoric abnormalities, and mRS at discharge of 0-2. Similarly, factors such as employment, monthly income, absence motoric abnormality, and mRS at discharge of 0-2 were associated with higher PCS scores. Furthermore, a higher MCS score was observed in patients aged 30 years or older and those without seizures. Keywords. Quality of life, QoL, tuberculous meningitis, completion ATT, SF-36"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>