Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jimmy Tesiman
"Pendahuluan: Infeksi HIV menyerang pusat kontrol dari sistem imun yang mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik, keganasan dan kematian. Disregulasi dari sistem imun memegang peranan penting dalam progresifitas penyakit HIV. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada pasien-pasien HIV mempunyai kecendrungan untuk menderita penyakit alergi seperti sinusitis, asma dan dermatitis atopik. Juga dilaporkan terjadinya peningkatan kadar serum imunoglobulin E dan peningkatan prevalensi atopi. Tujuan Penelitian: 1. Diketahuinya angka kejadian atopi pada pasien HIV dan non HIV. 2.Diketahuinya hubungan antara jenis kelamin, penggunaan obat intravena, riwayat alergi di keluarga dan jurnlah limfosit CD4 dengan kejadian atopi. 3. Diketahuinya korelasi antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar IgE total Metode Penelitian: Dilakukan penelitian potong lintang terhadap 92 orang dengan infeksi HIV / AIDS dan 90 orang non HIV. Adanya atopi dinyatakan berdasarkan pemeriksaan uji tusuk kulit dengan menggunakan enam macam aeroalergen yang umurn di lingkungan. Terhadap pasien-pasien dengan HIV/AIDS yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan konfirmasi dengan ELISA 3 kali ataupun pemeriksaan Western Blot dilakukan pemeriksaan kadar imnuoglobulin E total, jumlah limfosit CD4 serta dilakukan pengambilan anamnesis. Hasil Penelitian: Dari sembilan puluh dua pasien dengan infeksi mv dan sembilan puluh orang non HIV yang diteliti, didapatkan terdiri atas 65 laki-laki (70.7%) dan 27 perempuan (29.3%) pada kelompok HIV, sedangkan pada kelompok non HIV terdiri atas 40 laki-laki (44.4%) dan 50 wanita ( 55.6%). Umur subjek penelitian berkisar antara 20 sampai dengan 55 tahun dengan rerata 29.325.7 tahun pada kelompok HIV, sedangkan rerata umur kelompok kontrol adalah 27.9 ± 4.5 tahun. Berdasarkan rute transmisi HIV didapatkan sebanyak 52 orang adalah pengguna obat-obatan intravena (56.5%), 35 orang melalui transmisi seksual (38%) sedang sisanya 5 orang (5.5%) mempunyai risiko keduanya. Jumlah limfosit CD4 berkisar 2 sampai 674 selluL dengan median 160 selluL. Kadar imunoglobulin E total berkisar dari 3 sampai dengan 20.000 IU/mL dengan median 283.5 ID/mL. Lima puluh orang dengan HIV dinyatakan atopi lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok non HIV (54.3% vs 30%, p= 0.001) Aeroalergen tersering yang menimbulkan sensitasi adalah D farinae sebanyak 50% dan D pteronyssinus (30%). Kami juga mendapatkan adanya korelasi negatif yang bermakna antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar imunoglobulin E total. Kami tidak mendapatkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, rute transmisi, riwayat alergi di keluarga serta jumlahlimfosit CD4 dengan kejadian atopi. Kesimpulan: Terjadi peningkatan prevalensi atopi pada pasien-pasien dengan HIV/AIDS serta terdapat korelasi negatif yang bermakna antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar imunogobulin E total. Oleh karena itu merupakan hal yang penting untuk melakukan evaluasi status atopi pasienHIV I AIDS untuk mencegah timbulnya penyakit alergi pada pasien terse but yang dapat mempercepat progresifitas penyakitnya melalui disregulasi dari sistem imun.

Background: HIV infection attacks the centre of immune control system resulting opportunistic infection, malignancy and death. Dysregulation immune system plays the central role in the progression of the disease. Some studies have reported HIV -infected patient prone to have allergic disease such as sinusitis, asthma and atopic dermatitis. Elevated serum immunoglobulin E (Ig E) and increased prevalence of atopy also had been reported in HIV infected patient Objective: I.To determine and compare the prevalence of atopy among HIV infected/AIDS patient with non HIV patients and investigate its predictors. 2. To investigate the relationship between CD4 cell count, Ig E level and atopy Methods: A cross sectional method study was performed to 92 HIV infected/AIDS patient and 90 non HIV patients. They were studied for the presence of atopy based on the immediate hypersensitivity to six common aeroallergens by skin prick test. CD 4 cell count, total serum immunoglobulin level and medical history were taken. The HIV infected patients had been confirmed by the presence of antibody determined by ELISA method done three times or by western blot methods. Result: Ninety-two HIV infected patients and ninety non HIV patients had been studied, they were 65 males (70.7%) and 27 female (29.3%) in HIV arm and 40 males (44.4%), 50 females (55.6%) in non mv group. Subject's age between 20 to 55 years old. (mean: 29.3±5.7years) in HIV ann and 27.9 ± 4.5 years old in control group. Belonging to HIV route transmission: 52 intravenous drug users (56.5%), 35 heterosexual partners of HIV infected patients (38%) and 5 subjects who have both risks (5.5%). CD4 cell count of the subjects range from 2 to 674 cells, median 160 cellslmm3 . The total of immunoglobulin E level range from 3 to 20,000 IU/mL with median 283.5 IU/mL. 50 subjects with HIV + were identified as atopic higher than in non HIV (54.3% vs 30%, p= 0.001). The most common aeroallergen is D farinae (50% subjects of atopy shown positive result) and D pteronyssinus (30%). We also found a significant negative correlation between CD4 count and Total immunoglobulin E level (r= -0.544, p=O.OOO), but there is no relationship between gender, allergic history in family, route of transmission, and CD4 count with atopy. Conclusion: There is an increase prevalence of atopy among HIV I AIDS patients and negative correlationship between CD4 count and total Imunnoglobulin E level. It is important to evaluate the atopic state in HIV patient to prevent the patients from allergic diseases which could accelerate HIV infection by dysregulation of immune system."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T57662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuningsih Djaali
"Pendahuluan: Hiperglikemia yang merupakan kondisi terjadinya peningkatan kadar gula darah melebihi normal adalah salah satu tanda khas dari penyakit diabetes melitus. Terapi fannakologi ohat antihiperglikemia mempunyai beberapa efek samping jangka panjang antara lain, peningkatan berat hadan, hipoglikemia, gangguan saluran pencemaan, dan edema Akupunktur yang merupakan modalitas terapi non-farmakologi dapat bermanfaat dalam menurunkan hiperglikemia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana efektivitas akupunktur dalam memperbaiki gambaran histologi pankreas dan menurunkan kadar gula darah model tikus diabetes tipe 2. Metode: Desain studi ini adalah studi eksperimental dengan randomised control group pretest and posltesi. Delapan belas tikus Sprague-Dawley jantan, usia 8 sId 10 minggu dengan berat badan 200-250 gram dibagi menjadi 3 ke1ompok yaitu: kelompok tikus normal, kelompok tikus diabetes dan kelompok tikus akupunktur. Dilakukan induksi STZ 50 mglkgBB untuk menjadikan tikus diabetes. Perlakuan akupunktur manual dilakukan 3 kali seminggu dengan total 6 sesi tempi. Dilakukan pengukuran kadar GDP pada sebelum, sete1ah 3 sesi dan setelah 6 sesi akupunktur, dan pemeriksaan gambaran histologi pankreas berdasarkan kepadatan se1 dan persentase luas pulau Langerhans. Basil: Rerata kepadatan sel pulau Langerhans kelompok tikus diabetes Iebih rendah secara bennakna dibandingkan dengan kelompok tikus nonnal (p=O,005) dan kelompok tikus akupunktur (p=O,OOl). Rerata persentase luas pulau Langerhans kelompok tikus normal lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tikus diabetes (p=O,021) dan kelompok tikus akupunktur (P=0,132). Rerata kadar GDP kelompok akupunktur lebih rendah secara bennakna dibandingkan kelompok diabetes (p=O,046). Kesimpulan: Akupunktur dapat memperbaiki gambaran histologi pankreas yang dinilai melalui kepadatan se1 dan persentase luas pulau Langerhans, dan menurukan kadar gula darah tikus diabetes.

Introduction: Hyperglycemia, which is a condition of elevated blood sugar levels is olle of the typical signs qf diabetes mellitus. Pharmacological therapy of antihyperglycemic drugs has several long-term side effects, including weight gain, hypoglycemia, gastrointestinal disorders, and edema. Acupuncture, which is a non-phannacological therapeutic modality, can be useful in reducing hyperglycemia. The purpose of this study was to determine the efectiveness of acupuncture in improving the histology of the pancreas and reducing blood sugar levels in type 2 diabetes rat model. Methods: This study was a randomized control experimental study wilh pretest and posttest design. Eighteen male Sprague-Dawley rats, aged 8 to 10 weeks with a body weight of 200-250 grams were divided into 3 groups: normal group, diabetic group and acupuncture group. Streptozotocin induction was performed at a dose of 50 mglkg to make diabetic rats. Manual acupuncture treatment was performed 3 times a week for a total of 6 sessions. FBG levels were measured before, after 3 sessions and after 6 sessions of acupuncture, and examination of the pancreatic histology based Oil cell density and percentage area of Langerhans islets. Results: The mean cell density of Langerhans islets of diabetic group was significantly lower than normal group (p=0.005) and lower than acupuncture group (p=O.OOJ). The mean percentage area of Langerhans islets in the normal group was higher than diabetic group (p=0.02J) and higher than acupunchlre group (p=0./32). The mean FBG level in the acupuncture group was significantly lower than diabetic group (p=0.046). Conclusion: Acupuncture call improve the pancreatic histology findings, which were determined by cell density and percentage area of Langerhans islets, alld reduce blood sugar levels in diabetic rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T57650
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Dewi Kumala
"Latar BeJakang: Laryngeal Mask Airway (LMA) telah diterima secara umum sebagai alat jalan napas. Pada praktik klinis, insersi LMA pada percobaan pertama dengan waktu sesingkat mungkin merupakan kondisi yang diharapkan sehingga efek samping agen anestesi minimal tanpa menimbulkan komplikasi demi keselamatan pasien. Dosis kecil atrakurium sebelum induksi dipilih untuk operasi dengan durasi singkat, agar tidak menunda pemulihan akibat pelumpuh otot namun perlu diperhatikan efek samping gejala kelemahan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian atrakurium sebelum induksi dosis 75 dan 150 rncglkgBB terhadap keberhasilan percobaan pertama dan waktu insersi sehingga dapat menjadi standar dosis atrakurium untuk insersi LMA. Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda ini mengelompokkan 150 pasien dewasa yang mendapat layanan anestesia di ruang operasi RSCM rnenjadi 2 kelompok. Setelah koinduksi midazolam dan fentanyl, pasien kelompok eksperimen diberikan atrakurium dosis 75 mcglkgBB, sedangkan kontrol 150 mcglkgBB. Setelah 1 menit, diamati gejala keJernahan, yaitu ptosis, diplopia, dan sesak napas sebelurn induksi propofol. Insersi LMA dilakukan setelah pasien tidak respon terhadap jaw thrust setelah 90 detik pemberian propofol. Diambil data keberhasilan percobaan pertama dan waktu insersi, selain itu dicatat nilai rasio TOF sebelurn insersi, respon hernodinamik, dan komplikasi pascainsersi. Hasil: Keberhasilan insersi pertama kedua kelornpok tidak berbeda signifikan, yaitu 90,7% pada kelompok eksperimen dibandingkan 93,3% kontrol (p=0,547). Begitu pula waktu insersi 36,05±16,98 detik dan 33,75±13,55 detik untuk dosis 75 dan 150 mcglkgBB berurutan (p=0,359). Kornplikasi insersi pada kelompok ekspersimen 90,7% dan 93,3% kelompok kontrol. Gejala kelemahan ditemukan harnpir 2 kali lipat di kelompok kontrol dengan nilai rasio TOF yang juga lebih rendah. Respon hemodinamik setelah insersi LMA mirip di kedua kelompok. Simpulan: Penggunaan atrakurium dosis 75 mcglkgBB sama baiknya dibandingkan 150 mcglkgBB dalam memudahkan insersi LMA.

Background: In clinical practice, success on first attempt of LMA insertion with the shortest times is aimed to achieve minimal adverse eventfrom. Small dose of atracurium given beJore induction is chosen Jor brieJ duration procedure therefore has minimal or no effect to recovery from neuromuscular blocking agent, but the consequences of partial paralysis before induction should be a concern. This study aims to compare the success onfirst attempt and insertion time oJLMA between 75 and 150 mcglkgBWatracurium, given beJore propofol induction in search for standard dose of atracurium to ease LMA insertion. Methotl: This double-blind randomized clinical trial divided 150 adult patients who received anesthesia procedllre in Cipto Mangunkusumo General Hospital operating theatres into two groups. After coinduction with midazolam and Jentanyl, patients in the study group received 75 mcglkgBWalracurium, meanwhilefor the control group was 150 mcglkgB W After 1 minute all the samples were evaluated for paralysis symptoms of ptosis, diplopia and shortness oj breath before propofol induction. LMA insertion then attempted after no response to jaw thrust manuever evaluated after 90 seconds from propoJol injection. Success on first attempt and time of insertion were the main outcomes evaluated, beside TOF ratio, hemodynamic responses and complications. Result: Success on first attempt rate was not significally worse, which was 90.7% for experiment group compare to 93.3% in .control (p=0,547). Insertion time was 36.05±I6,98 and 33,75±i3,55 second Jor respective group (p=0.359). Postinsertion complication in experiment group were higher but the paralysis symptoms were lower. Conclusion: Low dose oJ 75 mcglkgBW atracurium is equal compared to 150 mcglkgBW 10 ease LMA insertion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57635
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Griselda Puspitasari Sumenang Lawo
"Masalah asupan gizi merupakan salah satu masalah kesehatan pada penerbang di Indonesia. Asupan gizi yang tidak seimbang dapat mengakibatkan berat badan yang meningkat dan dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan yang ujungnya akan dapat menyebabkan penurunan kemampuan penerbang. Kelebihan berat badan mempunyai risiko penyakit kardiovaskular, sindroma metabolik dan penyakit degeneratif lainnya, serta dapat mempengaruhi kapasitas penerbang dalam menjalankan tugas terbangnya. Pada penelitian ini dikaji mengenai jumlah asupan nutrisi para penerbang sebelum dan selama melakukan tanggungjawabnya mengendalikan pesawat terbang. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan desain potong lintang. Sembilan puluh enam orang penerbang yang memenuhi kriteria inklusi telah diwawancara serta diminta mencatat jenis dan jumlah makanan yang dikonsurnsinya dalam 3 jam sebelum dan selama dalam penerbangan. Analisa asupan nutrisi dilakukan oleh tenaga ahli gizi untuk menghitung jumlah asupan kalori, karbo hidrat, protein dan lemak. Nilai median asupan kalori pra penerbangan 394,6 Kal (90,5 sampai 1378), selama penerbangan nilai median asupan kalori 357,7 Kal (25,8 sampai 1946,0). Asupan nutrisi penerbang sebelurn melakukan penerbangan dan selama penerbangan masih dalam batas kecukupan gizi bila dibandingkan dengan kebutuhan untuk sekali asupan. Uji kemaknaan statistik menghasilkan nilai p>0,05 untuk semua faktor penentu terhadap tingkat asupan kalori sebelurn dan selama penerbangan. Tidak ditemukan adanya perbedaan tingkat asupan gizi pra dan intra penerbangan menu rut faktor usia, tingkat pendidikan, status gizi, adanya risiko penyakit, dan kegiatan olahraga. Diketahui bahwa sering kali para penerbang tidak mengkonsumsi menu makanan yang disediakan oleh pihak perusahaan airline caterer. Hal ini menunjukkan bahwa jenis menu inflight yang ada saat ini belum dapat diterima secara baik oleh para penerbang.

Nutrient intake is one of the issues for pilots' health problem in Indonesia. Unbalanced nutritional intake may result in increased body weight. This will lead to health problems and decrease their capabilities as aviators. Overweight will increase the risk of cardiovascular disease, metabolic syndrome and other degenerative diseases, furthermore it could affect the pilot's capacity in perfonning their duties. This research aims to study the preflight and inflight nutritional intake. This research is a descriptive study using cross-sectional design. Ninety six pilots were interviewed and asked to record types and amount of consumed food 3 hourrs before and during flight. Nutritional analysis was performed by nutritionist to calculate calory, carbohidrate, protein, and fat. Median of preflight calory intake was 394.6 Cal (90.5 to 1,278), while inflight calory intake was 357.7 cal (25.8 to 1,946) .The result shows that preflight intake and inflight intake of these pilots are still within the nutritional adequacy limit, compared to the one time need's intake. Statistical analysis show p>0.05 for relationship of all factors to preflight and inflight calory intake. There were no differences in levels of preflight and inflight nutrient intake when categorized by age, education level, nutritional status, potential risk of diseases, and sport activities. It is known that often the pilots do not consume the food provided by the Airline 's caterer. It means that the current available inflight menu is not yet well received by aviators."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57602
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Irfan Ilmi
"Penelitian dengan desain potong lintang ini membahas cakupan pengguna kacamata (CPK) pasca operasi katarak terkait status sosioekonomi. Hasil penelitian menunjukkan usia, informasi dokter dan tingkat ekonomi rumah tangga (ruta) berhubungan kuat terhadap proporsi pengguna kacamata (p<0,05). Kelompok usia produktif memiliki CPK lebih rendah namun penelitian ini hanya melibatkan usia 50 tahun keatas sehingga tidak mempresentasikan usia produktif seluruhnya. Kelompok yang menerima informasi dokter memiliki CPK lebih tinggi dari yang tidak menerima informasi dan CPK pada kelompok tingkat ekonomi ruta kaya lebih tinggi dibanding ruta lainnya. Kesimpulannya adalah semakin tinggi informasi dokter dan tingkat ekonomi ruta maka semakin tinggi nilai CPK.

This study discussed the correlation between socioeconomy and spectacle coverage rate (SCR) after cataract sugery. The multivariate analysis showed that physician information, age and the economic level of household had a strong relation with SCR (p<0.05). Productive age had a lower SCR. This study included age of 50 and above, therefore it did not represent the real proportion of productive age. Participants who received physician information to use spectacle after cataract surgery had a higher SCR. Physician information is important in influencing SCR. The richest household had the highest SCR. The richest the household was, the highest value of SCR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asti Ayudianingrum
"Penelitian dengan desain potong lintang ini membahas cakupan pengguna kacamata (CPK) pasca operasi katarak terkait status sosioekonomi. Hasil penelitian menunjukkan usia, informasi dokter dan tingkat ekonomi rumah tangga (ruta) berhubungan kuat terhadap proporsi pengguna kacamata (p<0,05). Kelompok usia produktif memiliki CPK lebih rendah namun penelitian ini hanya melibatkan usia 50 tahun keatas sehingga tidak mempresentasikan usia produktif seluruhnya. Kelompok yang menerima informasi dokter memiliki CPK lebih tinggi dari yang tidak menerima informasi dan CPK pada kelompok tingkat ekonomi ruta kaya lebih tinggi dibanding ruta lainnya. Kesimpulannya adalah semakin tinggi informasi dokter dan tingkat ekonomi ruta maka semakin tinggi nilai CPK.

This study discussed the correlation between socioeconomy and spectacle coverage rate (SCR) after cataract sugery. The multivariate analysis showed that physician information, age and the economic level of household had a strong relation with SCR (p<0.05). Productive age had a lower SCR. This study included age of 50 and above, therefore it did not represent the real proportion of productive age. Participants who received physician information to use spectacle after cataract surgery had a higher SCR. Physician information is important in influencing SCR. The richest household had the highest SCR. The richest the household was, the highest value of SCR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library