Gerakan Buruh di Indonesia memasuki era Reformasi (1993-2003), era yang baru secara politik and ekonomi. Hak berserikat diakui oleh pemerintah, jumlah serikat pekerja (SP) menjamur, sementara krisis ekonomi yang parah mempengaruhi keadaan perekonomian.Penelitian in terhadap empat serikat pekerja (SPSI, SBSI, FNPBI dan PPMI) menggunakan pendekatan kualitatif untuk memetakan strategi SP tersebut pada periode 1998-2003. Wawancara mendalam dengan pengurus SP didukung dengan analisis literatur keserikatpekerjaan, dan dicek-silang dengan pejabat pemerintah. Studi ini menggunakan tipologi Kendall (1975) mengenai perspektif unitaris, pluralis dan Marxis, dan dikotomi Poole (1986) antara SP yang politis dan SP yang cenderung ke ekonomisme dalam menganalisa strategi SP di Indonesia selama Reformasi. Penelitian ini juga membahas perdebatan teoretis mengenai sesuai-tidaknya teori ?Barat? terhadap negara berkembang seperti Indonesia. Khususnya, teori Martin (1989) dan Deyo (1987), yang menyatakan bahwa secara inheren gerakan buruh di Asia Tenggara lemah, sebagai akibat dari industrialisasi yang berorientasi ekspor (EOI) dan peran negara di panggung politik yang menekan gerakan buruh yang mandiri.Sebagai akibat dari faktor historis, struktural dan kontemporer, SP dalam penelitian ini memiliki pandangan unitaris (SPSI dan PPMI, yang masing-masing dipengaruhi oleh pemikiran korporatis dan Islam), pluralis (SBSI, sesuai dengan norma serikat buruhisme Barat) dan Marxis (FNPBI, dalam tradisi radikal dari gerakan mahasiswa). Dari sisi strategi, SPSI, yang dahulu didominasi pemerintah, menekankan ekonomisme, serta menghandalkan hubungan dekatnya dengan pihak pemerintah dan pengusaha, walaupun pada beberapa kesempatan SPSI mengambil sikap yang melawannya. SBSI memiliki pendekatan ganda, dengan menggunakan alat politik (melalui partai-partainya) dan instrumental, seperti perundingan dan pendidikan keSPan. Hubungan dekat SBSI dengan SP internasional/LSM perburuhan menghasilkan dana yang cukup besar untuk kegiatannya Penelitian ini menunjukkan FNPBI adalah SP politis, yang cenderung bekerja di luar dan melawan sistem pemerintahan bersama dengan serikat pekerja dan unsur masyarakat radikal lainnya. Pada awal Reformasi, strategi PPMI sangat politis untuk memperjuankan syariat Islam, tetapi PPMI mengalami pergeseran pada tahun 2003 ke arah ekonomisme.Penelitian menemukan bahwa gerakan buruh di Indonesia mengalami fragmentasi, sebagai akibat dari hak berserikat yang baru, dan perspektif dasar and strategi yang berlawanan. Beberapa aliansi longgar (FSU dan KAPB) didirikan pada periode ini, tetapi tidak bersifat permanen atau luas untuk menciptakan persatuan. Gerakan buruh berhasil mengalahkan peraturan pro-pengusaha seperti Menaker 18/2001 tentang uang pesangon, tetapi gerakan buruh tidak memiliki strategi bersama dalam rangka rnenghadapi peraturan-perundangan perburuhan yang penting.Implikasi teoretis dari penelitian ini adalah untuk mempertanyakan teori-teori convergency mengenai kecenderungan otomatis ke arah ekonomisme, serta untuk mendukung teori Deyo mengeani kelemahan-kelemahan pada gerakan buruh di Indonesia. Trade Unionism in Indonesia faced a new climate in the era of Reformasi (1993-2003), both politically and economically. Union rights were acknowledged and many new trade unions were established, whilst a severe economic crisis affected industry.This study of four trade unions (SPSI, SBSI, FNPBI and PPMI) uses a qualitative approach to map out the (different) strategies of these unions during the period 1998-2003. In-depth interviews with union leaders are supported by analysis of union literature, and cross-referenced with govemment officials. The study adopts the typologies of Kendall (1975) regarding unitary, pluralistic and Marxist perspectives, and the economic unionist (instrumental-rational) and political unionist (value-rational) dichotomy of Poole (1936) in analysing the strategies of trade unions in Indonesia during Reformasi. Furthermore, the study addresses some of the theoretical discussions regarding the applicability of ?Western' theories to newly-industrialised nations such as Indonesia. In particular, the theories of Martin (1939) and Deyo (1987), who argues that the trade union movement in South East Asia is inherently weak as a result of export-oriented industrialisation (EOD and the state?s role in the political arena and in repressing a free union movement.As a result of historical, structural and contemporary factors, the unions variously had a unitary perspective (SPSI and PPMI, influenced by corporatist and Islamic thinking respectively), and pluralist (SBSI, in line with much modern-day Western unionism) and Marxist perspective (FNPBI, in the radical tradition of some elements of the student movement). In terms of strategy, the previously-government-domillated SPSI stressed economic unionism, relying on its good relations with the government and employers, although also on occasion, taking an oppositional stance. SBSI has a dual approach, using both political (through political parties, established by the union) and instrumental tools, such as bargaining and union education. Its good links with international unions/labour NGOs have meant it has received substantial funds for its activities. The study showed FNPBI was largely a political union, which tended to work outside and against the system, with other unions and other radical societal elements. PPMl?s strategy was initially heavily politicised in campaigning for sharia law, but underwent a change of direction in 2003 towards economic unionism.The study discovered that the Indonesian union movement is fragmented, as a result of newly-found rights of association and opposing world-views and strategies. Several loose alliances have been formed (FSU and KAPB), but have lacked the permanence and scope to forge unity. The labour movement has been successfully in overturning some pro-business legislation (notably Menaker 78/2001 od compensation), but the movement lacked a common strategy in opposing key labour legislation.The theoretical implications of the study are to question convergency theories about the tendency to economic unionism, and to largely support Deyo?s thesis regarding the weaknesses of the Indonesian labour movement. |