Perkembangan media yang digunakan oleh kapital mengarah ke industrialisasi media. Media tidak hanya informatif tapi juga 'mengarahkan' melalui tindakan mencela dan memuji. sebagai majalah wanita, Cosmopolitan masih berputar disekitar etika, tips-tips seksual dan kecantikan. Melalui representasinya terhadap laki-laki yang dianggap ideal, Cosmopolitan memunculkan the other, sebagai kelas yang marjinal dan imperfection. Namun sebagai sebuah bangsa yang memiliki akar kebudayaannya sendiri, bagaimanakah pembaca majalah tersebut 'membaca'nya?Melihat gejala di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1) memahami pemaknaan khalayak perempuan bekerja terhadap konsep maskulinitas; 2) memperoteh alasan mengapa tidak ada perubahan ekspektasi, terhadap laki-laki pada perempuan bekerja; 3) mengetahui praktek sosio-kultural media dan khalayak pembacanya.Metode yang digunakan adatah analisis wacana paradigma kritis dan reception studies. Analisa wacana dalam paradigma kritis berfokus pada konstelasi kekuasaan yang terjadi pada produksi dan reproduksi makna, dan individu tidak dianggap sebagai subyek yang netral dan mandiri dalam menafsirkan segala sesuatu menurut pikirannya karena pengetahuan yang dimilikinya adalah suatu konstruksi social. Sementara studi resepsi adatah studi yang berfokus pada bagaimana individu-individu memaknai pesan-pesan yang disampaikan media (berita, produk-produk artistik dsb)Dari anlisis yang dilakukan terhadap teks linguistik dan gambar yang menjadi obyek dari penelitian, garis besar yang dapat ditarik adalah pertama, maskulinitas selain sebuah ide, is juga sebuah representasi phallus yang diwakili antara lain oleh tubuh dan fashion. Bahwa tubuh bisa digunakan untuk mengatasi performance anxiety terhadap kemampuan seksualnya dan bagaimana fashion bisa digunakan sebagai representasi maskulin karena simbol-simbol yang ada dibalik fashion tersebut. Meskipun untuk menjadi menjadi maskulin laki-laki harus memenuhi ekspektasi lain dari sekedar representasi.Representasi hanya salah satu bagian kecil dari common-sense knowledge yang menuntut untuk dipenuhi. Kedua, Iaki-laki masih harus tetap memenuhi standar kompetensi sebagai kepala keluarga, bekerja, memiliki performance seksual yang tinggi. Kompetensi laki-laki adatah syarat untuk masuk dalam paternal law, dalam hukum paternal yang melibatkan institusi dan struktur. Ketiga, ketidakmampuan lelaki memenuhi standar menjadikannya sebagai the other dan marjinal oleh karenanya. Celah inilah yang dilihat oleh media untuk memasuki wilayah privat tersebut melalui komoditas yang diproduksinya. Dari keempat, melalui komoditas inilah industri tidak lain adalah alat dari paternal law itu sendiri. Karena komoditas tidak sekedar barang yang diperjualbelikan melainkan membawa simbol yang di dalamnya yang memberikan Iegitimasi pada struktur dan institusi yang dominan. Melalui habitus, yaitu definisi dan kategorisasi, konsumen tidak memiliki alternatif untuk menciptakan definisinya sendiri. Untuk menggerakkan industri penciptaan simbol dilakukan secara terus menerus. Identitas menjadi produk instant yang dapat dipertukarkan. Sebagaimana pola maskulinitas yang sirkular, simbol-simbol ini juga mengikuti periodenya sendiri. Bagaimana maskulinitas didefinisikan pada suatu periode dari perspektif fashion, tubuh, gaya hidup dan pendidikan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sejumlah persamaan term maskulinitas yang ditandai dengan dominant/preffered reading tentang peran laki-laki dalam keluarga yakni sebagai pencari nafkah. Sementara untuk seksualitas, terjadi negoisasi karena bagi responden terdapat sejumlah norma yang membatasi mereka. Oppositional reading terdapat pada teks mengenai tubuh dan identitas maskulin yang ditawarkan industri. Mereka tidak sepaham dengan media kalau maskulinitas identik dengan superioritas seksual, tubuh berotot dan simbol-simbol identitas maskulin. Menurut responden, kemampuan membangun dan memelihara keiuarga-Iah yang menjadikan laki-laki dianggap maskulin. |