Maraknya penyalahgunaan faktur pajak saat ini merupakan indikasi lemahnya administrasi perpajakan di Indonesia. Penyalahgunaan faktur pajak (Faktur Pajak Fiktif) hanya dapat dideteksi setelah kerugian terjadi, hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi jika administratur perpajakan dapat mendeteksinya sejak awal.Peningkatan pengawasan sejak awal atau sebelum kerusakan terjadi menurut Goran Normann dapat dilakukan sejak Wajib Pajak melakukan pendaftaran (registration). Di Indonesia hal ini telah dilakukan dengan cara verifikasi lapangan dalam prosedur pemberian atau registrasi Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP), tetapi dilakukan dan diadministrasikan secara lokal oleh masing-masing kantor pelayanan pajak. Secara nasional tidak ada kontrol lebih lanjut, padahal dalam beberapa kasus kelompok pengusaha nakal hanya dapat diketahui di tingkat nasional bukan lokal.Penentuan tingkat resiko terhadap Wajib Pajak nakal dapat dilakukan sejak awal (pro-active activity) yaitu mulai dari saat Wajib Pajak melakukan pendaftaran dengan menentukan kriteria-kriteria tertentu yang sangat sederhana.Saat ini seluruh SPT Masa PPN yang menunjukan lebih bayar dan memohon restitusi diperiksa lebih dahulu sebelum dilakukan assessment. Pemeriksaan terhadap seluruh SPT tersebut merupakan pemborosan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, karena belum tentu SPT yang menyatakan lebih bayar dan memohon restitusi merupakan SPT yang beresiko tinggi (high risk) terhadap fraud. Terlebih lagi, kebijakan tersebut telah menimbulkan beban berat baik bagi fiskus dalam menghadapi besarnya beban pemeriksaan maupun bagi PKP dengan terhambatnya cash inflow dana restitusi sebagai salah satu modal kerja. Hal lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah terbukti bahwa kebijakan tersebut tidak secara efektif dapat mengurangi tingkat penyelundupan pajak yang tetap marak terjadi.Untuk mengurangi beban pemeriksaan dan terhambatnya cash inflow, maka khusus terhadap WP dengan kriteria tertentu (WP Patuh), atas SPT Masa PPN lebih bayar restitusi yang disampaikannya, Direktur Jenderal Pajak sesuai pasal 17C Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dapat melakukan pembayaran pendahuluan atas kelebihan pembayaran pajak tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap Wajib Pajak dengan kriteria tertentu. Dalam prakteknya jumlah WP patuh yang ada masih sangat terbatas sehingga hanya sedikit beban pemeriksaan yang dapat dikurangi dibandingkan dengan jumlah beban pemeriksaan yang ada. Kendalanya terletak pada kesulitan memenuhi syarat kriteria WP Patuh khususnya bagi WP yang laporan keuangannya tidak diaudit serta adanya sanksi administrasi 100 % dibalik fasilitas ini bila ternyata restitusi timbul tidak sesuai dengan aturan.Metode penelitian yang digunakan dalam thesis ini adalah metode deskriptif analisis, dengan menganalisis kondisi saat ini di DJP dan membandingkannya dengan model lain yang telah berjalan. Dilanjutkan dengan melakukan studi kepustakaan, mempelajari peraturan perpajakan dan laporan.Dari hasil analisis penelitian, prosedural pengukuhan PKP belum berjalan sesuai dengan prosedural pengukuhan PKP di negara benchmark. Hal ini berakibat pada tidak terdeteksinya peluang-peluang terjadinya penyelundupan PPN. Sesungguhnya sejak awal pengukuhan PKP DJP sudah harus dapat menganalisis tingkat kemampuan calon PKP'dalam menjalankan kewajiban sebagai PKP sehingga kemungkinan pelanggaran PPN dapat lebih diawasi.Dari hasil penelitian juga diperoleh kesimpulan bahwa proses pemilihan SPT PPN untuk diperiksa berjalan tidak terarah. Hal ini justru mengakibatkan pengawasan penerimaan Negara menjadi tidak terkoordinir dengan baik. Semestinya tidak semua SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar diperiksa terlebih dahulu. Dengan penentuan resiko (risk assessment) yang tepat, pemeriksaan terhadap seluruh SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar dapat dihindari. Dengan begitu sumber daya yang ada dapat dihemat dan dapat dialihkan untuk konsentrasi ke fungsi pengawasan yang lain.Sebagai basil analisis perbandingan prosedur pemilihan SPT PPN yang akan diperiksa antara DJP dengan negara yang dijadikan Benchmark (Kanada) penulis menyusnn model pemilihan SPT PPN yang akan diperiksa dengan memperhatikan arah modernisasi administrasi pelayanan pajak yang sedang dijalankan oleh DJP. Model yang penulis uraikan ini diharapkan dapat menjadi masukan guna perbaikan yang lebih baik. Recent misuse of tax invoice in the country indicate the weaknesses of tax administration it self. The misuse of tax invoice (fake tax invoice) can only be detected when amount of loss has happened, it actually could be avoided if the tax officers can detected from the beginning of the registration.Tax evaluation can be done since the beginning of registration way before the damage is done, referring to Goran Normann tax evaluation can be done as early as the tax payers registering them self for tax payers numbers. We have adopted it in Indonesia, by doing on field verification for the procedure of giving or registering tax payer number for VAT (NPPKP), it is being done and administrated locally by each tax office. Nationally there is no further controlled for these matters, in addition to that for some cases groups of bad businessman can only be detected nationally not locally.Determining the risk level for the bad tax payers can be done from the beginning (pro-active activity) and that is being done since the tax payers registered them self by putting them into certain simple criteria.Nowadays all the tax returns for VAT that figures excess in their payment for VAT and applying for tax refund has to undergo the audit before the refund can be paid. The audit that is being done for all the tax return is a waste of human resource and other resources as well, because not all the tax returns that figures excess in payment for VAT tax and applying for tax refund contain high risk to fraud. More over, this procedure has become burden for both tax officers and tax payers, officers has to deal with so many audits and tax payers will face cash inflow problem as tax refund is one of working capital for their company. Other things that should be put in to consideration are that audit does not effectively reduce the number of tax evasion which widely practices in the business.In reducing the burden of audit for officers and cash inflow problem for tax payers, the obliged tax payers (WP Patuh) on certain criteria that claims excess for their tax returns for VAT and applied tax refund, Director General of Taxes referring to phase 17C UU KUP, can initialised payment on the excess reported in the tax returns without undergoing audit for the obliged tax payers on certain criteria. In fact the number of obliged tax payers is very limited compared to all tax payers registered, due to this factor the amount of audit work load is not lessen in significant amount. The real obstacle for this procedure is fulfilling the requirement to become obliged tax payers, especially for the tax payers which its financial report has not been audited; in addition there is 100% administration sanction under this facility if tax refund proved not according by law.The research methods used in this thesis is descriptive analyses which analysed recent condition in DGT compared to other on going model. Followed by literacy research, examine rule of conduct on taxation and tax payer reports.From the research analysis, the procedure in attaining tax payers VAT numbers has not been the same as the procedure in benchmark country. Frauds in VAT are the consequences as a result for these matters. From the beginning of the registration on VAT tax number, DGT must have analysed the capability of the tax payers to fulfil their duty as a VAT tax payers in order to lessen the probability of tax frauds and it is easier for DGT to control.From result of research we can also conclude that the sorting of VAT tax returns to be audited is not in the right direction. This matters resulted in national income is not most favourable condition and harder to coordinates. Ideally not all VAT tax returns which claim excess shall be audited upfront. By determining the right risk assessment, the audit procedure for all VAT tax returns excess in payment can be avoided. By doing so, we can efficiently use human resources in DGT and we can concentrate more on other controlling aspect.As a result to this analyses in association on VAT tax returns in Indonesia and the benchmark country (Canada) in selecting VAT tax returns, the writer compile selection of VAT tax return models which are going to be audited, in accordance to modernized tax service administration direction DGT has undergone. The writer hopes this model can give contribution in modernizing tax office. |