:: UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Relasi sosial kekuasaan dan uang: Analisis kasus kebijakan pelepasan pengembangan tanaman

Rina Mardiana; Iwan Tjitradjaja, supervisor; Suraya Abdulwahab Afiff, supervisor (Universitas Indonesia, 2006)

 Abstrak

Pemerintah merupakan pihak yang paling berkuasa di dalam memutuskan suatu kebijakan pembangunan. Akan tetapi proses penerbitan kebijakan tidak semata-mata berdasarkan kekuasaan birokrasi pemerintah, sebab terbitnya sebuah kebijakan banyak dipengaruhi oleh berbagai hal di dalam komunitas kebijakan. Relasi sosial, kekuasaan dan uang merupakan hal-hal yang dipandang panting dan memberi pengaruh besar terhadap proses terbitnya kebijakan. Tesis ini akan menganalisiskasus kebijakan pelepasan pengembangan tanaman kapas transgenik di Sulawesi Selatan.
Kajian ini menggunakan pendekatan antropologi kebijakan, yakni memandang keterkaitan antara norma dan institusi, ideologi dan kesadaran, pengetahuan dan kekuasaan, retorika dan wacana, serta makna dan interpretasi, dimana semua itu dipengaruhi oleh konteks lokal, nasional hingga global. Dalam kajian ini banyak menampilkan inspirasi dari pemikiran Foucault tentang kekuasaan yang berkaitan dengan pemberdayaan dan kebijakan.
Relasi sosial dibangun oleh para pihak berkepentingan atas dasar adanya kesamaan mulai dari pemikiran, ideologi, tujuan dan kepentingan. Selanjutnya pihak berkepentingan dalam relasi sosial itu membentuk komunitas kebijakan, yakni para pihak yang membuat dan menjalankan kebijakan. Pada dasamya para pihak berkepentingan dalam komunitas kebijakan berperan sebagai aktor yang mendistribusikan kekuasaan. Diantara relasi sosial dan kekuasaan terdapat imbalan yang saling dipertukarkan oleh pihak-pihak dalam komunitas tersebut. Pertukaran atas jasa yang dikeluarkan oleh salah satu pihak, akan dikembalikan
oleh pihak yang lainnya dalam bentuk uang. Dengan demikian uang menjadi alat yang diakumulasikan oleh para pihak berkepentingan terhadap suatu kebijakan.
Pihak berkepentingan terhadap kebijakan produk transgenik terdiri dari pemerintah, perusahaan, akademisi/ilmuwan, LSM dan petani. Pihak berkepentingan ini terpolarisasi kedalam dua kutub, yakni kelompok pendukung kebijakan produk transgenik, dimana kelompok ini sekaligus sebagai pihak yang tergabung dalam komunitas kebijakan. Sementara di kutub yang berseberangan adalah kelompok yang mendukung prinsip kehati-hatian terhadap kebijakan produk transgenik. Kelompok yang terakhir disebutkan ini, tidak tergabung ke dalam komunitas kebijakan. Kelompok ini, justru memberikan reaksi terhadap aspek sosial-budaya kebijakan sebagai sebuah arena kontestasi kekuasan.
Monsanto merupakan perusahaan pemilik paten produk transgenik, sehingga Monsanto sangat berkepentingan untuk menjalankan bisnis produk transgenik. Dengan demikian Monsanto membangun relasi sosial dengan birokrat pemerintah agar pemerintah bersedia membuatkan perangkat peraturan perundang-undangan yang mempu mendorong dilancarkannya kebijakan komersialisasi produk transgenik. `Suap' adalah Cara yang dijalankan perusahaan untuk mendorong beroperasinya kekuasaan pemerintah di dalam memutuskan kebijakan pembangunan. Disisi lain, pihak perusahaan juga membangun relasi sosial dengan pihak akademisi/ilmuwan pendukung inovasi teknologi transgenik. Kepentingan akademisi/ilmuwan mencakup penemuan inovasi teknologi, sistem paten, dan pengetahuan terhadap keilmiahan teknologi itu sendiri.
Pada kenyataannya kemampuan finansial perusahaan mampu menembus birokrasi pemerintahan yang menganut paradigma pembangunan kapitalisme, sekaligus berperan sebagai pejabat birokrat yang bermental korup. Dalam implementasi di lapangan sangat nampak, birokrat pemerintah turun tangan dalam mengkampanyekan janji janji keunggulan pertanian transgenik, sehingga petani bersedia beralih menanam kepada benih jenis transgenik. Argumen yang diajukan pemerintah adalah bahwa kebijakan pertanian transgenik bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat petani. Disisi lain, kalangan akademisi/ilmuwan juga memainkan peranan sebagai pihak yang mengusung nilai-nilai kebenaran ilmiah. Melalui berbagai pernyataan kalangan akademisi/ilmuwan, pihak perusahaan berharap dapat meningkatkan opini publik mengenai citra positif produk transgenik. Guna mengantungi citra positif ini, pihak perusahaan tak segan-segan mengulirkan dana ratusan juta kepada kalangan ilmuwan baik di perguruan tinggi maupun di instansi pemerintahan, guna melakukan riset, seminar, ataupun lokakarya yang pada intinya mendukung kebijakan produk transgenik. Dalam relasi sosial dan kekuasaan yang bekerja pada masing-masing pihak berkepentingan tersebut, ada sebuah mekanisme pertukaran imbalan yang berjalan sebagai sesuatu pemberian yang wajib dibalas dengan pemberian pula. Uang adalah sebuah kata kuncinya. Perusahaan melakukan penyuapan kepada sejumlah birokrat pemerintah agar dibuatkan kebijakan yang bisa membuat dijalankannya bisnis perusahaan. Perusaliaan juga membiayai berbagai riset akademisi ilmuwan guna membeli kekuasaan yang bekerja pada pihak akademisi/ilmuwan sebagai penghasil pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran. Akan tetapi disini, baik pihak akademisi/ilmuwan maupun pemerintah tidak serta merta tunduk pada kekuasaan kapital perusahaan. Karena birokrat pemerintah dan akademisililmuwan jugs membalas pemberian uang tersebut dengan uang pula. Keberhasilan adopsi kebijakan di tingkat petani akan memberikan keuntungan bisnis kepada perusahaan dengan jumlah yang jauh berlipat-lipat. Jadi, saya melihat bahwa para pihak dalam komunitas kebijakan pada dasarnya melakukan akumulasi kapital bagi dirinya sendiri, atas beroperasinya kekuasaan yang mereka jalankan.
Melihat fenomena proses penerbitan kebijakan pembangunan yang seperti ini, lantas bagaimana dengan tujuan pembangunan itu sendiri ? apakah tujuan meningkatkan kesejahteraan petani bisa terwujud ?. dalam hal ini, saya memandang bahwa kebijakan pembangunan yang lahir atas kepentingan kapitalisme global, pada akhirnya hanya akan membuat petani berada sebagai pihak yang semakin terpuruk. Petani melulu hanya dijadikan objek pembangunan. Alasan atas nama kesejahteraan rakyat, hanyalah retorika belaka. Dengan demikian, keberadaan kelompok yang menekankan prinsip kehati-hatian terhadap kebijakan produk transgenik menjadi panting keberadaannya. Kelompok yang menekankan prinsip kehati-hatian melakukan kontestasi terhadap kebijakan produk transgenik, dan menekan pemerintah agar tidak meletakkan perkembangan inovasi teknologi transgenik yang disinyalir memiliki potensi besar dalam mengatasi masalah krisis pangan, sebagai inovasi teknologi yang semata-mata bergerak atas kepentingan kapitalis. Bagaiamanapun juga, teknologi ini menyimpan potensi untuk kebaikan. Untuk itu, peraturan perundang-undangan yang ketat dalam mengatur regulasi produk transgenik serta keterbukaan dan keterlibatan publik dalam berpartisipasi terhadap kebijakan produk transgenik, tentunya diharapkan dapat lebih membuat kebijakan yang adil dan berpihak kepada kaum tani dan kelompok minoritas lainnya.
Metode penelitian yang diterapkan dalam tesis ini adalah metode kualitatif. Teknik penelitian antropologi yang digunakan meliputi wawancara mendalam, analisis kasus, dan pengamatan terlibat. Selain itu juga dikumpulkan dokumen kebijakan dan pernyataan wacana yang tertuang dalam media massa ataupun makalah publikasi. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara mendetail, holistik dan komprehensif.

 File Digital: 1

Shelf
 T 21512-Relasi sosial.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : T21512
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Universitas Indonesia, 2006
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten :
Tipe Media :
Tipe Carrier :
Deskripsi Fisik :
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T21512 15-21-205266203 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 108978