Pembangunan kilang minyak PT HPM yang berada di Cepu telah selesai pada tanggal 22 April 1998 dengan kapasitas produksi terpasang sebesar 10.000 bbl/hari minyak mentah dengan menelan biaya kurang lebih sebesar Rp400 milyar. Namun sampai saat ini kilang tersebut belum bisa dioperasikan. Penyebab belum dioperasikannya kilang tersebut ada dua. Penyebab pertama, tidak tersedianya bahan baku minyak mentah karena PT Humpuss Patragas (related company) gagal melakukan explorasi di Lapangan Banyu Urip dan Jambaran, Cepu. Hak TAC atas ladang tersebut telah dijual ke Exxon Mobil, namun sampai sekarang Exxon Mobil juga belum menghasilkan minyak mentah, diperkirakan masih tiga tahun ke depan. Sehingga jika ingin mengoperasikan kilang tersebut dibutuhkan dana yang besar untuk mendatangkan minyak mentah dari tempat lain atau memasang pipa yang panjang. Penyebab kedua, PT HPM sedang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) sejak krisis moneter pada tahun 1998 menimpa Indonesia. Hal ini disebabkan karena hutang modal PT HPM sebagian besar berupa valuta acing (US$) dan Induk perusahaan (Humpuss Group) juga sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak bisa melakukan penambahan modal kerja.Permasalahan di atas harus segera dicarikan solusi untuk mengatasi financial distress yang berkepanjangan. Saat ini manajemen PT HPM mempunyai tiga pilihan strategi yaitu tetap membiarkan kilang seperti kondisi selama ini (do nothing), menjual kilang tersebut kepada pihak ketiga (likuidasi) atau mencari investor baru untuk melakukan operasi kilang tersebut atau. Selaku manager keuangan, Dwi diminta untuk membuat analisa terhadap ketiga strategi tersebut dan strategi mana yang menghasilkan net present value (NPV) terbesar bagi perusahaan. Hasil dan rekomendasi dari analisa tersebut harus segera dilaporkan kepada direksi paling lama lima bulan ke depan.Usaha untuk mencari investor sudah banyak dilakukan, namun saat ini hanya konsorsium TJU-Pilona yang menyatakan serius untuk menjalin kerjasama. Kesepakatan kerjasama saat ini masih dinegosiasikan oleh kedua belah pihak. Bentuk kerjasama yang ditawarkan oleh TJU-Pilona adalah kerjasama penggunaan kilang untuk pengolahan minyak. PT HPM akan mendapatkan fee per barrel sebesar US$I.5 atau US$1.9 (besarnya masih dinegosiasikan sampai sekarang). Bentuk kerjasama yang ditawarkan seperti sewa menyewa dengan fee setiap barrel minyak yang diproduksi, Konsorsium TJU-Pilona bertanggung jawab atas pendanaan dan operasional, sedangkan PT HPM menyediakan kilang di Cepu. Dwiyono juga diminta oleh direksi untuk membuat proyeksi ke depan atas tawaran Konsorsium ini.Sekedar sebagai bahan pertimbangan pemilihan strategi, Dwiyono menyatakan bahwa pernah ada investor yang mengajukan penawaran untuk membeli kilang di Cepu tersebut, namun hanya sekitar US$ 2 juta. Penawaran ini sangat kecil jika dibandingkan dengan biaya pembangunan kilang kurang lebih sebesar Rp400 miliar. Saat ini perusahaan juga mempunyai total bank loan kepada US Exim Bank sebesar US$53,128,748 yang terdiri dari pokok dan bunga pinjaman masing-masing sebesar US$34,930,440 dan US$18,198,308 yang sudah jatuh tempo.Jika Anda sebagai manajer keuangan, apa yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah financial distress di alas dan alternatif strategi mana yang akan dipilih dari ketiga strategi tersebut?. Sarannya adalah manajemen perusahaan harus segera melakukan langkah-langkah negosiasi untuk melakukan restrukturisasi hutang yang pernah ditawarkan oleh pihak US Exim melalui hair cut. Seiring dengan proses negosiasi dengan US Exim Bank perusahaan juga melakukan perhitungan untuk memilih alternatif bagi perusahaan. Berdasarkan analisa forecasting maka alternatif strategi ketiga yang menghasilkan NPV terbesar, di mana perusahaan tetap menjalankan kilang dengan bekerjasama dengan konsorsium TJU-Pilona. The construction of the refinery was substantially completed on April 22, 1998. A refining facility of 10,000 barrels per day capacity has been constructed at Cepu, Central Java. The carrying value of the refinery and related facilities not used in operations amounting to more than Rp400 billion as of December 31, 2004. The Company has not yet commenced commercial operations. The Company has delayed commencement of its commercial operations due to two factors, continuing postponement of the plan for crude oil supply and lack of financing.First, the postponement of the plan for crude oil supply because of PT Humpuss Patragas, a related company, had failed exploration in Banyu Urip and Jambaran field, Cepu Block. Finally, on June 29, 2001, PT Humpuss Patragas, a related Company, sold its entire interest and rights in a Technical Assistance Contract (TAC) involving the Cepu Block to Mobil (Cepu) Ltd. In accordance with the sales and purchase agreements among those companies, Mobil (Cepu) Ltd. agreed to sell 10,000 barrels per day of crude oil produced from the Cepu Block to PT Humpuss Patragas or its related parties. But until now Mobil (Cepu) Ltd. has not yet commenced commercial operation, it's predicted three years again. So, if the Company (PT RPM) wants to operate this refinery, they should purchase of crude oil supply from another company which longer distance. It needs much more financing for pipe construction.Second, commercial operations have not yet commenced due to lack of required financing, including working capital. The company has on the financial distress situation since Indonesia's monetary crisis in 1998 caused by the increase of bank loans due to foreign exchange rate. Most of Company's loan denominated in U.S Dollar Currency, monetary crisis caused the decreasing of the exchange rate rupiah to U.S Dollar. On the other hand Humpuss holding, as parent company, had not enough money to support additional working capital to PT HPM.The Company has to looking for the solution to solve those problems of financial distress. Now, management has three available strategies: first, do nothing strategy or running business as usual, second, sells the refinery to third party and the third is operates the refinery with looking for the new investor to support working capital. As finance manager, Mr. Dwiyono was asked to make analyzing and calculation of those three available strategies for the next five months. Mr. Dwiyono will choose the alternative that yield the highest net present value (NPV).The company has tried to negotiate with many investors to operate the refinery, but only TJU-Pilona that make a good deal. The company will received fee US$1.5 or US$1.9 of processing crude oil per barrel. The final agreement between TJU-Pilona and the company still is negotiated. Based on the early negotiation, TJU-Pilona agreed to provide all required fund, include working capital and responsible for all refinery operation. Mr. Dwiyono was asked for preparing the cash flow projection and NPV calculation of this offering.Mr. Dwiyono also said that this refinery had been offered by investor amounting of US$2 million which less than the carrying value of the refinery and related facilities Rp400 billion. Because of the continuous financial distress the company has not yet paid US Exim Bank loan US$53,128,748, which consist of principal loan US$34,930,440 and interest US$18,198,308 that has been due date. If you are as finance manager like Mr. Dwiyono, what will we do to solve those problems and what the alternative should be chosen? I recommend to management to negotiate immediately to US Exim Bank for loan restructuring. Based on the projected cash flow analysis, we conclude that the company has to choose the third alternative because the highest NPV will be earned. So, the Company should continue to operate their refinery with consortium TJU-Pilona. |