Inilah satu-satunya buku dimana saya menghabiskan waktu paling lama untuk membacanya ....:)Bukan karena jumlah halamannya yang super tebal (cuma 301 halaman), atau bahasanya yang sulit, tapi karena saya berusaha memahami kata demi kata, kalimat demi kalimat, termasuk membuka beberapa ayat yang dikutip dari beberapa kitab suci (Injil dan Al Qur?an). Dua bab terakhir (Kota Suci Tiga Agama dan Jerusalem Milik Siapa) bahkan saya baca dua kali, karena bagi saya sangat terkait dengan fakta yang terjadi sekarang ini.Tak terkira jumlahnya buku-buku tentang Jerusalem yang ditulis banyak orang. Para penulisnya pun beragam. Biasanya mereka menulis Jerusalem dari sudut panjang tertentu, sehingga jarang melihatnya secara utuh, dari segi sejarah, politik, dan kekuasaan.Buku ini, beda. Trias Kuncahyono, wartawan senior Kompas, menuliskan buku ini sebagai perjalanan jurnalistik dipadu dengan sejarah lengkap tentang Jerusalem. Mulai dari sejarah tentang nama ?Jerusalem?, perjalanan kota ini sebagai kota ziarah agama samawi: Yudaisme, Kristen, Islam, sampai kepada mengapa kota suci ini menjadi konflik tak tertangguhkan antara Israel dan Palestina.Dilengkapi dengan peta lokasi-lokasi penting, sangat membantu pembaca memahami wilayah-wilayah bersejarah yang sering diberitakan di televisi. Lalu bagaimana sejarah berbagai resolusi damai yang sudah puluhan kali dikeluarkan PBB dan ratusan kali pula dilanggar oleh Israel (paling sering) maupun Palestina, dan apa sebenarnya peran Amerika disana.Secara pribadi, ada hal ?mengejutkan? dari pemahaman saya selama ini. Misalnya tentang karakter pemimpin Israel dan Palestina, yang entah kenapa tidak pernah match (nyambung) di tiap masanya. Tiap pimpinan seringkali memiliki penafsiran berbeda atas suatu resolusi, atau rancangan kesepakatan damai.Seperti misalnya pada ?Perundingan Camp David?. Untuk pertama kalinya dalam sejarah perundingan, dibawah PM Ehud Barak, Israel bersikap lunak. Dalam perundingan itu, Ehud setuju menyerahkan kedaulatan sebagian besar daerah pinggiran Jerusalem Timur kepada Palestina serta menyerahkan kedaulatan atas Wilayah Muslim dan Kristen di Kota Lama dan ?pemeliharaan? atas tempat tersuci Yudaisme, Temple Mount, kepada Palestina. Belum pernah ada seorang pemimpin Israel yang melakukan hal itu, namun Barak melakukannya walaupun banyak protes dari warga Israel sendiri.Akan tetapi, Yasser Arafat menolak keras usulan itu tapi tidak mengajukan alternatif lain. Arafat bilang: ?Jerusalem tidak hanya merupakan kotanya orang-orang Palestina, tetapi juga kotanya dunia Arab, umat Islam, dan Kristen. Jika saya mengambil keputusan mengenai Jerusalem, saya harus berkonsultasi dengan orang-orang Sunni dan Syiah, serta seluruh negara Arab.?Pada saat itu, Bill Clinton secara terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya atas sikap Palestina, karena dinilai tidak punya niat baik untuk mendiskusikan masalah-masalah yang ada, melainkan hanya meminta hak.Sikap Arafat inilah yang kemudian diteruskan oleh para pemimpin Palestina berikutnya. Dihadapkan dengan Israel yang juga keras kepala dan lengkap dari segi persenjataan, maka tak heran, jika di mata dunia, Palestina memang selalu terzolimi.Persepsi tiap pembaca tentu tidak akan sama dalam memahami buku ini. Yang jelas, melalui buku ini kita akan makin paham bahwa Jerusalem memang harus menjadi milik Israel dan Palestina, dengan alasan yang sama-sama kuat. Dan rasanya tidak ada jalan lain kecuali perdamaian dengan pembagian wilayah. Ironisnya, disinilah Israel dan Palestina tidak menemukan titik temu, sehingga pertumpahan darah terjadi disana.Satu yang ?melegakan? saya, sosok Anwar Sadat di buku ini tidak berbeda dengan yang saya kenal lewat biografinya. Andai banyak tokoh di Timur Tengah seperti Sadat....----------------------------------Risensi oleh: Kalarensi Naibaho |