Tesis ini mengungkapkan besarnya pengaruh masing-masing faktor lingkungan dan faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh paling besar pada perilaku konsumsi sagu, serta meninjau dampak perilaku konsumsi sagu pada lingkungan. Metode yang dilakukan adalah metode survei melalui kuesioner dan interview dengan pendekatan deskriptif kuantiatif. Variabel yang diamati adalah pengetahuan (X1), sikap (X2), keterbatasan bahan pangan (X3), harga bahan pangan (X4), nilai gizi pangan (Xs), dan Dukungan Pemerintah (X6), pada variabel perilaku konsumsi individu (Y). Hasil penelitian memperlihatkan untuk wilayah Jakarta besarnya pengaruhuh masing-masing faktor lingkungan adalah pengetahuan (X1) sebesar 52,9%, sikap individu (X2) sebesar 12,4%, keterbatasan bahan pangan (X3) sebesar 5%, harga bahan pangan (X4) sebesar 17,9%, nilai gizi bahan pangan (Xs) sebesar 7,2%, dan dukungan pemerintah (X6) sebesar 9,9%. Faktor lingkungan yang dominan pada wilayah Jakarta adalah faktor pengetahuan individu. Pada wilayah Papua, pengaruh pengetahuan (X1) sebesar 31,8%, sikap (X2) sebesar 6,2%, keterbatasan bahan pangan (X3) sebesar 66,1%, harga bahan pangan (X4) sebesar 19,1%, nilai gizi bahan pangan (Xs) sebesar 37,8%, dan dukungan pemerintah (X6) sebesar 23,7%. Faktor lingkungan yang dominan pada wilayah Papua adalah faktor keterbatasan bahan pangan. Berdasarkan kajian teori, perilaku konsumsi sagu dapat menjaga kestabilan ketahanan pangan dan menjaga ekosistem lingkungan. Karena tanaman sagu adalah tanaman asli hutan Indonesia yang tersedia cukup melimpah dan dapat tumbuh dilahan marginal basah dan kering. Membudidayakan tanaman sagu berarti menjaga keberlanjutan ekosistem hutan dan lingkungan, sebab tanaman sagu bukan merupakan monokultur. Sagu dapat tumbuh dengan baik bersama tanaman hutan lainnya This thesis reveals the magnitude of the influence of each environmental factor and the environmental factor that has the greatest influence on sago consumption behavior, and examines the impact of sago consumption behavior on the environment. The method used is a survey method through questionnaires and interviews with a quantitative descriptive approach. The variables observed were knowledge (X1), attitudes (X2), limited food ingredients (X3), food prices (X4), nutritional value of food (Xs), and Government Support (X6), on individual consumption behavior variables (Y) . The results show that for the Jakarta area, the magnitude of the influence of each environmental factor is knowledge (X1) of 52.9%, individual attitudes (X2) of 12.4%, food limitations (X3) of 5%, food prices (X4 ) of 17.9%, the nutritional value of food (Xs) of 7.2%, and government support (X6) of 9.9%. The dominant environmental factor in the Jakarta area is the individual knowledge factor. In the Papua region, the effect of knowledge (X1) is 31.8%, attitude (X2) is 6.2%, limited food ingredients (X3) is 66.1%, food prices (X4) is 19.1%, the value of food nutrition (Xs) of 37.8%, and government support (X6) of 23.7%. The dominant environmental factor in the Papua region is the factor of food shortages. Based on theoretical studies, sago consumption behavior can maintain food security stability and protect environmental ecosystems. Because sago plants are native to Indonesian forests, they are abundantly available and can grow in wet and dry marginal lands. Cultivating sago plants means maintaining the sustainability of forest ecosystems and the environment, because sago palms are not a monoculture. Sago can grow well with other forest plants. |