Tesis ini membahas tentang relasi politik petani dengan parpol (Golkar dan PDI Perjuangan) pada pemilu pasca-Reformasi 98 (Pemilu 1999, 2004, dan 2009). Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret dan April 2009 di Desa Ntobo dan Desa Kumbe, Bima, Nusa Tenggara Barat. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisa pola dan alasan petani dalam melakukan relasi politik dengan parpol, serta untuk menganalisa peran birokrasi dan tokoh masyarakat terhadap pilihan politik petani dalam pemilu. Untuk itu, metode yang digunakan adalah kualitatif dengan desain explanasi. Adalah Golkar yang telah berhasil mengendalikan birokrasi, tokoh masyarakat, dan juga kesadaran petani, sehingga walaupun kalah secara nasional pada Pemilu 1999, Golkar tetap menghegemonik di Bima, khususnya Ntobo dan Kumbe. Namun, pola pendekatan terhadap birokrasi tidak dilakukan oleh PDI Perjuangan pada saat berkuasa. Sebaliknya, Demokrat mulai melakukan apa yang dilakukan Golkar, yakni mulai menguasai birokrasi dan juga memberikan bantuan logistik kepada rakyat, seperti Bantuan Langsung Tunai/BLT dan beras untuk rakyat miskin/raskin. Pada kenyataannya, strategi ini dapat mengantarkan Demokrat sebagai partai pemenang pada Pemilu 2009. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terjadinya proses hegemoni secara suprastruktur, sebagaimana teori Gramschi. Proses hegemoni juga berlangsung pada masalah infrastruktur (bantuan-bantuan logistik dari pemerintah atau caleg/parpol). Pada masalah infrastruktur inilah, penelitian menjadi penting, karena dapat menemukan perspektif lain yang dapat memperkuat teori hegemoni. Kesimpulan lain adalah mengenai klasifikasi konsepsi warga negara dan warga desa. Bagi petani Ntobo dan Kumbe, pilihan politik dalam pemilu merupakan pilihan kolektif yang berbasiskan nilai kekerabatan yang paternalistik. The thesis describes the political relation between peasants and political parties (Golkar and PDI Perjuangan) in the period of post-Reformation (General Election of 1999, 2004 and 2009). The research was conducted between March and April 2009 in the villages of Ntobo and Kumbe, Bima, West Nusatenggara. The aim of the research is to analyze the patterns and reasons of the peasants for building political relations to the political parties; also to analyze the role of bureaucracy and the local strong men in deciding the vote of the peasants in the General Election. Thus the research used a qualitative method with explanative design. When in power, Golkar controlled bureaucracy, local strong men and peasants? consciousness that even when Golkar lost in the General Election of 1999 it still controlled the hegemony over peasant in Bima afterwards. The pattern of control over bureaucracy was not practiced by PDI Perjuangan when it was in power. Democrat Party, on the other hand, copies the pattern practiced by Golkar by gradually took hold of the bureaucracy and distributing logistical aid for the people, such as the Direct Cash Allowance (Bantuan Langsung Tunai/BLT) and rice for the poor (raskin). It turns out the strategy successfully propelled Democrat Party as the victor in the election of 2009. The conclusion of the research is that there is a supra-structure hegemonic process, as described in the Gramscian tradition. The process of hegemony is also present in the infra-structure issues such as the aid from government or political parties. It is in the infra-structure issues that the research finds its relevance for it found another aspect in hegemony building process. Other conclusion is about the differentiation between the concept of national citizenship and village residentship. For the peasants of Ntobo and Kumbe, the vote in the election will fall according to the collective choice based on a paternalistic relation. |