Skripsi sederhana ini menelisik seluk-beluk kelumpuhan kesyairan Arab pra Islam, dalam pertaliannya dengan sikap Nabi Muhammad Ibn Abdillah Saw terhadap syair. Bermula dari Muhammad yang dinobatkan jadi utusan Tuhan. Lalu ia tertibkan tradisi syair. Orientasi syair, yang dulunya menjunjung tinggi licentia poetica, diubah menjadi sangat ideologis-yakni untuk mengabdi pada Tuhan. Muhammad memberikan aksi (pembaharuan), sementara penyair status quo bereaksi (resistensi). Sebab itu muncul kubu-kubuan di level ahli sastra: penyair dakwah versus pujangga jahiliyah. Seiring menguatnya politik penetrasi dakwah sang Nabi, para sastrawan pro-dakwah dijadikan sekutu, dan yang melawan dianggap subversif. Maka sengitnya polemik sastra menjadi keniscayaan yang sumir. Lalu kelompok Muhammad menerapkan strategi unggul untuk menggapai kemenangan. Caranya, satu, meracik 'kubu sastra' dalam satu komando. Dua, gradual dan evolutif-seiring kemapanan dakwah. Tiga, adanya teks suci sebagai legitimasi 'ajaran langit'. Empat, pembinaan penyair. Dan lima, penguasaan politik. Kelima strategi itu terbukti efektif dalam menyudahi kemapanan sastra Arab pra-Islam. Ihwal ini sekaligus melukiskan betapa denyut sastra jahiliyah tak mampu mengelak dari dinamika politik dan gejolak kemajuan intelektual. Mulanya sastra Arab pra-Islam hanya berbentuk larva, kemudian jadi kepompong, lantas berwujud kupu-kupu cantik yang terbang bebas mengudara, hingga akhirnya dipeluk bumi.... |