Obyek penelitian ini adalah peninggalan industri yang masih hidup (living industrial heritage) yang dikaji melalui arkeologi industri (industrial archaeology). Dipilihnya tema tersebut dalam penelitian ini dengan pertimbangan, selama ini penelitian arkeologi di Indonesia yang mengangkat topik arkeologi industri belum pernah dilakuan, meskipun peninggalan industri banyak terdapat di Indonesia. Manusia sejak masa lampau telah mengenal alat yang digunakan untuk mempermudah pekerjaannya. Seperti halnya dalam pembuatan gula berbahan baku tebu (Saccharum officinarum). Awal mulanya manusia mengenal pembuatan gula secara tradisional yakni menggunakan seperangkat alat sederhana yang dinamakan ?kilang?, yakni alat yang dibuat dari bahan kayu atau batu, gunanya untuk memeras atau menggiling tebu, digerakkan oleh tenaga hewan sapi atau kerbau. Cara-cara pembuatan gula secara tradisional tersebut setidak-tidaknya telah dikenal sejak abad ke-17 hingga abad ke-18 di Banten, Batavia dan sekitarnya. Bersamaan dengan kekuasaan bangsa Belanda, pada abad ke-19 mulai diperkenalkan teknologi baru dalam hal cara-cara pmbuatan gula, yakni menggunakan mesin-mesin mekanik dan mendirikan pabrik-pabrik gula. Mesinmesin tersebut adalah mesin bertenaga uap air bertekanan tinggi, merupakan wujud teknologi yang berkembang pada abad ke-19, yang ditemukan bersamaan dengan Revolusi Industri di Inggris abad ke-18. Industri gula merupakan suatu mekanisme yang terdiri dari beberapa komponen, lingkungan atau sumberdaya alam yang mendukung, ketersediaan bahan baku, mesin, peralatan, bangunan, dan orang-orang atau manusia yang melakukannya. Industri tersebut telah direncanakan secara matang dengan memperhatikan pertimbangan ekologis. Aktivitas industri gula Cepiring didukung oleh lingkungan alam atau lingkungan fisik yang ada disekitarnya. Berbagai benda-benda teknologi yang ditinggalkan, di masa kini menjadi buktibukti fisik kemajuan teknologi masa lampau, yakni kemajuan teknologi industri dan transportasi. Kemajuan teknologi tersebut disertai pula dengan perubahanperubahan pada masyarakat yakni munculnya masyarakat industri. The Object of the research is living industrial heritage seen from the point view of industrial archaeology. The theme is chosen because thus far research on industrial archaeology has not been carried out in Indonesia. Since a very long time ago, human beings have known tools to make their works easier. This was also the case with sugarcane (Saccharum officinarum) based sugar manufacture. Initially people made sugar traditionally using a series of simple tools made of wood or stone named ?mill? (kilang) to press or grind sugarcanes. The tool is moved by a bull or water buffalo. Such traditional way sugar manufacture had been practiced at least within 17th?18th centuries AD in Banten, Batavia, and the surrounding environment. With the coming of the Dutch colonial, in 19th century AD new technologies was introduced in sugar manufacturing procedure, such as: the use of mechanical machines and the establishment of more modern sugar factories. The new machines were powered by high-pressured steam, which was a type of technology that was developed in 19th century AD and was innovated during the Industrial Revolution in the United Kingdom in 18th century AD. Sugar manufacture industry as a mechanism that consist of several component: suitable environment or natural sources, availability of raw material, machinery, apparatus, factory building and manpower. This type of industry was thoroughly planned and taking into account the ecological factors. The activities of the Cepiring sugar factory were supported by suitable natural sources or physical environment. The various technological items that survived are the physical evidences of technological advancement in the past in the fields of industry and transportation, which were accompanied. |