Sebagian dari masa jang lampau rupa-rupanja tidak begitu melindungi tjandi Sadjiwan. Kalau kita sekarang mengundjungi tjandi Sadjiwan, kita akan melihat sebuah bangunan, jang sebagian besar telah mendjadi puing. Kita lebih merasa sajang lagi karena dari bagian2 bangunan jang masih ada, dapat kita lihat bahwa tjandi Sadjiwan bukan sebuah tjandi jang ketjil. Kesan jang timbul pada kita djika berhadapan dengan tjandi Sadjiwan sungguh berbeda dengan kesan jang ditimbulkan oleh sebuah bangunan seperti tjandi Borobudur umpamanja. Kalau kita menudju ke Barobudur dari arah Muntilan umpamanja, dari djauh sudah dapat kita lihat sosok tubuh tjandi itu. Tenang membukit tanpa terpengaruh oleh kekerdilan manusia jang mengerumininja. Dalam kepribadiannja tersimpan rahasia alam semesta. Manusia hanja dapat merasa kagum. Lain pula kesan jang ditimbulkan oleh tjandi Plaosan atau tjandi Loro Djonggrang. Bangunan2 ditempat2 batu berserakan itu melemparkan tantangan kepada kita. Tantangan agar kita membangun kembali kemegahan bangunan2 itu jang sekarang tersimpan dalam batu2 berserakan. Sebaliknja tjandi Sardjiwan tiada dapat menimbulkan rangsang jang demikian itu. Batu2 jang berserakan disekitarnja djelas lebih sedikit daripada jang hilang dari bangunan itu. Bukan rangsang untuk membangun jang ditimbulkan, tetapi rasa putus asa. Akan tetapi, dapatkah rasa demikian itu dibenarkan? Kalaupun tjandi Sardjiwan tidak merupakan_ |