Sumatra Timor, sekalipun telah di kenal oleh orang-orang Eropa semenjak kontak mereka yang pertama di Asia Tenggara pada abad ke 16 tetap nerupakan daerah yang secara ekonomi terpencil dan secara politik tidak menarik perhatian. Daerah ini terbentang 400 Km dari Tamia_ng di sebelah Utara sampai ke Indragiri di Selatan. Sumatra Timur di penuhi oleh hutan belantara yang lebat di mana terdapat bukit bukit dari daerah pesisir sampai ke pegunungan Bukit Barisan. Penduduk Sumatra Timur terdiri dari penduduk Batak di pedalaman sebelah Utara penduduk Minangkabau di tepi-tepi sungai di Selatan dan penduduk Me_layu yang berbaur dan senantiasa di pengaruhi oleh penduduk Batak, . Aceh dam Minangkabau. Sampai pada pertengahan abad ke 19, di Sumatra Timur terdapat se_jumlah kerajaan kecil di daerah pesisir dan terdapat lebih banyak di daerah pedalaman. Wilayah kerajaan -kerajaan ini menjadi rebutan dan pengaruh antara Aceh di Utara dan Johor di Malaya. Dengan kedatangan perusahaan-perusahaan asing yang di rintis oleh Jacobus Nienhujs serta keterlibatan pemerintah kolonial Belanda, maka Sumatra Timur menunjukkan potensi besar sebagai daerah penghasil dari tanaman-taman exsport seperti tembakau dan karet. Dalam waktu yang kurang dari enam puluh tahun, Sumatra Timur mengalami perubahan yang dramatis. Pada tahun 1930 Sumatra Timur telah npnjadi daerah penghasil tembakau dan karet terbesar di Hindia Belanda. Bersamaan dengan meningkatnya penanaman tembakau, raja-raja Melayu di perkuat posisinya. Hal ini terjadi melalui kontrak yang mereka buat dengan fihak perusahaan-perusahaan perkebunan asing. Perluasan areal perkebunan tembakau, karet dan kopra, telah mempersempit lahan lahan pertanian rakyat setempat. Hal ini dalam tahun 1930an mengakibatkan terjadinya krisis kekurangan tanah yang serius dalam tahun 1920an. Meningkatnya perluasan areal daerah penanaman tembakau telah men_dorang perusahaan-perusahaan perkebunan untuk memenuhi. kebutuhan kuli kuli. Penduduk setempat yang hidup dalam pola pertanian berladang menolak untuk menjadi kuli-kuli perkebunan. Keengganan penduduk asli menjadi kuli-kuli perkebunan untuk mendatangkan kuli-kuli dari Cina dan kemudian dari Jawa. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola kependudukan, mayoritas penduduk asli Melayu dan Batak berubah minoritas sementara pendatang Jawa menjadi penduduk mayoritas di Sumatra Timur. Untuk menjamin, bahwa kuli-kuli yang di datangkan dengan biaya perusahaan-perusahaan perkebunan, pemerintah kolonial Belanda atas desakan dari perusahaan-perusahaan perkebunan., memberlakukan peraturan' yang memberikan sangsi kepada kuli-kuli yang tidak bekerja sebagaimana yang tercantum dalam kontrak mereka atau yang melarikan diri dari pekerjaan mereka. Peraturan ini terkenal sebagai Poenale Sanctie. Kuli-kuli yang menarik diri atau tidak memenuhi kewajiban kerja mereka dapat dikenakan sangsi hukuman penjara. Depresi ekanomi yang terjadi pada akhir tahun 1920-an memberi pukulan tidak hanya terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan asing harus memotong areal produksi, mengurangi jumlah tenaga kerja serta menurunkan harga, akan tetapi juga memukul kehidupan penduduk yang bergantung kepada perusahaan-perusahaan perkebunan. Tanah jaluran yaitu tanah-tanah yang di tinggalkan oleh perusahaan-penisahaan per_kebunan setelah masa panenan selesai untuk digarap oleh para petani peladang. Seperti yang di ketahui, penanaman teuibakau mempergunakan tanah-tanah perkebunannya secara berorasi setiap tahun. Tanah yang telah dipetik hasil tembakaunya ditinggalkan untuk berpindah kepada tanah baru yang masah kosong. Berkurangnya tanah-tanah jaluran se_bagai akibat menurunnya areal produksi perusahaan perkebunan telah menimbulkan persaingan di antara penduduk setempat yaitu Batak dan Melayu yang mengklaim mmiiliki hak-hak istimewa sebagai penduduk asli atas tanah-tanah di Sumatra Timur dengan bekas-bekas kuli-kuli kontrak yang menetap dan bekerja di Sumatra Timur dari pada pulang kembali ke kampumg halaman mereka di Jawa. Sikap raja-raja Melayu dan Batak yang lebih memberikan perhatian kepada keuntungan yang mereka dapat peroleh dari perusahaan-perusahaan perkebunan asing ketimbang terhadap kepentingan rakyat Sumatra-Timur, di samping kegagalan pemerintah kolonia1 Belanda untuk memberikan perlindungan terhadap kuli-kuli di perkebunan-perkebunan, telah mendorong pembentukan organisasi-organisasi pergerakan di Sumatra Timor pada tahun 1910an dan 1920an. Masalah-masalah kekurangan tanah yang di alami oleh penduduk Batak dan Melayu serta keresahan kuli kuli perkebunan sebagai akibat tindakan yang tidak berperikenanusiaan dari assistent-assistent perkebunan telah menjadi bahan pemberitaan surat-surat kabar lokal di Sumatra Timur. Perbaikan sarana komunikasi yang menghubungkan Jawa dan Sumatra Timur, memungkinkan masuknya berbagai ide-ide baru seperti Islam reformis, Komunisme dan Nasionalisme ke Sumatra Timur. Sekalipun damikian persoalan yang dominan tetap di tandai oleh keresahan terhadap exsploitasi perusahaan-perusahaan perkebunan terhadap kuli-kuli maupun menyempttmya lahan-lahan pertanian di Sumatra Timur. Di samping itu, organisasi-organisasi pergerakan di Sumatra Timur di dominasi oleh pemimpin-pemimpin yang berasal dari Jawa, Minangkabau. Penelitian ini berusaha melihat usaha yang dilakukan oleh para pemimpin organisasi pergerakan di Sumatra Timur dalam menyalurkan keresahan-keresahan penduduk menghadapi tekanan ekonomi perkebunan yang memperoleh dukungan pemerintah kolonial Belanda. Penelitian ini juga memberikan perhatian pada masalah-masalah yang mempengaruhi perluasan surat kabar-surat kabar di Sumatra Timur, ketidak puasan terhadap raja-raja setempat serta meluasnya tindak kekerasan sebagai akibat pe berlakuan Poenale Sanctie di perkebunan-perkebunan. |