ABSTRAK Gelombang pemogokan antara tahun 1910-1920 memaksa pemerintah meninjau kembali kebijaksanaannya. Hubungan yang lebih langsung dengan buruh tampak jelas dalam periode ini. Pada tahun 1919 Gubernur Jendral van Limburg Stirum membentuk komisi untuk kemungkinan standar gaji minimum, mengawasi kondisi buruh, sebagai contoh, menyelidiki tingkat kesejahteraan penduduk di Jawa. Kemudian di akhir tahun 1921, Komisi ini dialihkan ka dalam Kan_toor van Arbeid dengan staf yang lebih besar dan fungsi yang lebih luas. Kemerosotan tingkat kesejahteraan pen_duduk Jawa sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1830, di bawah sistem Tanam Paksa. Di mana tingkat perekonomian kolonial menanjak dengan cepat sementara itu kesejahte_raan penduduk sebaliknya kian merosot. Antara tahun 1918-1920, perekonoman tanah Hindia kian merosot. PD I dan malaise yang diakibatkannya menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok mendadak naik. Sudah menjadi jelas bahwa kaum buruhlah yang pertama merasakan akibatnya. Dalam situasi yang serba sulit ini kaum maji_kan tetap tidak mau ambil peduli terhadap tuntutan buruhnya, bahkan para pengusaha-pengusaha besar melakukan kerja sama dan membentuk korporasi. Misalnya kongsi gula (Sugar Syndicate) dengan induk perusahaan Belandanya BB_NISO, sementara usaha-usaha yang sejenis mengikuti jejak di atas. Pemilik penanaman bergabung ke dalam Cultiva_tion Owners, 1918 ada asosiasi para majikan dan onderne-mersraad, dll. Dan tidak mengherankan kalau antara tahun 1918-1920 gelombang pemogokan begitu hebat. Dan skripsi ini mengisahkan tentang perlawanan tersebut.
|