Kelas pedagang di Jepang pada masa Tokugawa secara politik tidak berada dalam posisi menentukan. Kalau kelas pedagang di Eropa merupakan kelas yang memimpin, maka di Jepang mereka adalah yang dipimpin. Bukti-bukti historis, seperti diuraikan dalam skripsi ini, membuktikan hal itu. Kelurga Tokugawa, yang menguasai pemerintahan Bakufu, setelah jatuhnya keluarga Toyatomi, menjalankan politik konfusianisme membentuk masyarakat feodal. Masyarakat dipilah-pilah menjadi empat kelas, yaitu: militer, petani, tukang, dan pedagang. Dan satu lagi yang tidak masuk hitungan sebagai manusia, yaitu eta/hinin. Petani dan tukang dianggap kelas produktif sehingga mereka berada dalam urutan kedua dan ketiga setelah kaum samurai. Pedagang tidak termasuk kelompok sosial terhormat di mata Bakufu, walaupun ia mengakui akan pentingnya kelas ini. Peraturan-peraturan yang membatasi gerak pedagang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka proses refeodalisasi yang disempurnakan dengan penstabilan negara. Ditinjau dari segi status sosial kelas pedagang memang berada dalam urutan paling bawah, tetapi sesungguhnya mereka memiliki kenikmatan hidup yang lebih daripada petani dan tukang. Para petani senantiasa dibebani berbagai pajak oleh pemerintah yang sangat merugikan. Kondisi politis yang demikian mengakibatkan para petani banyak yang berubah status menjadi pedagang. Bahkan samurai banyak yang meninggalkan pedang-nya (pedang sebagai lambang ketinggian status bagi kaum samurai) berubah menjadi pedagang, hanya untuk memperoleh keuntungan dan kenikmatan hidup. Diberlakukannya sistem Sankin Kotai telah menaikkan pamor pedagang. Para penguasa daerah, akibat sistem tersebut, dan mengalami kesulitan keuangan. Mereka sering kali meminjam uang kepada para pedagang. Karena itu tidaklah heran bila para Daimyo (penguasa daerah) lebih menarik simpati kepada pedagang dari pada kepada para petani. Sistem ekonomi uang yang mulai nampak pada masa Tokugawa menambah kuatnya posisi kelas kaum pedagang dan sekaligus mengancam sistem feodal. Petani juga terkena dampak dari pada sistem ekonomi uang ini. Melihat kenyataan ini, muncul beberapa pemikiran, yaitu beberapa orang mengusulkan agar ekonomi uang dibatasi, dan agar sistem monopoli dibatasi. Usul lain: Alat tukar bukan menggunakan uang tetapi menggunakan biji-bijian. Walaupun ada usul agar para pedagang dibatasi dan ekonomi feodal dikembalikan, para pedagang tetap melaju, nenikmati keuntungan yang banyak. Kaum usahawan, industiawan, para bankir semakin bermunculan. Timbulnya hal ini sedikit banyak menjadi ancaman bagi Bakufu. Atau paling tidak menjadi kesulitan bagi Bakufu, disamping Bakufu menyadari akan pentingnya kedudukan para pedagang. Problematik yang dialami oleh Bakufu terutama apakah monopoli diijinkan dan menarik pajak dari buruh atau dihapuskannya (monopoli, pajak, kenaikan harga). Ini adalah sebuah dilema karena sumber pendapatan feodal tidak lagi memenuhi kebutuhan, terutama setelah para petani meninggalkan ladang-ladang. Walaupun kesulitan-kesulitan dialami Bakufu, akan tetapi supremasi politiknya tetap bertahan. Para pedagang masih tetap tidak menduduki posisi yang menentukan secara politis. Bahkan para pedagang pada masa Tokugawa sering kali terbentur sebagai akibat kebijaksanaan Bakufu. Pada permulaan abad ke-17, misalnya, sistem monopoli dihapuskan sehingga mengacaukan para pedagang. Dari sini nampak bahwa para pedagang atau pengusaha Jepang sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan para pedagang/pengusaha di Eropa. Para pengusaha di Eropa, seperti sudah disebutkan, memiliki posisi yang menentukan dan memiliki kemerdekaan politis, sehingga mampu mengadakan perubahan secara fundamental. Para pengusaha di Jepang tidak demikian. Sistem feodal konfusianisme telah menempatkan pedagang pada posisi yang tidak menguntungkan, sebaliknya kaum samurai yang menguasai pemerintanan Bakufu telah mapan. |