Pabrik Gula Poerworedjo dibangun tahun 1909 di Afdeeling Poerworedjo Karesidenan Kedoe. Setelah Perang Dunia I dan terjadi krisis ekonomi tahun 1920 sebagai dampaknya, produksi pabrik ini secara umum mengalami peningkatan pada tahun 1920-an. Peningkatan ini didukung oleh kondisi pasaran gula yang mengalami kenaikan harga secara umum, walaupun pada tahun-tahun tertentu ada sedikit penurunan harga gula namun hal tersebut tidak banyak mempengaruhi produksi Pabrik Gula Poerworedjo. Pabrik ini terus meluaskan areal perkebunannya dan menambah produksinya. Tampaknya, peningkatan produksi yang selama kurang lebih sepuluh tahun itu dirasakan, harus mengalami guncangan berat akibat depresi ekonomi 1929 yang hampir melumpuhkan perekonomian dunia, termasuk Hindia Belanda. Harga gula jatuh dan terus menerus mengalami penurunan. Dengan demikian, Pabrik Gula Poerworedjo mengalami kerugian karena biaya produksi yang dikeluarkan lebih besar dari harga jual gula yang rendah. Belum lagi penyakit Kalimati yang sempat menyerang tanaman tahu di perkebunannya tahun 1930. Bukan hanya itu, dan yang paling memberikan dampak buruk bagi kelangsungan produksi Pabrik Gula Poerworedjo adalah kebijakan pemerintah melalui Suikeruitvoer-ordonnantie dan Suikeruitvoer-verordening yang membatasi produksi gula untuk ekspor. Sehingga tahun 1932, Pabrik Gula tidak dapat menanami sebagian besar areal lahannya dan tahun 1933, sama sekali tidak melakukan penanaman tabu. Dengan demikian hal ini memaksa Pabrik Gula Poerworedjo mengakhiri produksinya dan tutup di tahun 1933. Penutupan Pabrik Gula Poerworedjo ini temyata membawa dampak pula terhadap perubahan ekonomi penduduk yang terlibat di dalamnya. Para kuli dan pegawai yang bekerja baik di pabrik maupun di perkebunan, harus kehilangan pendapatan tambahan mereka. Mereka yang biasanya bekerja di kebun tahu setelah panen padi, setelah pabrik tutup hanya dapat menanam palawija di sawah atau bekerja sambilan menjadi buruh upahan. Dan penduduk yang menyewakan tanahnya kepada pabrik gula, tidak dapat lagi memiliki uang sewa yang dulu diterimanya. Terlebih lagi, bukan hanya harga komoditi ekspor saja yang mengalami penurunan harga padi dan hasil palawija lainnya juga ikut menurun. Turunnya harga hasil tanaman penduduk ini mengakibatkan menurunnya juga pendapatan penduduk. |