Dengan makin berkembangnya perusahaan-perusahaan jasa, makin dibutuhkan suatu alat penqukuran kinerja yang lebih kuantitatif/lebih bisa diukur. Karena pada dasarnya, seberapa bagus pelayanan sangat subyektif dan sulit diukur, sehingga jarang orang menciptakan patokan untuk pengukuran. Yang ada selama ini, biasanya adalah pengukuran yang ditujukan untuk produk-produk selain jasa. Karena itu dicoba untuk menggunakan suatu metode pengukuran kualitas pelayanan pasa RS MMC. Dalam skripsi, dicoba untuk diterapkan suatu model pengukuran kualitas pelayanan yang diusulkan oleh Parasuraman, dkk., yang disebut analisa gap. Dimana menurut mereka, kualitas pelayanan, secara keseluruhan, adalah perbedaan antara harapan dan persepsi konsumen (gap 5). Dan gap 5 adalah fungsi dari gap 1-4 yang melibatkan manajemen serta bagaimana peqawai menyampaikan apa yang dipersepsikan oleh manajemen tentanq keinqinan konsumen pada pelayanan yang diberikan. Untuk menghitung perbedaan antara harapan dan persepsi konsumen, digunakan kuesioner yang mengandung 5 dimensi. Di mana kelima dimensi itu, menurut Parasuraman adalah faktor-faktor yang biasanya diqunakan oleh konsumen dalam menilai kualitas pelayanan. Bila ternyata didapat angka negatif (gap 5), Baru dicari penyebabnya dari segi manajemen maupun pegawai melalui gap 1-4. Dari penelitian, diperoleh hasil bahwa secara garis besar, perceived service quality berdasarkan responden, adalah -0.30742. Atau bila dirinci menurut dimensinya, yang memiliki nilai tertinggi adalah empathy diikuti tangible, responsiveness, kemudian assurance dan reliability. Secara lebih jauh kemudian diteliti mengapa terjadi nilai yang negatif tersebut. Ternyata terjadi gap 3, yaitu service delivery gap yang mengisyaratkan adanya perbedaan spesifikasi kualitas pelayanan dengan kinerja dalam produksi dan proses penyampaian jasa. Sebabnya antara lain, adalah adanya persaingan yang mengakibatkan sulitnya mencari tenaga yang berpengalaman, dan tidak memadainya lagi reward yang diterima, karena RS lain menawarkan yang lebih tinggi. Juga perlu diwaspadai subyektivitas atas penilaian kinerja meski sistem penilaiannya sudah bagus. Sebab lain adalah kurang adanya penekanan atas kriteria yang ada dalam penilaian kinerja, semua kriteria dianqgap penting. Selain itu terjadi juga gap 2, yaitu spesifikasi kualitas pelayanan yang tidak konsisten dengan persepsi manajemen tentang harapan konsumen. Sebabnya kurang adanya penghargaan lebih baqi tingkat manajerial yang melakukan usaha peningkatan pelayanan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pada dasarnya pelayanan di rumah sakit ini cukup baik, namun masih bisa ditingkatkan dengan lebih banyak program-program dari manajemennya yang berfokus pada peningkatan kualitas pelayanan. Misalnya, penekanan pada unsur tertentu (satu atau dua unsur) yang ada dalam kriteria penilaian kinerja pegawai, maupun tingkat manajerial. Sehingga mereka jelas akan arah dan tujuan rumah sakit. Tentunya didukunq dengan reward bagi mereka yang memberikan performance yang memuaskan, yang pada akhirnya akan dapat merangsang pegawai untuk memuaskan pasiennya. |