Kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat, khususnya teknologi internet, telah menyebabkan banyak perubahan pada berbagai segi kehidupanmanusia. Pelaku bisnis yang ingin tetap bertahan hidup dan terus berkembang harusmenyesuaikan dirl dengan kemajuan teknologi. dan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Kegiatan bisnis dan perdagangan yang semula dilakukan secara tradisional kini telah banyak dilakukan secra on-line melalui berbagai saranatelekomunikasi, khususnya internet, yang dikenal sebagai e-co/nmerce.E-cornmerce telah dirasakan berbagai manfaatnya oleh banyak pelaku bisnis, tetapi muncul juga berbagai masalah baru yang dihadapi berbagai pihak, salah satu masalah yang timbul adalah menyangkut aspek perpajakan alas transaksi e- commerce. Peraturan perpajakan yang ada kurang mengatur secara spesifik mengenai transaksi e-commerce,, padahal, transaksi e-commerce diperkirakan akan terus berkembang pesat.Mengingat belum adanya peraturan perpajakan yang khusus mengatur tentang transaksi e-commerce dan pemerintah diharapkan tidak kehilangan penerimaan pajak, peraturan perundang-undangan perpajakan yang ada —meskipun masih memiliki kekurangan—dapat diaplikasikan secara optimal terhadap transaksi e-commerce.Undang-Undang No.8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM menjadi dasar hukum dari pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tersebut, sebagairnana telah diubah terakhir dengan UU NO.18 tahun2000 sendiri masih memiliki banyak kelemahan-kelemahan, namun demikian hal tersebut bukan menjadi alasan untuk tidak dapat mengenakan PPN atas transaksi ecommerce.Masalah pengenaan pajak terhadap transaksi e-commerce sampai sekarang masih menjadi polemik di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat. Banyak pibak yang setuju (pro) maupun yang menentang (kontra) pengenaan pajak atastransaksi e-commerce. Pada akhimya, suatu transaksi yang dilakukan secara on-line—sepanjang mernenuhi kriteria sebagai obyek pajak (PPN)— tentunya harus dikenakan pajak sehingga tidak ada perbedaan dalam hal perlakuan pajak dengan transaksi yang dilakukan secaa off-line.Dengan e-commerce, transaksi yang dilakukan menjadi lebih kompleks, khususnya transaksi yang melibatkan beberapa pihak dari dua atau lebih negara.Sebagai contoh, penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak melalui internet kepada pihak di luar Daerah Pabean menimbulkan pertanyaan apakah transaksi tersebut dikenakan PPN atau tidak,mengingat masing-masing pihak yang terlibat (pembeli dan penjual) melakukantransaksi dan tempatnya masing-masing (penjual berada di dalam Daerah Pabean sedangkan pembeli berada di luar Daerah Pabean).Supaya berbagai peraturan perpajakan yang ada juga bisa diterapkan dalam konteks e-commerce, pengkajian kembali dan interpretasi berbagai peraturan perpajakan yang ada seharusnya dikembangkan dan diharapkan akan meminimalkanrnasalah yang timbul seiring dengan perkembangan e-commerce di Indonesia.Berbagai hal (terutama mengenai definisi) yang dimuat dalam peraturan perpajakanjuga seharusnya diperjelas sehingga lebih memberikan kepastian hukurn.Untuk dapat menerapkan peraturan perpajakan terhadap transaksi e-commercesecara optimal, diperlukan kerja sama antara Direktorat Jenderal Pajak denganberbagai instansi pernerintah seperti Departmen Perindustrian dan Perdagangandan Departemen Hukum dan Perundang-undangan, dan juga dengan berbagai pelaku e-commerce termasi4k masyarakat, kalangan profesi (seperti akuntan publik), dan pemerintah dari negara-negara lainnya. Berbagai peraturan perpajakan yangbersifat rnenghambat e-commerce maupun pemungutan PPN itu sendiri seharusnyadihilangkan (diminimalkan). |