:: Naskah :: Kembali

Naskah :: Kembali

Cariyosipun dipati sawunggaling keplajeng Isp

([publisher not identified], [date of publication not identified])

 Abstrak

Naskah ini berisi tiga cerita rakyat yang disusun oleh Mulyadiharja. Menurut keterangan, Mulyadiharja adalah orang desa yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Naskah ini diperoleh Pigeaud pada tanggal 17 April 1939 dari Mas Sastradikrama, Boyolali. Kisah pertama, h.1-9, menceriterakan Dipati Sawunggaling adu jago dengan Dipati Panjer, dengan taruhan seluruh negara beserta isinya. Syarat jago dianggap kalah, tidak hanya kalau berbunyi keok, tetapi lari meninggalkan gelanggang. Aduan pun berlangsung dengan ramai. Dalam arena aduan ini, Dipati Sawunggaling berlaku curang, tetapi sempat diketahui oleh Dipati Panjer. Ketika jagonya terlihat akan kalah, maka Dipati Sawunggaling menghilang dan masuk ke dalam badan jagonya. Dipati Panjer pun tak ketinggalan masuk ke dalam jagonya juga. Pertarungan bertambah seru. Jago Dipati Sawunggaling keluar arena, dan dikejar sampai ke mana pun larinya. Akhirnya Dipati Sawunggaling terlunta-lunta, kemudian bertempat tinggal di hutan. Dia hidup dari bertani, beternak, dan menanam bunga kanthil putih dan kuning dalam satu pohon. Siang malam dia selalu berdoa agar dapat membalas Dipati Panjer, tetapi meninggal sebelum terkabul niatnya. Sepeninggal Dipati Sawunggaling, ayam dan kembang kanthilnya di Hutan Kejaba, tidak ada yang berani mengambil karena seram. Di Hutan Kejaba itu ada pohon beringin besar yang merupakan tempat peristirahatan Dipati Sawunggaling, dan sekarang dijadikan tempat ziarah orang desa sekitarnya. Hutan Kejaba sekarang terkenal sebagai daerah yang menghasilkan ayam jago hutan yang handal. Dipati Panjer setelah mendengar Dipati Sawunggaling meninggal, akhirnya ikut meninggal. Daerah tempat Dipati Panjer sekarang menjadi desa dengan nama desa Panjer. Dan bekas tempat mengadu jago namanya desa Kalasan. Desa Panjer sekarang terkenal dengan jago adu berkaki hitam yang handal, dan burung perkutut yang dapat berbunyi kung. Cerita kedua, h.10-13, menceritakan tentang Gua Songputri di desa Ngleri wilayah Plajen. Di desa Ngleri ada gunung Gua Songputri yang berbentuk lempengan. Guwa ini dulu dipakai bertapa seorang putri selama bertahun-tahun sampai menjadi nenek-nenek. Ada seorang raja mendapat wangsit, agar dia kawin dengan seorang putri. Maka diutusnya patih beserta bala tentaranya untuk mencarikan putri tersebut. Setelah sampai di tempat putri berada, utusan tersebut menceriterakan semuanya. Nenek tersebut berkata bahwa di tempat itu yang ada hanyalah seorang nenek, tak ada putri. Dia begitu kasihan melihat mereka kelaparan, maka ditanakkan nasi satu kendhil. Mereka semua mengganggap tentu tidak akan cukup. Namun setelah nasi diler dan disajikan, ternyata semua merasa kecukupan. Hal ini menimbulkan keheranan mereka semua, sehingga tempat itu kemudian disebut Desa Ngleri. Setelah sampai kembali di istana semua yang sudah dilihat diceriterakan meraka kepada raja. Raja mengetahui bahwa nenek-nenek tersebut adalah putri yang dimaksud. Maka ia menyuruh patih memboyong nenek tersebut. Nenek tersebut menyetujui dengan syarat tidak menyeberangi sungai, dan tidak mau naik kendaraan sekalipun dengan tandu. Dalam perjalanan dijumpai sungai, maka patih mengibaskan tanah yang melektt dikakiya, dan terjadilah jembatan yang bernama Wot Siti. Airnya mengalir sampai desa Muladan. Dalam perjalanan, nenek tersebut sakit, dan tak ada obat yang mempan. Maka diistirahatkan di desa Sudamara (Imagiri) kelurahan Songgraha. Gua tempat bertapa putri disebut Gua Songputri, di dekatnya ada mata air Kali-raman, yang merupakan tempat mandi sang Putri. Sekarang diganti namanya menjadi Sendhang Kalimulya. Cerita ketiga, h.13-15, tentang asal mula Kelurahan Plembutan, desa Plajen wilayah Mulat Plembutan, merupakan kraton lelembut. Lelembut yang tua namanya Raden Tatit dan yang muda Raden Agung. Orang desa sekitar tidak ada yang tahu wujud lelembut. Mereka maju dalam hal bertani, berdagang, membuat gula jawa. Di desa Plembutan tak ada sebuah sumur pun. Berdasarkan cerita Pak Guna, waktu menggali sumur ditemukan batu yang dilinggis dan pecah tiga. Waktu itu terdengar suara, 'Hai Pak Guna, janganlah merusak rumah dan keluargaku, kalau tidak engkau akan menemui celaka. Dengarkan pantanganku ini. Kalau kamu tetap nekat, walaupun dengan seribu linggis sekalipun, tetap tidak akan mengeluarkan air, kecuali orang-orang Plembutan dan Papringan. Salinan naskah ini, lihat FSUI/99, dibuat rangkap empat oleh staf Pigeaud.

 File Digital: 1

Shelf
 CL.98-A41.09a_Cariyosipun_Dipati_Sawunggaling_Keplajeng_lsp.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : CL.98-A 41.09a
Subjek :
Penerbitan : [Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
Sumber Pengatalogan:
ISBN:
Tipe Konten:
Tipe Media:
Tipe Carrier:
Edisi:
Catatan Seri:
Catatan Umum: Aks. Jawa ; Prosa ; ditulis di atas buku tulis ; Rol 149.06
Deskripsi Fisik: 15 hlm. ; 24 baris/hlm. ; 21x16,5 cm.
Lembaga Pemilik: Universitas Indonesia
Lokasi: Perpustakaan UI, Lantai 2
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
CL.98-A 41.09a TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20187029