Mekanisme pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi sebagai proses perlindungan hak bagi penerima gratifikasi
Robie Aryawan Haris;
R. Narendra Jatna, supervisor; Hasril Hertanto, supervisor
(Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008)
|
Pembalikan beban pembuktian merupakan beban pembuktian yang dengan adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak tidak lagi diletakkan pada diri penuntut umum, namun terletak pada terdakwa. Pembalikan beban pembuktian digunakan untuk pembuktian pada delik gratifikasi dalam tindak pidana korupsi. Gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas dan diberikan di dalam maupun di luar negeri baik menggunakan sarana elektronik maupun tidak. Gratifikasi diatur pada Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Mekanisme pembalikan beban pembuktian dalam delik gratifikasi dilakukan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan beban pembuktian ada pada penuntut umum. Hal itu terjadi karena pada Pasal 12B dicantumkan unsur ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang berhubungan dengan kewajiban atau tugas”. Dengan adanya unsur tersebut maka berlaku ketentuan dalam hukum pidana yaitu pencantuman segala unsur dalam rumusan pasal menjadi kewajiban jaksa penuntut umum untuk membuktikannya. Menurut Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diberlakukan mekanisme pelaporan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai bentuk upaya pencegahan sebelum perkara masuk ke persidangan. Pembalikan beban pembuktian dalam delik gratifikasi merupakan hak bagi penerima gratifikasi, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi. Mekanisme pembalikan beban pembuktian justru melindungi penerima gratifikasi karena dengan dicantumkannya unsur ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas” beban pembuktian kembali ada pada penuntut umum. Dalam mekanisme pelaporan ke KPK sesuai Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, penerima gratifikasi yang melapor mendapat status hukum sebagai pelapor. Pelapor mendapat perlindungan yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporannya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yuridis dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Reversal burden of proof is a burden of proof that with its special urgency is not being placed in the hand of the general prosecutor instead becomes the burden for the defendant. Reversal burden of proof is use for evidential process in gratification as a form of corruption. Gratification is a form of gift in a broad meaning and given inside or outside the country whether using electronic means or not. Gratification is mention in the provision 12 B in Act No.20 year 2001. Reversal burden of proof mechanism in gratification carried out according to code of criminal conduct process (KUHAP), with the burden of proof lies in the hand of the general prosecutor. It occurs because in the provision 12 B, the element “that connected with the profession and in contrary to the duty or obligation”. With these elements, then apply the rule in criminal law that every elements mention in the provision becomes the obligation of the general prosecutor to prove it. According to provision 12 C Act No.20 year 2001 the application of gratification reporting mechanism to the Corruption Eradication Commission (KPK) as a form of preventive action before the case goes in to the trial process. Reversal burden of proof in gratification is a right for gratification receiver, this is according to provision 37 Act No.20 year 2001 which stated that “defendant has the right to prove that his/her is innocent from doing corruption”. The reversal burden of proof mechanism is actually protecting gratification receiver, because with element “that connected with the profession and in the contrary to the duty or obligation” mention in the provision 12B, the burden of proof is back in the hand of the general prosecutor. In the reporting mechanism to KPK according to provision 31 Act No.31 year 1999, the gratification receiver who report to KPK get a status as reporting person. The reporting person get protection according to provision 10 Act No.13 year 2006 about the protection of Witness and Victim. The protection they get is that the reporting person can not be sue for the report they give. This research is a descriptive research using normative judicial research method. |
S22414-Robie Aryawan Haris.pdf :: Unduh
|
No. Panggil : | S-Pdf |
Entri utama-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama badan : | |
Subjek : | |
Penerbitan : | Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008 |
Program Studi : |
Bahasa : | ind |
Sumber Pengatalogan : | LibUI ind rda |
Tipe Konten : | text |
Tipe Media : | computer |
Tipe Carrier : | online resource |
Deskripsi Fisik : | vi, 97 pages ; 28 cm |
Naskah Ringkas : | |
Lembaga Pemilik : | Universitas Indonesia |
Lokasi : | Perpustakaan UI |
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
S-Pdf | 14-22-11933346 | TERSEDIA |
Ulasan: |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20199824 |