Pemerintah menerapkan pembatasan terhadapkepemilikan tanah di Indonesia. Pemerintah melarang badanhukum, kecuali badan hukum tertentu yang dinyatakan olehperaturan perundang-undangan, untuk memiliki tanah denganstatus Hak milik yang merupakan status hak tertinggidalam kepemilikan tanah di Indonesia. Dalam transaksi yangterkait dengan pertanahan, tidak jarang dijumpai badanhukum (yang tidak ditunjuk Pemerintah) yang mengupayakanagar dapat memperoleh tanah dengan status Hak Milik.Mekanisme yang digunakan biasanya adalah dengan caramelakukan perjanjian nominee. Status Hak Milik atas tanahini lebih disukai badan hukum ketimbang status Hak GunaUsaha, Hak Guna Bangunan, ataupun Hak Pakai, mengingatbahwa status Hak Milik atas tanah adalah turun-temurun,terkuat, dan terpenuh. Perjanjian nominee dimungkinkanberdasarkan ketentuan pada Buku III KUHPerdata, sepanjangmemenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Penelitianini bersifat deskriptis analitis dengan metode pendekatanyuridis normatif berdasarkan data sekunder yang diperolehdari hasil penelitian kepustakaan dan data primer. Padakasus yang dibahas, Putusan Majelis Hakim MA menyatakanbahwa pemilik sesungguhnya dari tanah dan bangunan adalahpihak yayasan dan bukan karyawan, karena terdapatnyaperjanjian nominee yang berkaitan/melatarbelakangipembelian tanah dan bangunan tersebut. Namun demikian,berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa Majelis Hakimsalah dalam menerapkan hukum, karena Majelis Hakim tidakmemperhatikan bahwa perjanjian nominee tersebut merupakanupaya penyelundupan hukum sehubungan dengan keinginanyayasan tersebut untuk memperoleh tanah dengan status hakmilik. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, yayasansebagai badan hukum (yang tidak ditunjuk Pemerintah) tidakdiperkenankan untuk memperoleh hak milik. Oleh karenanya,mengingat perjanjian nomineenya batal demi hukum (yaitumelanggar Pasal 21 ayat (2) jo Pasal 26 ayat (2) UUPA) maka jual beli atas tanah dan bangunan tersebut juga bataldemi hukum, kemudian tanah tersebut jatuh kepada Negara. |