Forestry agreement
Tribuana Tunggadewi P.;
Fatimah Hidayat, supervisor; Juzak Sanip, supervisor
(Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990)
|
Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alam yang besar, antara lain hutan-hutan tropisnya yang luas. Oleh karena itu untuk melestarikannya perlu adanya suatu pengaturan yang khusus dalam hal pengusahaan hutan agar hutan-hutan di lndonesia tidak diusahakan secara liar (sernbarangan) dan mencegah terjadinya masalah-masalah lingkungan hidup. Untuk itu bagi para pengusaha yang berminat untuk mengusahakan hutan, Departemen. Kehutanan mensyaratkan agar terlebih dahulu mengadakan perjanjian yang dilakukan antara Pemerintah dengan Pengusaha Swasta yang disebut dengan Forestry Agreement (Perjanjian Tentang Pengusahaan Rutan). Setelah diadakan perjanjian tersebut, Pemerintah memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) melalui Surat Keputusan RPR. Hak ini meliputi hak untuk menebanq, menqolah dan memasarkan kayu yanq ada dalam areal kerjanya berdasarkan syarat yanq ditetapkan peraturan perundangan Indonesia dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Dengan adanya perjanjian yang demikian ternyata banyak menimbulkan permasalahan, antara lain permasalahan yang timbul sehubungan dengan dikaitkannya perjanjian tersebut diatas dengan teori perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yaitu bahwa kedudukan para pihak dalam perjanjian tersebut adalah tidak seimbang. Kemudian dalam perkembangannya ternyata Forestry Agrement dicabut, namun bukan berarti bahwa Forestry Agreement tidak berlaku lagi sebab jangka waktu Forestry Agreement 20 tahun. Tindakan ini malah menimbulkan masalah baru yaitu adanya dualisme dalam menyelesaikan masalah mengenai Hak Pengusahaan Hutan. Setelah dianalisa dalam skripsi ini ternyata Forestry Agreement. tetap merupakan perjanjian yang sah, sebab memenuhi persyaratan yang tercantum dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Mengenai kedudukan yang tidak seimbang antara Pemerintah dan Pengusaha Swasta dalam hal adanya kewenangan Pemerintah untuk membatalkan perjanjian secara sepihak tanpa melalui Pengadilan, ternyata dalam hal ini Forestry Agreement tidak sesuai dengan jiwa pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebab menurut pasal tersebut apabila syarat batal suatu perjanjian dipenuhi, pembatalan perjanjian tersebut tetap harus dilakukan dimuka hakim. Berarti dalam hal ini Forestry Agreement mengeyampingkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Maka penulis condong untuk menilai Forestry Agreement sebagai perjanjian semu atau quasi contract, dan karenanya bentuk akta perjanjiannya adalah standard konrak khusus. Namun kesepakan dalam Forestry Agreement tidak bersifat rnelawan hukum, sebab Hukum Perjanjian menganut sistem terhuka. Kemudian mengenai adanya dualisme diselesaikan dengan mengeluarkan suatu produk hukum yang mengatur satu cara penyelesaian masalah HPH. |
S-Tribuana Tunggadewi P.pdf :: Unduh
|
No. Panggil : | S-pdf |
Entri utama-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama badan : | |
Subjek : | |
Penerbitan : | Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990 |
Program Studi : |
Bahasa : | ind |
Sumber Pengatalogan : | LibUI ind rda |
Tipe Konten : | text |
Tipe Media : | computer |
Tipe Carrier : | online resource |
Deskripsi Fisik : | v, 81 pages : illustration. |
Naskah Ringkas : | |
Lembaga Pemilik : | Universitas Indonesia |
Lokasi : | Perpustakaan UI, Lantai 3 |
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
S-pdf | 14-22-56671577 | TERSEDIA |
Ulasan: |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20200663 |