Perkawinan beda agama bukan merupakan masalah baru, perkawinan semacam ini telah banyak terjadi jauh sebelum undang-undang perkawinan dibentuk. Dalam tata hukum kolonial bentuk perkawinan semacam ini mendapatkan tempat yang kuat dalam hukum positif sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (2) GHR. Setelah berlakunya UUP, melalui suatu perdebatan yang cukup panjang, ketentuan mengenai perkawinan beda agama tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi, sehubungan dengan banyaknya kasus perkawinan beda agama yang terjadi, maka penemuan hukum atas masalah ini terus dicari, sehingga menimbulkan pendapat baik yang pro maupun kontra. Ketidaktegasan UUP ^ dalam mengatur mengenai hal ini, menimbulkan iDanyak interpretasi yang berbeda-beda, tidak terkecuali dikalangan hakim sebagai penegak hukum. Secara nukum positif maupun secara sosiologis mungkin dapat diterima bentuk perkawinan semacam ini. Hal ini sebagaimana terlihat dari sikap MA-RI dalam putusannya No. 1400 K/Pdyi98 6 atas perkara Andi Vonny Gani P, seorang wanita muslim yang hendak menikah dengan pria non muslim, dalam putusannya Majelis Hakim MA-RI mengabulkan perkawinan mereka. Di dalam pertimbangannya MA-RI menyatakan bahwa UUP tidak mengatur mengenai hal ini sehingga terjadi kekosongan hukum, oleh karenanya perlu dicari hukumnya. Pendirian mana didasarkan pada suatu kenyataan bahwa untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan dikemudian hari, seperti terjadinya penyelundupan nilai-nilai sosial, agama dan hukum Namun dipandang dari sudut agama tidaklah demikian, pada dasarnya semua agama melarang perkawinan beda agama. Walaupun tidak menutup kemungkinan akan adanya kelonggaran-kelonggaran. Tetapi, khusus dalam agama Islam, seorang non muslim. Dengan adanya perbedaan pendapat mengenai beda agama. Oleh karenanya perbedaan pendapat mengenai hal ini dapat diakhiri bilamana UUP dikemudian hari mempertegas kedudukan perkawinan semacam ini. |