Kebakaran hutan dan lahan merupakan peristiwa yang hampir terjadi di propinsi Riau setiap tahun pada areal HPH, HPHTI, perkebunan dan perladangan. Kebakaran yang terjadi di lahan perkebunan dan HPHTI pada umumnya didahului dengan adanya konversi hutan menjadi lahan perkebunan dan HPHTI kemudian diikuti dengan pembakaran pada waktu melakukan kegiatan pembersihan lahan. Luas areal kebakaran hutan dan lahan di propinsi Riau selama lima (5) tahun terakhir mulai tahun 1997 sampai tahun 2001 adalah sebesar 42.374,16 Ha yang pada umumnya terjadi di kawasan HPH, HPHTI, perkebunan, dan perladangan masyarakat. Pada awal tahun 2003 sampai 30 Juni 2003 di propinsi Riau terdapat 5.133 hot spot yang. ditemukan di seluruh kabupaten / kota. Kebakaran hutan dan lahan akan menghasilkan emisi terutama partikulat (PM10), CO, 03, NOz, S02 yang sangat berdampak terhadap kesehatan manusia. Asap yang merupakan partikel halus yang dihasilkan proses pembakaran akan dapat meningkatkan kasus Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Selain itu, kebakaran hutan dan lahan berdampak juga terhadap lingkungan fisik dan ekonomi di Pekanbaru, Riau. Total kerugian bulan Juni tahun 2003 saja sebesar Rp 19 milyar lebih. Itu pun tanpa memasukkan variabel transportasi, perdagangan, hilangnya kesempatan panen, dan peningkatan penderita ISPA (infeksi saluran pemafasan atas) akibat asap. Kebakaran hutan dan lahan akan mengakibatkan kualitas udara yang tidak baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantauan kualitas udara setiap waktu dimana parameter utama adalah PM10, CO, Oa, N02, S02. Hasil pemantauan tersebut akan menghasilkan suatu nilai konsentrasi dari tiap parameter yang nantinya diubah menjadi suatu nilai ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara). Nilai ISPU ini akan dianalisa dengan mencari nilai minimum, maksimum, dan rata-rata setiap bulan dalam tiga tahun (tahun 2001-2003) kemudian dibandingkan dengan standar nilai ISPU berdasarkan Keputusan menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP.45/MENLH/10/1997. Kualitas udara juga dapat dilihat dari jumlah hot spot setiap kabupaten (Pekanbaru, Dumai, Pelalawan, Siak, Bengkalis, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Kampar, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, dan Kuantan Sengingi) tahun 2001-2003. Kemudian, nilai ISPU dan jumlah hot spot akan dilihat korelasinya, apakah jumlah hot spot mempengaruhi nilai ISPU dilihat dari parameter dominan/kritis, yaitu PM10. Semakin banyak titik api akan mempengaruhi ketebalan asap sehingga berpengaruh terhadap kualitas udara di daerah tersebut. Kualitas udara di Pekanbaru, Riau memburuk pada tahun 2002 yang dapat dilihat dari banyak jumlah hot spot dan tingginya nilai ISPU. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanggulangan dan pencegahan sejak dini, dimana ada 4 (empat) tahap utama pencegahan dan penanggulangan yang saling terkait dan terintegrasi. |