Six Sigma pertama kali diperkenalkan oleh Motorola di akhir tahun 80-an. Six Sigma adalah suatu strategi peningkatan kualitas yang berbeda dengan program peningkatan kualitas lain, karena Six Sigma memiliki metode DMAIC (Define-Measure-Analyze-Improve-Control), Six Sigma selalu fokus pada pelanggan dan proses, serta yang lebih penting lagi Six Sigma mampu menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.Pada penelitian ini, Six Sigma diterapkan pada salah satu produk yang dihasilkan oleh PT X, yaitu tangki frame forklift AXPn yang akan diekspor ke Jepang. Produk ini merupakan produk yang memiliki tingkat keluhan dan claim tertinggi diantara seluruh produk OEM yang dihasilkan. Tujuan diterapkannya Six Sigma adalah untuk mengurangi jumlah cacat (defect) appearance yang terdapat pada produk, sehingga kualitas produk tersebut dapat meningkat. Pengolahan data kuantitatif dan kualitatif dilakukan dengan menggunakan tools Six Sigma yang terorganisir secara sistematis, sesuai dengan tujuan masing-masing tahap DMAIC, diantaranya yaitu Project Charter, perhitungan sigma, dan Failure Modes and Effect Analysis (FMEA). Untuk mengetahui performa produk saat ini, maka perhitungan nilai sigma dilakukan pada proses internal yang meliputi proses cutting, bending dan welding. Nilai metrik yang diperoleh untuk proses cutting = 2,00s, Yield = 21,4%, bending = 1,65s, Yield = 10,9%, welding = 1,71s, Yield = 12,4%. Nilai sigma dan yield yang dihasilkan sangat rendah, yang menandakan bahwa tingkat cacat atau variasi yang terjadi pada produk cukup tinggi. Pada kondisi saat ini, biaya yang harus dikeluarkan akibat kualitas appearance yang rendah yaitu mencapai JPY 108.376 atau sekitar Rp 8.670.080,00 ( 1 JPY = Rp 80,00).Dengan analisa Six Sigma, diketahui adanya dua kemungkinan penyebab utama terjadinya cacat, pertama karena kondisi raw material yang sejak awal sudah tidak baik (faktor eksternal), kedua karena proses yang dilalui untuk memproduksi produk tersebut (faktor internal). Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu dilakukan pengujian raw material oleh pihak ketiga dengan menggunakan mesin/alat yang lebih komprehensif dan juga perlu melakukan perbaikan pada proses internal yang ada, diantaranya memperbaiki alat lifting magnet, memodifikasi dies, dan juga memperbaiki sistem clamping pada jig mesin las. Six sigma was first introduced by Motorola in the late 80's. Six Sigma differs significantly from other existing quality improvement programs as it has the Define-Measure-Analyse-Improve-Control (DMAIC) methodology, it is constantly focused on two essential factors-customer and process, and the most important that it can be raise profits for the company.In this research, Six Sigma was applied to Frame Forklift AXPn tank, one of PT X's OEM products exported to Japan, owing mainly to the fact that this particular product held the highest number of complaints and claims compared to the other products. The implementation of Six Sigma was aimed at reducing the number of appearance defects of the product so as to enhance its quality. Both quantitative and qualitative data were processed by means of qualify improvement tools systematically organized according to the goals to be achieved in each step of DMAIC methodology that, among others, included Project Charter, Sigma value calculation, and Failure Modes and Effect Analysis (FMEA). The product's Sigma value calculation was carried out for internal processes comprising culling. bending and welding Metric values acquired for cu1ting process= 2δ with yield of 21, 4%; bending process =1,65 δ with yield of 10,95; welding= 1,7 δ with yield of 12,4%. The relatively low metric values gave lucid indications that the product's deject rate and variations were high. On the as-is basis , the amount of money wasted attributable to low product appearance quality reached approximately JPY 108,376 or equal to IDR 8.670.080,00 (JPY1 = IDR 80,00).Using Six Sigma analysis, there were two things identified as major possible causes inducing the unexpected defects. The first one was the poor condition of raw material (external factor) while the other one is the erroe taking place during the manufacturing process (internal factor). Additionally, defect perception (i.e. the way one decides whether a product contains a defect), both on quality and quantity, between customers and PT X were not well aigned. Therefore, a raw material comprehensive testing conducted by an independent third party using more reliable testing instruments and improvement efforts on magnet lifting equipments frequently used in manufacturing process, dies modification, could make a good solution to handle that defect problem. |