ABSTRAK Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun1951, maka timbul anggapan seolah-olah hukum adat< idelik tidakmempunyai tempat lagi dalam dinamika hukum pidana positifdi Indonesia. Namun kalau diteliti pasal 5 ayat (b)UU tersebut, maka sebenarnya hanya dihapus hukum formil(beracara) adat. Dalam arti hukum adat delik materiil masihtetap berlaku.Asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana positifdi Indonesia, secara serta merta menumbuhkan sikapapriori para penegak hukum, bahwa dengan demikian hukumdelik adat tidak diterapkan lagi. Tentunya hal ini bertentangandengan dinamika beberapa peraturan perundang-undangan yang menunjukkan esensi dan eksistensi hukum delik adatdi Indonesia.Esensi dan eksistensi hukum delik adat di Indonesia,paling tidak mematahkan kekakuan dinamika hukum pidana positifyang menganut asas legalitas. Walaupun dalam imple -mentasinya, hukum pidana positif di Indonesia masih menampakkankekakuannya.Menggembirakan bahwa dalam kandungan konsep Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional 1982/1983 tetap memberikanpeluang keberadaan hukum delik adat di Indonesia ,seperti dalam pasal 1 ayat (4), pasal 57 ayat (3) butir 5.Dalam menyonsong peluang keberadaan hukum delik adatyang tetap dijamin dalam era implementasi hukum pidana nasionaldi masa mendatang, maka pada tempatnya dikemukakanpertanyaan : apakah setiap reaksi masyarakat terhadap delikadat dapat dijadikan pelengkap dalam penghukuman?Tentunya tidak secara serta-merta setiap reaksi masyarakatterhadap delik adat diterima untuk melengkapisuatupenghukuman. Melainkan harus melalui filter penyaring,yakni Pancasila dan UUD 1945. Selain itu dalam batang tubuhkonsep KUHP nasional masih dapat diangkat Tujuan Pemidanaan(pasal 43) sebagai alat ukur untuk mempertanyakanapakah reaksi masyarakat terhadap delik adat dapatdijadikan pelengkap penghukuman.Dengan demikian tidak semua reaksi adat dapat diterimasebagai pelengkap penghukuman, namun harus dikaji dandisaring terlebih dahulu. Di sini dituntut kepekaan parapenegak hukum dalam menjiwai hukum delik adat suatu masyarakat.oleh karena itu tidak terelakkan tuntutan akansuatu pengetahuan hukum adat yang memadai serta penjiwaanyang mendalam dari para penegak hukum mengenai hukum adat,tidaklah dapat ditawar-tawar di era implementasi KUHP nasionalkelak. Dalam konteks di atas, maka penegak hukum jangan hanyajadi corong atau mulut undang-undang belaka. Sebab kalaupenegak hukum memposisikan diri hanya sebagai trompetdari UU, maka akibat hasil kerjanya tidak luput dari kekecewaanpencari keadilan. Pencari keadilan merasakan bahwakeadilan yang sedang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,tidak mendapatkan sahutan dari para penegak hukumdalam setiap tahapan proses kerjanya.Proses kerja para penegak hukum ini, berangkat darisuatu sistem kerja yang dikenal dengan Sistem PeradilanPidana (SPP); SPP memperkenalkan dua model kerja, yakni'crime control model' dan 1due process model' ( CCM danDPM) .CCM, antara lain menghindari adanya 'second opinion'(pendapat kedua), sehingga penegak hukum yang memposisikandiri sebagai mulut undang-undang belaka, secara apriorimenutup diri terhadap dinamika hukum sosiologis yangtidak atau secara kabur-kabur diatur dalam perundang - undangan.Sedangkan DPM antar lain mengandalkan chek andre-chek, sehingga menjadi suatu keharusan hadirnya 'secondopinion'. Hadirnya second opinion memberikan peluang pemerhatianakan rasa keadilan yang sedang tumbuh dan berkembangdalam nurani masyarakat. Dalam arti peluang hukumdelik adat sebagai hukum tidak tertulis tetap ada dalamproses kerja SPP yang menggunakan model DPM.Dalam konsep KUHP nasional mengenai ‘penghukuman'dikenal'double track system' (sistem dua jalur); yaitu 'straf'(pidana) dan 'maatregel' (tindakan).Benang merah yang membedakan straf dan maatregel, adalah pada orientasi penghukumannya. Straf bermaksud menderitakansetiap pelaku kejahatan karena berangkat dari1backwardlooking', yakni hanya melihat perbuatan pelakuitu saja (berorientasi ke belakang), sehingga pelaku kejahatandihukum setimpal dengan besarnya kesalahan. Sedangkanmaatregel tidak bermaksud menderitakan pelaku melainkanmendidik (edukatif), yakni bertolak dari 'forwardlooking',yang mempertimbangkan manfaat dan kegunaan sanksiitu bagi masa depan setiap pelaku kejahatan.Menjadi pertanyaan sekarang, reaksi adat dimasukkanke dalam straf atau maatregel? Hemat penulis reaksi adatdigolongkan ke dalam maatregel, karena reaksi adat itu sebenarnyatidak bermaksud menderitakan pelaku tetapi merupakansuatu upaya pemulihan kembali hubungan masing - masingpihak, pengharmonisan kembali suasana masyarakat yangtegang (kacau) karena adanya pelanggaran adat.Dengan demikian reaksi masyarakat itu dapat dijadikanpelengkap dalam penghukuman, apabila reaksi masyarakat adat itu bersikap mendidik, bukan menderitakan. Denganperkataan lain reaksi masyarakat adat itu harus merupakankonkritisasi sahutan pl.aham 'utilitarian model',yang menekankan adanya kegunaan yang maksimal dari penghukumanbagi masa depan si pelanggar. Oleh karena itureaksi masyarakat adat yang bermaksud menderitakan, menyalahinorma sosial, bersifat pemborosan, tidak diandalkansebagai suatu bentuk penghukuman.*** |