Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, kedudukan DKI Jakarta secara khusus diatur dalam pasal 227 yang terdiri atas 3 ayat, ayat (1) menyatakan bahwa khusus Untuk provinsi DKI Jakarta karena kedudukannya Sebagai Ibukota Negara RI diatur dengan UU tersendiri.Berkaitan dengan titik berat otonomi pasal (2) menyebut Secara tegas bahwa DKI Jakarta sebagai daerah Otonom, dan dalam wilayah administrasi tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonom, amanat Pasal 227 tersebut di implementasikan dengan di bentuknya UU Nomor 29 Tahun 2007. Dari persfektif yuridis sejak awal kemerdekaan sampai sekarang pengkhususan DKI Jakarta yang dicirikan dengan ditiadakannya wilayah administrasi adalah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara RI. Secara demikian kehendak pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki otonomi sampai pada tingkat Kabupaten/Kota tidak pernah dilaksanakan oleh seluruh UU yang mengatur tentang Pemerintahan DKI Jakarta, tetapi ketiadaan wiiayah administrasi yang bersifat otonom lebih didasarkan pada pertimbangan sosiologis dan politis Sebagai Ibukota Negara peran dan kedudukan Jakarta berbeda dengan Provinsi lain di Indonesia, dimana Jakarta harus dapat mengakomodasi peran lokal, nasional dan Internasional. Diantara sekian banyak perbedaan salah satu diantaranya status otonomi DKI Jakarta berada pada lingkup provinsi sebagaimana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam perkembangannya Jakarta tumbuh menjadi pusat kegiatan yang sering menjadi tolak ukur pembangunan dan stabilitas keamanan nasional atau juga disebut barometer Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris sekaligus. Akan tetapi penelitian akan lebih menitik beratkan pada penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian hukum empiris berfungsi sebagai pendukung. Melihat sempitnya ruang sosial masyarakat Betawi yang mendiami Jakarta dibanding dengan luasnya wilayah Kota Jakarta, maka pemberian status otonomi kepada wilayah-wilayah kota tidak akan menimbulkan terbentuknya suatu identitas sosial karena hampir tidak terdapat sekat-sekat dan budaya diantara penduduk kota Jakarta yang tinggal di wilayah kota yang berbeda. Pembentukan wilayah-wilayah kota menjadi kota Otonom juga tidak secara signifikan mempererat kesatuan antara komunitas di wilayah-wilayah kota Jakarta. In bill 32/2004, the position of Jakarta specifically slated in article 227 with three sub article where sub article (1) said that especially for the Jakarta as a capitol state must be arrange by its own bill. Relevantly with the autonomy as a heavy issue, sub article (2) explicitly stated that Jakarta also as a autonomous region, that is why to implementing the article 227 bill 29/2007 is created. From the legal perspective since the independence until recent era the exclusivity of Jakarta has own characteristic. Jakarta does not have the administrative region because its status as capitol state of Indonesia. Therefore as implied at article 18 of UUD 1945 that the autonomy status has to implement until the city/county has never been applied to all the bills concerning about Jakarta governance, though the absence of autonomous administrative region purely based on sociology and political aspects. As a capitol state of Indonesia the position and role of Jakarta different with other province in Indonesia, where Jakarta must accommodate many aspect, such as local, national, and also international aspect. Among many differences, Jakarta as an autonomic region, also framing in province characteristic as stated in many statute. In recent growth, Jakarta has grown into center of activities which often becoming as a parameter o f development and national security in Indonesia. This research used the normative legal method and also empirical legal method. Nevertheless this research heavily going to the aspect of normative legal research, while the empirical research mainly functions only as a back up opinion. Talking about the special status of Jakarta if we related to the Betawi people as indigenous people who lived in Jakarta compare with the widespread of Jakarta region, the given o f autonomous status to the area in the city doesn’t creatc a social identity because there are no fragmentation in cultural aspcct among the Jakarta’s people which live in different region of Jakarta. At last, the shaping of Jakarta as an autonomous region does not significantly binding the community between the regions of Jakarta. |