:: UI - Disertasi Open :: Kembali

UI - Disertasi Open :: Kembali

Reproduksi stereotipe dan resistensi orang Katobengke dalam struktur Masyarakat Buton

Tasrifin Tahara; Robert Markus Zaka Lawang, promotor; Iwan Tjitradjaja, co-promotor; Sulistyowati Irianto, examiner; Tony Rudyansjah, examiner; Muhammad Mustofa, examiner; Achmad Fedyani Saifuddin, examiner ([Publisher not identified] , 2010)

 Abstrak

ABSTRAK
Disertasi ini mengkaji bagaimana stereotipe direproduksi oleh kelompok kaomuwalaka terhadap orang Katobengke sebagai kelompok papara dalam berbagai kesempatan. Pada masa Kesultanan Wolio, kelompok kaomu dan walaka sebagai kelas dominan melakukan distinction terhadap orang Katobengke sebagai kelompok lapis bawah atau didominasi. Distinction ini mengacu pada ciri-ciri yang membedakan kelompok kaomu-walaka dengan orang Katobengke sebagai proses produksi stereotipe sebagai strategi kekuasaan. Sebagai kelompok yang pernah berkuasa pada masa Kesultanan Wolio (eksekutif dan legislatif), ingin mempertahankan kekuasaan, privilese dan prestise dengan stereotipe orang Katobengke kotor dan bau, bodoh, kuat makan, lebar kaki, dan budak (batua) sebagai stereotipe yang bersifat internal. Bahkan pada saat ini, kelompok kaomuwalaka menguasai berusaha kedudukan penting dalam sistem pemerintah (walikota, camat, dan legislatif) serta pranata agama (sara kidina) Mesjid Agung Keraton yang pengangkatan pejabatnya tetap mengacu garis keturunan (kamia). Sebagai kelompok yang didominasi atau disematkan stereotipe, orang Katobengke berusaha melawan definisi yang diberikan kelompok kaomu-walaka. Bentukbentuk perlawanan terhadap kelompok kaomu-walaka berupa perlawanan terhadap sistem pengetahuan orang Wolio, resistensi lewat jalur pendidikan, resistensi dengan menggunakan simbol negara/militer, dan resistensi lewat jalur politik sebagai ruang negosiasi status orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. Penelitian yang dilakukan sejak Maret 2008 hingga Oktober 2009 ini merupakan penelitian etnografi yang menekankan kasus-kasus keseharian orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. Penelitian ini melingkupi penelitian arsip/pustaka dan penelitian lapangan. Metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pengamatan terlibat, dan analisis dokumen.
Penelitian dilakukan di Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara dan meluas ke beberapa wilayah seperti Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kota Kendari, Kota Makassar, Kota Bogor, dan Jakarta. Para informan adalah tokoh adat dan tokoh agama masyarakat Buton dan Katobengke dan orang-orang yang memiliki pengalaman memberikan stereotipe bagi orang Katobengke dan orang Katobengke baik pemuda dan beberapa orang perempuan yang berhasil secara ekonomi.
Temuan yang diperoleh adalah bahwa, 1) stratifikasi sosial masyarakat Buton masa kesultanan adalah sistem rank yang mengacu pada peluang untuk memperoleh kekuasaan, privilese, dan prestise sehingga menyebabkan perbedaan antar lapis sosial (kaomu, walaka, papara atau orang Katobengke) Stereotipe direproduksi dalam berbagai kesempatan sebagai strategi mempertahankan posisinya sebagai kelompok sosial lapis atas; 2) Orang Katobengke sebagai kelompok lapis bawah berusaha melawan definisi kelompok kaomu-walaka terhadap meereka sebagai upaya mobilitas status; dan 3) Secara umum, saat ini perubahan struktur sosial masyarakat Buton masih mencari pola baru; kelompok kaomu-walaka berusaha mempertahankan kekuasaan, privilese, dan prestise dengan memahami dunia sosial dengan status tradisional (kamia) masa kesultanan, sedangkan orang Katobengke memahami dunia sosial dengan status baru berdasarkan pendidikan, agama, dan politik.

ABSTRACT
This dissertation studies how the stereotypes which were reproduced by the kaomu-walaka group foward the Katobengke people as the papara group in different opportunities. In the age of Wolio Sultanate, the groups of kaomu and walaka as the dominant classes made distinction to regard the Katobengke as the low social stratification or the dominated group. This distinction refered to the characteristics which differentiated the kaomu-walaka group from the Katobengke group as stereotyped production process used as the strategic power. As a group which had ever governed in the era of Wolio Sultanate (executive and legislative), would like to defend their power, their priviledge, and their prestige against, the stereotyped Katobengke people whose characteristics internally such as: dirty, smell, eating much, wide feet, and slaves (batua). Even, today the kaomu-walaka group still occeupy the important positions in the governmental system (mayor, camat or head of sub regency administration, and legislative members), and religious institution (sara kidina) of the palace graund mosque (Mesjid Agung Keraton) whose functionaries appointed based on the hereditary position (kamia). As the dominated group or called stereotyped people, the Katobengke try to fight against the definition whic has been given by the kaomu-walaka group. The forms of resistence against the kaomu-walaka group have been done by the Katobengke people such as: resistence against the knowledge system of Wolio people, resistence against the field of education, resistence by using the state/military simbols, resistence through political field as the place of negotiation concerning the statuses/positions of Katobengke people in the Buton social structure. The research was implemented from march 2008 until october 2009. It was the ethnographical investigation emphasizing the daily cases of Katobengke people in the Buton social structure. This research covered the library and archieves studies and field work. The methods were used in data collecting, namely, interview, participant observation, and document analysis.
The places of research were in South East Sulawesi Province, such as Bau-Bau city, Buton regency, North Buton regency, Kendari city, and other cities for example, Makassar, Bogor and Jakarta. The informants interviewed were the adat figures, the religions figures in both Buton and Katobengke society who could give information about the stereotypes of Katobengke people. Besides, the youth, the successful businesmen and women of the Katobengke also were interviewed to gain the information needed in the research.
The data which have been obtained are as follows: 1) the social statification in the age of Buton sultanate was the rank system whis was refered to the possibility to get the power, the priviledge, and prestige, which could result in the different social stratification (kaomu, walaka, and papara or Katobengke). The stereotypes of Katobengke were reproduced in different oppotunities as the strategy to defend the position of high social strata group; 2) the Katobengke group as the low social stratification tries to resist the definition made by the kaomu-walaka group as an effort for the mobilty of status; and 3) Generally speaking, nowadays the change of social structure in Buton society is still looking for a new pattern (model), the kaomu-walaka group has tried to defend its own power, its own priviledge, and its own prestige by rethinking its social world with its traditional status (kamia) in the former sultanate period, while the Katobengke group understands its social world with a new status based on an achiaved status through an element of competition in education, religion, and politics, to occupy a given position in Buton society.

 File Digital: 1

 Metadata

No. Panggil : D1194
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Depok: [Publisher not identified], 2010
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik : xxvii, 323 pages : illustration ; 29 cm
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D1194 07-17-047615620 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20270402