Dalam perkembangan ekonomi global dan transaksi bisnis internasional isu kepailitan lintas batas sering kali ditemukan dan menjadi masalah global. Berlakunya prinsip teritorialitas dan prinsip kedaulatan negara pada sebagian besar negara civil law maupun common law menyebabkan tidak dapatnya suatu putusan pailit diakui dan dieksekusi di negara lain sehingga aset debitor pailit yang terdapat di luar wilayah tempat putusan pailit ditetapkan tidak tercakup kedalam boedel pailit. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya jumlah harta pailit yang akan dipergunakan untuk membayar sejumlah utang kepada para kreditor, sehingga tidak terpenuhinya hak pembayaran kreditor. Begitu juga di Indonesia, berdasarkan Pasal 436 Rv suatu putusan asing tidak dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah Indonesia sehingga berlaku prinsip teritorialitas terhadap putusan pengadilan asing. Hal tersebut menyebabkan tidak dapat diakuinya putusan pailit asing di Indonesia dan juga sebaliknya terhadap putusan pailit Indonesia di negara asing. Terjadinya krisis ekonomi global di Asia pada 1997, telah memacu berbagai negara di Asia untuk melakukan reformasi hukum kepailitannya terutama dalam kepailitan lintas batas. Dalam menghadapi isu kepailitan lintas batas tersebut, Singapura dan Malaysia mengadakan insolvency agreement secara resiprositas sedangkan Korea Selatan, Jepang, dan Thailand berupaya dengan memperbaiki instrumen hukum kepailitan negaranya dengan mengacu pada UNCITRAL Model Law On Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment yang dikeluarkan oleh United Nations. Maka dari itu penting juga bagi Indonesia untuk turut melakukan reformasi terhadap instrumen hukumnya dalam mengatasi masalah kepailitan lintas batas tersebut baik dengan mengadakan dan meratifikasi perjanjian internasional maupun memperbaiki insturmen hukum nasionalnya dengan mengacu pada Model Law, mengingat belum adanya pengaturan khusus mengenai kepailitan lintas batas di Indonesia baik dalam instrumen hukum nasional maupun internasional. In the development of global economy and international business transactions, cross-border insolvency issues are often found and become a global problem. Applicability of the territoriality principle and the state sovereignty principle in most civil law and common law countries causes a bankruptcy judicial decision unable to be recognized and executed in another country, so that the assets of debtors located outside the region cannot be included into the set of the bankrupt's property. It'll cause reduction sum of the bankruptcy's property which will be used to pay a sum of debt to the creditors, so that, fulfillment of the rights of creditors payments won't be accomplished. Similarly in Indonesia, based on Article 436 Rv, a foreign judicial decision cannot be recognized and executed in Indonesia appropriate with territoriality principle. It'll cause a foreign bankruptcy judicial decision cannot be recognized in Indonesia and so does with Indonesia bankruptcy judicial decision in a foreign country. The Asia global economic crisis in 1997 has spurred many countries in Asia to make bankruptcy law reform, especially in cross-border insolvency regulation. In order to face the cross-border insolvency issues, Singapore and Malaysia arranged a reciprocal insolvency agreement, while South Korea, Japan, and Thailand tried to fix the local bankruptcy law refer to the UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment issued by the United Nations. Knowing that there aren't any local or international regulation about cross-border insolvency in Indonesia yet, it's also important for Indonesia to take part in reforming the legal instruments to deal with cross-border insolvency problems by conduct and ratify international treaties or arrange It's local bankruptcy law refers to the Model Law. |