Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang relatif barudi Indonesia. Lembaga yang bersifat independen ini didirikan khusus untukmenangani tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan, KPK oleh Undang-Undang diberikan kewenangan untukmelakukan intersepsi atau penyadapan dan merekam pembicaraan. Kewenangan KPKmelakukan penyadapan ini bersinggungan dengan butir-butir hak asasi manusia,khususnya hak privasi yang terkait dengan kebebasan berkomunikasi. Yang menjadipermasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tindakan penyadapan olehKPK ini dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia serta bagaimana regulasi terkaitdengan lawful interception di Indonesia. Penulisan tesis ini menggunakan metodepenelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Data sekunderini terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan danputusan pengadilan; bahan hukum sekunder berupa buku, majalah ilmiah, artikelsurat kabar, karya tulis ilmiah maupun sumber dari internet; dan juga bahan hukumtersier berupa kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum. Hasil yangdiharapkan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran secara jelas mengenaikedudukan hak asasi manusia dalam tindakan penyadapan dalam penanganan tindakpidana korupsi serta bisa menjadi masukan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang terkait tata cara intersepsi dalam rangka penegakan hukum. Sebagai hasilpenelitian dapat disimpulkan bahwa penyadapan merupakan tindakan yangmelanggar hak asasi manusia. Penyadapan terhadap seseorang, baik menggunakanalat sadap maupun penyadapan terhadap alat komunikasinya merupakan tindakanyang telah melanggar hak privasi terkait dengan kebebasan berkomunikasi. Namunhak ini dapat disimpangi oleh negara berdasarkan Undang-Undang karena hakberkomunikasi ini termasuk ke dalam kategori derogable rights. Sebagai bagian darihak asasi manusia, hak berkomunikasi ini juga diatur dalam instrumen hukuminternasional, antara lain dalam International Covenant on Civil and PoliticalRights(ICCPR). Sebagian negara di dunia telah memiliki Undang-Undang yangsecara khusus mengatur penyadapan, sementara hingga saat ini Indonesia belummemilki Undang-Undang sama. Saat ini teknis penyadapan yang dilakukan oleh KPKhanya didasarkan pada peraturan setingkat menteri yaitu Peraturan MenteriKomunikasi dan Informatika Nomor 11/Per/M.Kominfo/02/2006 tentang TeknisPenyadapan Terhadap Informasi. Untuk operasionalnya, KPK mempunyai SOPpenyadapan yang mana setiap penyadapan yang dilakukan harus berdasarkan SOPini. Untuk menyempurnakan peraturan terkait lawful interception, pemerintahberencana membuatnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimanadiamanatkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 31 ayat (4), namun ditentang oleh banyak pihak. Mahkamah Konstitusi kemudianmemutus perkara uji materil terhadap pasal terkait dan menyatakan bahwa pasaltersebut bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Olehkarena itu, aturan tata cara lawful interception ini hendaknya dibuat dalam bentukUndang-Undang bukan Peraturan Pemerintah. Abstract Indonesia. This independent institution is specially established to handle corruptioncrime. In implementing its investigation and prosecution, the KPK is authorized bylaw to use interception and/or wiretapping. The authority of KPK to conduct thisinterception is contradict to the elements of human rights especially privacy rightwhich related to freedom of communication. A subject of discussion in this researchis how interception conducted by KPK viewed from human rights perspective andhow the related regulation with interception in Indonesia. This thesis writing usinglibrarian research method with secondary data as the resource. This secondary dataconsist of primary law material consist of regulations and court verdict; secondarylaw material consist of books, scientific magazine, news paper article, scientific paperand internet resources as well; also tertiary law material consist of grand dictionary ofBahasa Indonesia and legal dictionary. The expected result of this research is toobtain a clear position about human rights perspective in the implementation ofinterception in handling corruption crime and to provide suggestion in the drafting oflaw related to interception method as well in the frame of legal enforcement. In short,the research can be concluded that principally an interception is contradict withhuman rights. An interception to a person whether using interception device orinterception toward his communication device is contradict to the privacy rightswhich related to freedom of communication. However, this privacy right may beoverrided by state based on the law because the right of communication in consideredas derogable rights. As a part of human rights, the freedom of communication is alsogoverned by international law instrument among others International Covenant onCivil and Political Rights. Some of the states in the world has owned the laws whichgovern specifically about interception, while Indonesia, has not yet govern thespecific law on interception. At this moment, the technical method of interceptionconducted by KPK is only based on the regulation in the ministerial level namelyMinistry of Communication and Information Decree Number11/Per/M.Kominfo/02/2006 concerning Technical Interception Toward Information.For the operational purpose, KPK has their own standard operational procedure(SOP) where all interception should be conducted based on this SOP. To theperfection of regulation related to lawful interception, the government has planned toenact a government regulation as mandated by law on Information and ElectronicTransaction Article 31 paragraph (4), but this plan has been argued by many parties.The Constitution Court has decided the judicial review on the related article andstated that the said Article is contradict to the UUD and has no legal force. Therefore, the provision on the lawful interception is suggested to be made in the form of law(undang-undang) not in the form of government regulation. |