ABSTRAK Kebahagiaan adalah sesuatu yang didambakan manusia sejak zamandahulu kala. Banyak cabang ilmu yang mempelajari kebahagiaan, salah satunyaadalah psikologi. Para ahli psikologi lalu menggunakan konstruk kesejahteraansubyektif (subjective well-being), karena istilah kebahagiaan memiliki maknayang rancu.Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, diketahui bahwa terdapathubungan yang bermakna antara perilaku asertif, pengaruh perbedaan budaya,penghasilan, dukungan sosial, tujuan pribadi, aktivitas, kepribadian, kognisi, dankejadian-kejadian yang dialami seorang dalam hidup dengan kesejahteraansubyektif (Diener, 1996; Alberti & Emmons, 1995; Zika & Chamberlain, 1987).Pengaruh perbedaan budaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalahidiosentrisme, karena obyek penelitian ini adalah individu. Perilaku asertifmembuat seseorang mampu mengekspresikan diri sekaligus menghormati hak-hakorang lain. Hal ini meningkatkan kualitas hubungan dengan orang lain,meningkatkan self-esteem, mengurangi kecemasan dan mengurangi tingkatdepresi. Idiosentrisme berhubungan dengan kesejahteraan subyektif karena orangyang idiosentris punya kebebasan untuk menetapkan tujuan dan tingkah lakunyasendiri. Idiosentrisme juga berhubungan dengan self-esteem yang berkaitan eratdengan kesejahteraan subyektif.Penelitian-penelitian mengenai hubungan antara perilaku asertif dankesejahteraan subyektif masih sangat jarang dilakukan, demikian pula denganidiosentrisme. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antaraperilaku asertif dan idiosentrisme dengan kesejahteraan subyektif. Apalagipenelitian-penelitian yang selama ini dilakukan lebih banyak dilakukan dalambudaya yang individualis, masih sangat jarang dilakukan di Indonesia yangmemiliki budaya yang kolektif dan kekhasan tersendiri.Budaya Indonesia terlalu luas untuk dibicarakan, maka peneliti memilihbudaya Jawa dan budaya Batak sebagai kelompok budaya yang menjadi obyekpenelitian ini. Kedua kelompok budaya ini djpilih karena hasil penelitian Najelaa(1996) menunjukkan budaya Batak dipersepsikan sebagai budaya yang palingasertif sedangkan budaya Jawa sebagai budaya yang paling tidak asertif.
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antaraperilaku asertif dan idiosentrisme dengan kesejahteraan subyektif pada orangJawa dan orang Batak. Penelitian ini bertujuan pula untuk melihat sumbanganperilaku asertif dan idiosentrisme terhadap kesejahteraan subyektif orang Jawadan orang Barak.Berkaitan denga tujuan di atas, maka penelitian ini melibatkan 277mahasiswa dari perguruan tinggi dan swasta yang ada di Jabotabek. Kepadamereka diberikan beberapa alat ukur, yang masing-masing mengukur : kepuasanhidup, afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan, perilaku asertif danidiosentrisme. Hubungan antara perilaku asertif dan idiosentrisme secarabersama-sama terhadap kesejahteraan subyektif orang Jawa dan orang Batakdiukur dengan mengontrol variabel-variabel yang mungkin berpengaruh dengankontrol statistik. Sumbangan masing-masing faktor tersebut terhadapkesejahteraan subyektif diperoleh dengan menggunakan analisis regresi majemuk.Penelitian ini membuktikan adanya hubungan antara perilaku asertif danidiosentrisme secara bersama-sama terhadap kesejahteraan subyektif baik padaorang Jawa maupun orang Batak. Perilaku asertif memiliki sumbangan positifyang bermakna tarhadap kesejahteraan subyektif baik pada orang Jawa maupunorang Batak. Variabel idiosentrisme memiliki sumbangan negatif yang bermaknaterhadap kesejahteraan subyektif orang Batak, sedangkan pada orang Jawa,sumbangan variabel ini tidak bermakna. Variabel pengeluaran setiap bulanmemberikan sumbangan positif yang bermakna terhadap kesejahteraan subyektiforang Batak. Temuan ini sejalan dengan sumbangan negatif yang bermakna darivariabel jumlah saudara terhadap kesejahteraan subyektif orang Batak.Hasil tambahan dari penelitian ini menunjukkan bahwa orang Batak lebihasertif dibandingkan orang Jawa. Hasil lain adalah budaya Jawa lebih cenderungmengarah ke arah kolektivisme vertikal dibanding budaya Batak. Didapati pulahasil yang menunjukkan bahwa perilaku asertif dihambat oleh budaya yangmengarah pada kolektivisme vertikal dan cenderung muncul dalam budaya yangindividualisme horizontal.Penelitian Ianjutan kiranya dapat dilakukan dengan menggunakan alatukur yang lebih baik untuk masing-masing variabel penelitian ini. Topiknya dapatdiperluas dengan hal-hal Iain seperti dukungan sosial dan self-esteem, yangdiharapkan dapat lebih menjelaskan perbedaan budaya individualis dan budayakolektif. Sampelnya pun dapat diperluas, bukan hanya usia dewasa muda danbukan hanya mahasiswa yang tinggal di Jakarta. Dengan demikian dapatdiperoleh masukan yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan subyektifmasyarakat Indonesia. |