Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi penyebab kematian utama di negara-negara industri modern (Sarafino, 1990; Taylor, 1995). Khususnya di Indonesia, selain menduduki peringkat pertama sebagai penyebab kematian (Survey Rumah Tangga Departemen Kesehatan, 1992), PJK juga menyebabkan penurunan kualitas hidup bagi individu yang menderita PJK (Jatiputra, 1993). Manifesfasi klinis dari PJK yang paling ditakuti adalah Infark Miokard Akut (IMA), karena serangan jantung yang terjadi mengakibatkan kematian pada otot-otot jantung (Hurst, 1990; Sarafino, 1990; Taylor, 1995). Individu yang dapat hidup setelah mengalami serangan jantung, disebut sebagai penderita pasca-IMA. Bagi penderita pasca-IMA, serangan jantung yang dialaminya akan menimbulkan berbagai masalah, meliputi masalah fisik, psikologis, dan sosial (Jatiputra, 1993). Masalah-masalah yang ada seringkali dirasakan mengganggu kehidupan penderita (Jatiputra, 1993) dan merupakan sumber stres baginya (Holahan & Moos, 1997). Dengan kata lain, penderita pasca-IMA mengalami stres. Para ahli menemukan bahwa stres merupakan salah satu faktor risiko yang dapat memicu terjadinya serangan jantung (Perhimpunan Kardiologi Indonesia 1988; Taylor, 1995). Oleh karena itu, penting bagi penderita pasca-IMA untuk mengatasi stres agar tidak terkena serangan jantung kembali (Sarafino, 1990; Jatiptra, 1993; Taylor, 1995). Usaha mengatasi stres dikenal dengan istilah coping. Dalam melakukan usaha. coping, penderita pasca-IMA dapat memecahkan masalah secara aktif (coping terpusat masalah) dan/atau dengan mengatur perasaannya (coping terpusat emosi). Akan tetapi, penderita pasca-IMA mungkin saja melakukan coping secara tidak efektif karena kekuatan fisik dan mentalnya terbatas. Dengan demikian, penderita pasca-IMA membutuhkan faktor dari luar dilinya yang dapat membzmtunya untuk mengatasi masalah-masalahnya, yaitu dukungan sosial. Dukungan sosial dapat memberikan efek positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu, serta membantu individu coping terhadap masalah-masalahnya (Heller, dkk, 1986; Thoits, 1986; Sarafino, 1990; Pierce, Sarason, & Sarason, 1992; Taylor, 1995). Dukungan sosial disini Iebih berarti sebagai dukungan sosial yang dipersepsikan, bukan dukungan sosial yang dirasakan secara obyektif. Dukungan sosial yang dipersepsikan ini meliputi persepsi individu mengenai jumlah sumber dukungan yang tersedia dan tingkat kepuasan terhadap dukungan yang ada (Samson, dkk, 1983). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat beberapa jauh hubungan antara dukungan sosial yang dipersepsikan dengan coping yang dilakukan oleh penderita pasca-IMA, khususnya hubungan antara jumlah sumber dukungan soaial maupun tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dengan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi. Subyek penelitian ini adalah 30 orang penderita pasca-IMA dari Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta., yang diambil dengan menggunakan tehnik non probability sampling tipe incidental. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner Social Support Questionnaire (SSQ) dari Sarason, dkk (1983) yang mengukur jumlah number dukungan sosial yang dipersepsikan maupun tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dan Ways of Coping Questionnaire (WCQ) dari Folkman., dkk (1984) yang mengukur coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi. Pengolahan data dilakukan dengan analisa deskriptif dan korelasi. Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SPSS. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian ini, diperoleh hasil bahwa penderita pasca-IMA menggunakan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi sama seringnya dalam mengatasi masalah-masalahnya. Selain mempersepsikan banyak sumber dukungan sosial, penderita pasca-IMA juga merasa puas terhadap dukungan sosial yang diterimanya. Dengan sendirinya, tidak ada hubungan yang bermakna antara banyaknya jumlah sumber dukungan sosial maupun besarnya tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dengan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi yang dilakukan oleh penderita pasca-WIA. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang berharga kepada pihak rumah sakit, penderita penyakit jantung dan keluarganya, mengenai pentingnya dukungan sosial bagi penderita jantung, khususnya penderita pasca- IMA. Selain itu, berdasarkan banyaknya jumlah sumber dukungan, dapat pula diketahui lingkungan sosial disekitar penderita pasca-IMA, baik yang berasal dari dalam maupun luar keluarga yang dipersepsikan sebagai sumber dukungan untuk membantunya dalam mengatasi masalah-masalahnya. Saran untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya digunakan metode wawancara yang lebih mendalam sehlngga dapat diketahui kepuasan terhadap dukungan sosial secara subyektif dan dianjurkan untuk mengikutsertakan variabel kepribadian yang juga berpengaruh pada coping yang dilakukan oleh penderita pasca-IMA. |