ABSTRAK Kehidupan manusia tidak terlepas dari emosi. Apapun jenisnya, emosi menyebabkanbergesernya sistem fisiologis, kognitif dan sosial individu dari keadaan homeostatis menjadi nonhomeostatis. Pergeseran ini mengganggu fungsi individu. Oleh karena itu, ketiga sistem tersebutharus dikembalikan ke dalam keadaan homeostatis. Caranya adalah dengan menyalurkan(?channeling") emosi baik melalui perilaku verbal maupun non verbal. Salah satu perilakuverbal adalah perilaku menceritakan emosi kepada orang lain. Perilaku bercerita pengalamanemosi adalah perilaku mendiskusikan pengalaman emosi dengan orang lain (Rime et.al, 1991).Idealnya, semua orang dapat menceritakan pengalaman emosinya dengan leluasa. Namunkenyataannya, pria cenderung memilih untuk tidak menceritakan pengalaman emosinya kepadaorang lain (Caldwell & Peplau, 1982 dalam Lips, 1988). Mengapa pria tidak menceritakanpengalaman emosinya kepada orang lain? Hal ini disebabkan karena adanya "pendidikan" yangdiberikan bagi pria. Pria dididik untuk bersikap sebagai individu yang kuat, obyektif mampubertahan, tidak sentimentil, dan tidak ekspresif secara emosional (Jourad, 1971 dalam Dindia &Allen, 1992). Pendidikan ini muncul karena adanya standar yang disebut sebagai normamaskulinitas (Pleck, 1981 dalam Levant & Pollack, 1995). Dari uraian teoritis di atas, didugaada hubungan yang negatif antara keterikatan terhadap norma maskulinitas dengan kesediaanpria untuk menceritakan pengalaman emosinya. Dalam penelitian ini, kesediaan berceritapengalaman emosi dioperasionalisasikan menjadi tiga aspek yaitu (1) muncul tidaknya perilakubercerita pengalaman emosi; (2) kedalaman cerita pengalaman emosi; dan (3) kesediaan untukmenceritakan pengalaman emosi untuk peristiwa yang belum terjadi. Penelitian ini akan melihatlima jenis emosi yaitu sedih, marah, takut, malu dan bersalah. Emosi sedih dan takut digolongkan sebagai emosi yang tidak boleh diekspresikan pria [Levant et al., 1996). Emosimalu dan bersalah digolongkan oleh peneliti sebagai emosi yang tidak boleh diekspresikan priakarena menggambarkan kelemahan. Pria juga dilarang untuk mengeskpresikan emosi yangmenggambarkan kelemahan. Sedangkan marah merupakan emosi yang boleh diekspresikan pria.Pembagian emosi menjadi dua jenis ini menyebabkan munculnya dugaan lain mengenai hubunganantara keterikatan terhadap norma maskulinitas dengan kesediaan bercerita pengalaman emosipada pria. Diduga, pria yang terikat pada norma maskulinitas tidak bersedia untuk menceritakanpengalaman emosi sedih, takut, malu dan bersalah kepada orang lain. Sebaliknya, untuk emosimarah, justru diduga bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitas bersedian untukmenceritakan pengalaman emosi marahnya kepada orang lain.Penelitian ini melibatkan 45 subyek mahasiswa pria. Teknik penarikan sampel yangdigunakan adalah teknik insidental yaitu penarikan sampei yang didasarkan atas kemudahanmancari sampel. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner yang dapat diisisendiri tanpa bantuan wawancara. Data yang diperoleh diolah secara kuantitatif.Secara umum didapat hasil bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitas tidak bersediamenceritakan pengalaman emosinya kepada orang Iain. Hasil ini tercermin melalui tiga aspekkesediaan bercerita pengalaman emosi di atas. Namun, hasil ini hanya berlaku pada emosi sedihdan marah. Pada kedua emosi ini, ketiga aspek kesediaan bercerita pengalaman emosi sedih danmarah menunjukkan hubungan yang negatif dengan keterikatan pria terhadap normamaskulinitas. Sedangkan pada emosi malu dan bersalah, keterikatan pria terhadap normamaskulinitas tidak berhubungan dengan kesediaan bercerita pengalaman emosi malu danbersalah. Keanehan terjadi pada emosi takut. Pada kedua aspek pertama didapatkan hasil bahwaketerikatan pria terhadap norma maskulinitas tidak berhubungan dengan (1) muncul tidaknyaperilaku bercerita pengalaman emosi takut dan (2) kedalaman cerita pengalaman emosi takut.Sedangkan pada aspek ketiga, diperoleh basil bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitastidak bersedia untuk menceritakan pengalaman emosi takutnya untuk peristiwa lain yang belumterjadi. Keanehan ini, mungkin, disebabkan karena alat yang dipakai tidak dapat menangkapkompleksitas pengalaman emosi takut.Untuk penelitian lanjutan, disarankan untuk menambah beberapa pertanyaan yang dapatmenangkap pengalaman emosi secara lengkap. Selain itu, disarankan untuk melakukanwawancara secara mendalam terhadap subyek. |