Dalam semua organisasi, setiap anggotanya akan berinteraksi dan tergantung satu sama lain pada saat melakukan pekerjaan. Saling ketergantungan ini dapat menciptakan suatu kerja sama di antara mereka dan kerja sama itu menjadi merupakan faktor penting yang dapat melandasi koordinasi antar anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Di dalam organisasi, kerja sama tidak selalu tercipta dalam semua situasi kerja, sebaliknya justru konfliklah yang sering mewarnai kehidupan organisasi. lvancevich dan Matteson (1990) menyatakan bahwa situasi saling ketergantungan dapat menyebabkan dua hal yang bertolak belakang yaitu kerja sama atau konflik. Konflik ini dapat terjadi bila sedikitnya terdapat dua partisipan, baik individuai atau kelompok, yang memiliki tujuan atau prioritas yang berbeda. Konflik dapat dialami oleh siapa saja dalam posisi apa saja, namun konfiik akan Iebih sering dihadapi oleh manajer karena posisi manajer di dalam organisasi yang terletak di posisi tengah (middle line) di antara manajer puncak dan karyawan operasional (Robbins,1989). Hal tersebut membuat manajer berinteraksi dengan banyak orang, yaitu dengan atasan, dengan rekan kerja yang setingkat atau dengan bawahannnya. Dalam interaksi tersebut, konflik dapat terjadi. Konflik harus diwaspadai oleh manajer karena kehadirannya dapat berkembang menjadi parah dan sulit terpecahkan karena terdapat kontes "menang-kalah". Akibat yang dihasilkan konflik dapat pula mengganggu kerja sama yang telah ada sebelumnya dan dapat mengakibatkan ketegangan individu. Secara Iebih luas konflik dapat pula menyebabkan motivasi kerja partisipan menurun sehingga dapat menghambat unjuk kerjanya atau kelompok (Wexley & Yuki, 1984). Karena dalam perkembangannya konflik dapat berkembang menjadi merugikan maka gaya penanganan konflik yang tepat mutlak harus ditampilkan manajer. Thomas (dalam Sekaran 1989) menyatakan terdapat lima gaya penanganan konflik yang biasa di tampilkan manajer. Menurut Robbins (1989) tidak ada satu gaya penanganan konflik yang tepat untuk semua situasi. Namun pendapat itu berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Kilmann & Thomas (dalam Robbins & Hunsaker, 1996) yang menyatakan bahwa walaupun variasi gaya penanganan konflik dapat ditampilkan oleh manajer sesuai konflik yang dihadapinya, setiap manajer memiliki kecenderungan untuk manampilkan satu gaya penanganan konflik. Gaya ini merupakan gaya konflik dasar yang ada pada diri manajer dan merupakan gaya penanganan konflik yang sering diandalkan manajer. Dari kelima gaya penanganan konflik yang ada terdapat gaya penanganan konflik secara kolaborasi yang menurut Benfari (1991) merupakan solusi menang-menang, sedangkan menurut Wexley & Thomas (1984) merupakan teknik pemecahan masalah yang integratif. Berdasarkan hal tersebut kolaborasi merupakan gaya penanganan konflik yang paling efektif karena akar masalah atau konflik yang dihadapi dapat diselesaikan dengan cara damai dan dapat memuaskan berbagai pihak. Dalam hal ini peneliti ingin meneliti mengenai sikap manajer terhadap gaya kolaborasi dengan pertimbangan bahwa dengan mengetahui sikap tersebut peneliti dapat mengetahui kecenderungan manajer untuk menampilkan perilaku kolaboratif daiam menghadapi situasi konflik. Untuk mengetahui penyebab internal yang dapat mempengaruhi konflik maka peneiiti mencoba untuk meiihatnya dari sudut pandang teori motivasi, karena motivasi dianggap dapat menjelaskan semua perilaku yang disadari manusia (Newstrom & Davis, 1993). Sedangkan teori motivasi yang akan dilihat hubungannya denga gaya penanganan konflik secara kolaborasi adalah teori motif sosial yang dikemukakan oleh McClelland, yaitu motif berprestasi (achievement motive), motif afiliasi (affiliation motive), dan motif kekuasaan (power motive). Sementara itu Robbins (1989) menyatakan bahwa ketiga motif itu terdapat daiam diri individu dengan derajat yang berbeda-beda. Dengan demikian setiap motif dapat memberikan sumbangan secara berbeda terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin melihat (a) apakah motif berprestasi, motif afiliasi dan motif kekuasaan secara bersama-sama memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi yang dimiliki manajer (b) motif mana sajakah yang memberikan sumbangan yang paiing bemakna terhadap gaya penanganan konfiik secara kolaborasi. Penelitian ini merupakan suatu penelitian korelasional dengan teknik pengambilan data lapangan dan tanpa memberikan manipulasi kepada responden penelitian, yang dilakukan pada 125 kepala bagian di PT. X yang berlokasi di darah Tangerang. Daiam penelitian ini ada dua instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen pertama untuk mengukur motif sosial yang mengukur kedekatan seseorang dengan ciri-ciri orang yang memiliki motif tertentu secara teoritis (skala motif sosial) dan instrumen yang kedua untuk mengukur sikap terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi (skala gaya penanganan konflik secara kolaborasi). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada subjek peneiitian ini, motif berpresfasi, motif afiliasi dan motif kekuasaan secara bersama-sama ternyata tidak memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi karena secara jelas ditunjukkan bahwa hanya motif berprestasi yang memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya kolaborasi. Selain itu jika dilihat hubungan masing-masing motif terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi dengan teknik koreiasi parsial diperoleh hasil bahwa motif berprestasi memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara koiaborasi dan kedua motif yang Iain, motif afiliasi dan motif kekuasaan tidak memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi. Penelitian ini juga mengungkapkan adanya perbedaan yang signifikan antara gaya penanganan konflik secara kolaborasi yang dimiliki responden yang berlatar belakang SMA, Akademi dan perguruan tinggi. Untuk penelitian lebih Ianjut peneliti menyarankan agar pengukuran variabel gaya penanganan konflik juga dilakukan pada gaya kompetisi, kompromi, menghindar dan akomodasi agar dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh gaya penanganan konflik yang ada pada diri manajer. Selain itu untuk mempertajam hasil penelitian, subjek peneiitian juga dapat diambil dari kalangan manajer lini pertama dan manajer puncak sehingga dapat diketahui perbedaan yang ditampilkan ketiga golongan manajer dalam menghadapi konflik Sedangkan untuk alat yang digunakan daiam penelitian ini sebaiknya dilakukan pengukuran construct validity agar lebih yakin bahwa alat ukur tersebut memang mengukur suatu konstruk variabel yang hendak diukur. |