Hurlock (1991) mengemukakan bahwa masa awal remaja merupakan masa yang ditandai dengan ketegangan emosi meninggi sebagai akibat perubahan fisik dan hormonal serta perubahan tuntutan dari lingkungan dalam transisi menuju masa kedewasaan. Remaja yang belum berpengalaman dalam mencari jalan keluar sendiri terhadap masalah-masalah tersebut merasa hal ini sebagai suatu tekanan. Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul, remaja membutuhkan sarana untuk meningkatkan ketrampilan mereka agar mampu memahami perasaan diri sendiri dan orang lain, mengontrol dorongan-dorongan emosi yang muncul, serta membina hubungan dengan orang lain. Kelompok remaja ini dapat mengendalikan emosi mereka, menjaga emosi mereka agar tetap stabil, terlihat matang serta mampu menahan emosinya dan menunggu saat yang lebih tepat untuk mengungkapkannya. Keadaan remaja yang mencapai kematangan emosi merupakan salah satu aspek dari pengelolaan emosi yang dipopulerkan oleh Goleman dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Salah satu cara efektif untuk membantu remaja mengatasi permasalahan dan tantangan dari dalam diri maupun dari lingkungan adalah melalui musik (Thompson, 1991). Dari beraneka ragam jenis musik yang ada, Finnas (1987) menemukan bahwa sebagian besar remaja memilih jenis musik rock yang keras dan memandang rendah mereka yang memilih jenis musik yang kurang populer (musik tradisional). Fenomena seperti ini juga terjadi di Indonesia. Ketertarikan para remaja untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan tentang kesenian tradisional daerah sangat sedikit, khususnya remaja yang tinggal di daerah perkotaan (Kompas, Minggu, 25 Mei 2003). Fenomena ini sangat disayangkan mengingat bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan adat istiadat berbeda, memiliki beraneka ragam kesenian tradisional warisan nenek moyang. Salah satu warisan nenek moyang berupa seperangkat alat musik tradisional kebanggaan bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan adalah musik gamelan. Penelitian mengenai efek dari musik non klasikal di negara lain mulai berkembang dan bertambah banyak. Sebagai contoh sebagian besar masyarakat Jepang telah menaruh perhatian besar terhadap dampak psikologis musik-musik tradisional mereka, seperti juga penggunaan alat musik tabla dari India yang dipadu dengan alat musik barat untuk menghasilkan dampak terapeutik tertentu. Namun, sungguh disayangkan sampai saat ini belum banyak dilakukan penelitian terhadap pengaruh musik tradisional, khususnya gamelan Bali di Indonesia. Seperti halnya musik klasik yang membantu dalam mengungkapkan emosi perasaan anak (Greenberg 1978), pemain gamelan bali harus dapat menyampaikan perasaan-perasaan dari komponis yang dituangkan melalui komposisi lagu kepada penonton. Hal ini menambah kepekaan pemain untuk mengekspresikan isi dari lagu tersebut. Mempelajari musik gamelan Bali dapat menambah kedisiplinan melalui latihan yang teratur, sensitivitas terhadap sesama (empati), kerja sama bagi remaja untuk menghasilkan perpaduan yang harmonis dalam satu ansambel (Michael Tanzer, 1998). Dalam penelitian ini digunakan dua partisipan remaja dengan karakteristik usia 11-14 tahun yang mempelajari gamelan bali selama lebih dari tiga tahun dan berdomisili di Jakarta. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah purposive sampling (Guilford dan Fruchter, 1978) dengan membatasi pemilihan sampel sesuai karakteristik subyek yang telah ditentukan. Hasil menunjukkan adanya perubahan pada kecerdasan emosional remaja setelah bermain gamelan bali. Mereka lebih menyadari emosi yang dirasakan dan mengetahui penyebabnya, tidak mengeluarkan emosi secara langsung, melainkan menyalurkannya kepada hal lain, menjadi lebih optimis dan asertif serta motivasi semakin meningkat, dapat bersikap empati terhadap orang lain dan membina hubungan interpersonal lebih harmonis dibandingkan sebelum mempelajari gamelan bali. |