ABSTRAK Ketika seseorang menginjak usia 18-22 tahun, ia memasuki masa transisidari remaja menuju dewasa muda (Kail & Cavanaugh, 2000; Smolak, 1993). MenurutSmolak (1993), seseorang pada usia ini bukan anak-anak, dan dianggap bukan remajalagi, namun mereka juga belum memiliki kriteria dewasa. Banyak ahli yang meyakinibahwa krisis pembentukan identitas terjadi pada masa remaja, namun studi crosssectional dan longitudinal menunjukkan bahwa krisis identitas terjadi pada masatransisi ini (Smolak, 1993). Kail & Cavanaugh (2000) mengemukakan bahwa transisiitu tergantung pada faktor kebudayaan dan beberapa faktor psikologis. Pada budayatimur, patokan yang dipakai untuk menentukan apakah seseorang menjadi dewasalebih -jelas daripada budaya barat. Pada kebudayaan timur, pernikahan menjadideterminan yang paling penting dalam status kedewasaan (Schlegel & Barry, 1991).Berbicara mengenai menikah dan kemudian memiliki anak akan dikaitkan dengankematangan dan tanggung jawab seseorang. Oleh karena itu untuk memasukipernikahan seseorang akan dipertanyakan apakah ia sudah cukup matang atau apakahia sudah cukup dewasa.Badan Pusat Statistik DKI Jakarta (BPS, 2002) menunjukkan bahwa, kuranglebih 11 % dari penduduk yang berusia 18-22 tahun telah menikah. Data tersebutmenunjukkan bahwa banyak orang yang memutuskan untuk menikah di usia muda.Padahal setelah menikah mereka akan dihadapkan pada masalah baru ketika merekamempunyai anak. Menjadi orang tua juga merupakan krisis dalam hidup, karenamenyebabkan perubahan besar dalam sikap, nilai, dan peran seseorang. Mempunyaianak juga berarti mendapatkan tekanan untuk terikat pada tingkah laku peran jendersebagai ayah dan ibu (Carstensen, dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Oleh karena ituuntuk menjadi orangtua diperlukan persiapan yang matang baik secara finansial,mental, maupun emosional.- Laki-laki yang berperan sebagai ayah dituntut untuk bertanggung jawab yangbesar sebagai pemimpin keluarga serta bertanggung jawab sebagai pencari nafkahutama dalam keluarga sehingga memerlukan perlu persiapan yang matang untukmemasuki jenjang perkawinan.Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana seorang pria yang beradapada usia transisi dewasa muda (18 - 22 tahun) yang telah menikah dan memilikianak menghayati perannya sebagai seorang ayah. Penghayatan yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk alasan seorang pria berusia transisi dewasa muda memutuskanuntuk menikah, pemahaman tentang peran ayah, bagaimana mereka menghayatituntutan perannya sebagai seorang ayah, serta interaksi yang mereka lakukan dalammemenuhi tugasnya sebagai seorang ayah, serta bagaimana penghayatan peransebagai ayah tersebut mempengaruhi perkembangan kepribadian mereka. Teori yangdigunakan dalam penelitian ini adalah teori perkembangan usia transisi dewasa muda,teori peran dikhususkan pada teori peran ayah dalam keluarga.Peneliti mengambil 5 orang sampel dengan kriteria seorang pria, berusia 18 -22 tahun, telah menikah dan memiliki anak, serta pendidikan minimal SMU atausederajat untuk diwawancara secara mendalam. Sampel berasal dari kota Jakarta danCirebon.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sebagian besar subjek, yaitu 4 dari 5orang subjek penelitian ini menikah di usia muda karena terpaksa. Karena melakukanpacarnya terlanjur hamil, maka subjek pun bertanggung jawab untuk menikahipacarnya. Maka menjalani peran sebagai seorang ayah pun tidak dapat dihindari,walaupun mereka mengaku merasa belum siap menjadi seorang ayah. Menjalaniperan sebagai seorang ayah memerlukan tanggung jawab yang besar dan memerlukankesiapan baik secara materi maupun mental. Walaupun subjek merasakan adanyatuntutan peran sebagai ayah dari lingkungan namun yang berperan lebih besar dalamtingkah laku subjek dalam menjalani peran sebagai ayah adalah tuntutan peran yangada dalam diri subjek sendiri. Tuntutan peran yang ada dalam diri subjek tersebutdiperoleh dari konsep subjek mengenai ayah yang ideal serta berpatokan pada tingkahlaku dan pendidikan orangtuanya dulu, terutama ayah mereka. Walaupun subjekmerasa belum sesuai dengan konsep ayah yang ideal tersebut, namun mereka semuaberusaha menuju ke arah sana. Sebagian besar subjek penelitian ini sudah menyadaribetapa penting perannya sebagai ayah terhadap perkembangan anak. Dalampenelitian ini terlihat bahwa selain melakukan aktivitas mendidik dan bermain,mereka juga merasa bertanggung jawab untuk ikut terlibat dalam aktivitas merawatanaknya terutama kegiatan memandikan, menina-bobokan, serta melindungi saat anakbermain. Mereka menyadari bahwa dalam aktivitas merawat tersebut merupakan saatyang tepat untuk membangun kedekatan emosional dengan anak mereka. Setelahmenikah dan memiliki anak, banyak perubahan yang terjadi pada diri subjek, terutamamengenai cara subjek memandang tentang hidup. Subjek yang sebelumnyamerupakan orang-orang yang selalu berorientasi pada kesenangan diri sendiri danselalu mengikuti hati nurani dalam bertindak. Setelah menikah dan memiliki anak,timbul rasa tanggung jawab yang besar pada diri mereka, mereka mulai berpikirbahwa hidup tidak selamanya santai dan ada yang perlu diperjuangkan, terutamamengenai anak. Mereka mulai berpikir panjang sebelum bertindak dan mulai berpikirtentang masa depan. Selain itu mereka juga merasa hidupnya lebih baik dan lebihteratur serta lebih termotivasi dalam melakukan sesuatu. |