ABSTRAK Keputusan untuk menikah adalah keputusan yang kompleks, khususnyabagi perempuan. Seringkah posisi perempuan dalam pernikahan ditempatkan padakedudukan yang lemah dan pasif menerima tuntutan budaya yang menjunjungtinggi nilai partiarkhi/pria. Masih banyak perempuan memandang pernikahansebagai suatu kewajiban sosial, bukan sebagai kehendak bebas tiap individu(Widati, 2002; 24). Indonesia menggunakan konsep negara sebagai satu keluarga,perempuan dilihat sebagai istri yang keberadaannya tergantung suami, keluarga,dan negara (Suhastami, 2002). Perempuan dalam memandang diri dan berperilakutidak pemah lepas dari konteks sosialnya, tradisi dan adat istiadat setempat(Rosaldo dalam Suhastami, 2002).Beberapa waktu lalu marak terdengar berita tentang kontroversi poligini.Istri pertama maupun kedua mengalami pengingkaran komitmen perkawinan,jugatekanan psikologis, kekurangan ekonomi, dan kekerasan fisik. Istri kedua danseterusnya lebih banyak yang diabaikan. Sebagian besar suami kembali pada istripertama, karena masyarakat biasanya lebih mengakui istri pertama sebagai istriyang sah secara hukum negara (Nurohmah, 2003). Proses pernikahan dengan istrimuda pada umumnya dilakukan dibawah tangan (sirri) sehingga mereka tidak bisamelakukan tuntutan hukum, dan tidak bisa mendapatkan hak waris suaminya(Farida, 2002; 40).Meskipun banyak terjadi ketidakadilan dalam kasus poligini, namun padakenyataannya, masih banyak perempuan yang bersedia menikah poligini ataumenikah dengan laki-laki beristri. Dimungkinkan perempuan yang tidak mampumenolak poligini karena menganggap aturan poligini sebagai sisi kehidupan yangdibenarkan dalam tradisi (Islam), perempuan tidak punya alasan dan pengetahuanuntuk menolak dan memikirkannya (Lacan 1993 dalam Amiruddin, 2003).Pengambilan keputusan adalah suatu kesadaran dan proses manusiawiyang melibatkan individu itu sendiri maupun fenomena sosial yang berlandaskanfakta dan premis nilai yang mencakup suatu pilihan dari aktivitas perilaku daribeberapa alternatif dengan intensi untuk keluar dari masalah (Shull et.al dalamNoordenhaken, 1995). Penelitian ini menggunakan tahapan proses pengambilankeputusan konseptual menurut Noordenhaken (1995), yang terdiri dari tiga tahaputama, yaitu awareness, analysis dan action.Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pengambilankeputusan untuk menikah dengan laki-laki beristri?, dan sebagai permasalahan penunjang juga ingin diketahui kondisi atau kebutuhan apa yang melatarbelakangimereka, serta bagaimana pengaruh norma masyarakat terhadap pernikahan bagiperempuan khususnya pernikahan poligini?Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses mentaldalam pengambilan keputusan menikah dengan laki-laki beristri. Penelitian inimenggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif danstudi kasus untuk memahami dan menjelaskan proses individu mengolahinformasi berupa pengalaman hidup subyek dan penyebab fenomena yang dialamisubyek.Subyek dalam penelitian ini beijumlah 4 orang perempuan yang pernahmenjadi istri muda, pendidikan terakhir SMU dan usia pernikahan poligininyamaksimal 10 tahun. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknikwawancara dengan pedoman umum yang mengacu pada tujuan penelitian. Selainitu digunakan observasi sebagai metode penunjang. Analisis dilakukan mengacupada langkah-langkah analisis yang dikemukakan oleh Olford (1992) yangkemudian dikelompokkan menjadi analisis antar kasus.Hasil penelitian ini menemukan bahwa pada proses pengambilankeputusan untuk menikah dengan laki-laki beristri, terdapat satu subtahap darianalysis yang tidak dilewati, yaitu subtahap generating option. Subyek dalamkasus ini pada umumnya tidak punya alternatif laki-laki selain pacarnya denganstatus beristri. Selain itu penelitian ini juga menemukan bahwa mulai tahapcontrol, subyek ternyata berada pada tahap ciwareness untuk keputusan baru,untuk bercerai atau melanjutkan pernikahannya. Kondisi dan kebutuhan yangmelatarbelakangi para subyek pada umumnya adalah kondisi yang memaksa,seperti hamil diluar nikah, ekonomi yang sulit dan berstatus janda yang masihdinilai negatif oleh masyarakat sekitarnya. Penelitian ini juga membuktikanbahwa norma bahwa perempuan akan dinilai lebih terhormat dengan statusmenikah, temyata benar masih dipegang teguh oleh banyak kaum perempuansendiri. Sehingga banyak dari kaum perempuan yang menganggap bahwamenikah adalah solusi dari permasalahan hidup yang selama ini menghimpitnya.Saran yang dapat penulis sampaikan berdasarkan penelitian ini adalahuntuk diadakan penelitian lanjutan mengenai tahapan pengambilan keputusanpada kasus-kasus pernikahan selain poligini untuk menguji konsistensi tahapanprosesnya. Sementara untuk kasus poligini sendiri sebaiknya pada penelitianselanjutnya diadakan penelitian perbandingan antara poligini dari sudut pandangIslam dan poligami dari sudut pandang perempuan yang berasal dari kalanganumum, seperti subyek dalam kasus ini. Juga disarankan pada perempuanIndonesia untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya atau menggali pengetahuanseluas-luasnya agar dapat lebih cermat dan bijaksana dalam mengambilkeputusan. |