ABSTRAK Stroke merupakan salah satu penyakit akut yang paling besarmenimbulkan ketidakmampuan (disabling) (Guccione dkk; dalam Sarafino,1998). Ketidakmampuan (disabling) yang terjadi adalah adanya hambatan(handicap) dan kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnyabisa dilakukan orang yang sehat seperti: tidak bisa jalan, menelan, dan melihatakibat pengaruh stroke (Misbach, 1999). Sutrisna (2001) mengatakan bahwabanyak penderita stroke menjadi cacat, invalid, tidak mampu lagi mencari nafkahseperti sedia kala, menjadi tergantung pada orang lain, dan tidak jarang menjadibeban bagi keluarganya. Beban ini dapat berupa beban tenaga, beban perasaan,dan beban ekonomi.Anggrahaeni (2003) mengatakan secara lebih gamblang bahwa perubahanyang teijadi akibat stroke juga mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Merekamengalami stress karena hidup mereka secara keseluruhan berubah. Merekadiharuskan menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan keadaan yang baru. Disamping itu, mereka juga masih harus dihadapkan dengan adanya tambahantanggung jawab. Tanggung jawab itu tidak hanya sebatas mengurus dan melatih sipenderita untuk kembali pulih, namun juga tanggung jawab atas pekeijaanpekeijaanyang tidak dapat dilakukan lagi oleh penderita. Seorang istri yangsuaminya menderita stroke misalnya, bisa jadi terpaksa bekeija mencari tambahanpenghasilan untuk menghidupi keluarga dan biaya pengobatan (Anggrahaeni,2003).Oleh karenanya, kehidupan rumah tangga dengan salah satu pasanganmenderita penyakit akut, seperti stroke, adalah kenyataan hidup yang padadasarnya tidak diinginkan oleh setiap pasangan suami istri manapun. Kondisi initentunya akan berpotensi menimbulkan masalah dan juga mempengaruhihubungan atau interaksi pasangan suami istri. Hal ini karena stroke tidak hanyaberdampak bagi si penderitanya saja melainkan juga bagi lingkungan terdekatnyayaitu pasangan serta keluarganya (Walerby & Forsberg et al, 1999). Penyakitstroke yang diderita oleh salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhikesejahteraan emosional (emolional well-being) anggota keluarga lainnya. Anggola keluarga dari pasien stroke, biasanya akan mengalami kekacauanemosional (emotional turmoil) (Walerby & Forsberg et al, 1999).Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran secara mendalammengenai kesejahteraan psikologis (psychological well-bing) pada istri yangmemiliki suami penderita stroke. Secara lebih spesifik penelitian ini bertujuanuntuk melihat gambaran keenam dimensi kesejahteraan psikologis yang mengacupada teori yang dikemukakan oleh Ryff (1995) yaitu: dimensi penerimaan diri,dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi otonomi, dimensipenguasaan lingkungan, dimensi tujuan hidup, dan dimensi pertumbuhan pribadi.Penelitian dilakukan terhadap 4 orang istri yang memiliki pasanganterserang stroke. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang lebihdapat menggambarkan proses yang kompleks dan menyeluruh dibandingkanpenelitian lain. Jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam karenapeneliti ingin mengetahui pengalaman subyektif subyek. Untuk melengkapi datahasil wawancara, dilakukan observasi terhadap subyek selama prosesberlangsungnya wawancara.Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah bahwakesejahteraan psikologis pada istri yang memiliki pasangan terserang stroke padapenelitian ini tampaknya menunjukkan keragaman kondisi. Secara umum dengankarakteristik demografis yang berbeda, gambaran seluruh dimensi kesejahteraanpsikologis 3 subyek menunjukkan kondisi yang relatif sama baiknya. Sedangkan 1subyek lainnya berbeda dengan ke 3 subyek lainnya pada dimensi hubunganpositif dengan orang lain, otonomi, dan pertumbuhan peribadi. Namun secaraumum terlihat kecenderungan bahwa situasi stroke beserta dampak-dampaknyapada awalnya (beberapa minggu setelah kejadian) memberikan tekanan-tekananpsikologis sehingga mereka perlu berproses untuk mendapatkan kesejahteraanpsikologis yang saat ini dirasakannya. Para subyek akhirnya menilai pengalamanmenjalani kehidupan dengan suami yang terserang stroke dengan suatu pandanganyang positif.Faktor demografis dan klasifikasi sosial ternyata tidak berpengaruh dalampembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek melainkan faktor:karakteristik pribadi, religiusitas (keberagamaan) (Koenig, Kvale, & Ferrel dalamMardhianto, 1997), dukungan sosial (Robinson 1991), dan evaluasi terhadappengalaman hidup (Ryff 1995) adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadappembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek.Sehubungan dengan hasil penelitian ini disarankan kepada para istri yangbersuami terkena stroke sebagai orang terdekat penderita untuk dapat mencapaikesejahteraan psikologis yang baik, memaknai peristiwa tersebut dengan penilaianyang positif, dan lebih memberikan dukungan psikologis untuk pemulihan suamiyang komprehensif. |