Konsepsi Sahardjo tentang pemasyarakatan merupakan momentum yang membedakan filosofi, proses dan tujuan pemidanaan di Indonesia dengan masa sebelumnya, yaitu sejak masa penjajahan Belanda dan masa Indonesia merdeka tahun 1945 hingga awal 1963. Secara filosofis pemasyarakatan merupakan sistem yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi Retributif, Detterence dan Resosialisasi. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi Reintegrasi sosial yang berasumsi bahwa kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi). Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan manusiawi melalui hak-hak terpidana. Remisi merupakan salah satu hak narapidana yang diatur dalam Pasal 14 huruf-i Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan namun dari hasil penelitian penulis terjadi pergeseran baik dari pengertian, kriteria maupun tujuan dari remisi.Terlebih terhadap narapidana tindak pidana korupsi,penulis melihat adanya deskriminasi terhadap pemberian hak-hak terhadapnya. Hal ini tidak lagi sejalan dengan asas pemasyarakatan yaitu asas pengayoman dan asas persamaan perlakuan dan pelayanan. Ketidakjelasan aturan remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi serta lemahnya pengawasan menjadikan kurangnya perlindungan terhadap hak-hak narapidana pada umumnya serta narapidana tindak pidana korupsi pada khususnya. Perlunya mempersoalkan hak-hak narapidana tindak pidana korupsi untuk diakui dan dilindungi oleh hukum dan penegak hukum karena narapidana tindak pidana korupsi adalah warga negara yang perlu diayomi walaupun telah melakukan pelanggaran hukum. Penghukuman bukan berarti pencabutan hak-hak yang melekat pada dirinya. Penulis melihat masih kurangnya perhatian sekaligus perlindungan hukum terhadap hak-hak narapidana, hal yang sangat berbeda dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan atau terdakwa karena KUHAP dengan segala ketidaksempurnaan yang masih terkandung didalamnya, telah sangat jauh mengurangi kesewenang-wenangan yang dimungkinkan proses peradilan pidana di bawah HIR. Demi terjaminnya perlindungan atas hak-hak narapidana tindak pidana korupsi maka menurut penulis diperlukan pemberdayaan kembali fungsi Hakim Pengawas dan Pengamat sebagaimana amanat KUHAP. Reposisi Balai Pertimbangan Pemasyarakatan untuk diarahkan sebagai cikal bakal lahirnya suatu badan baru misalnya dalam bentuk Komisi Pemasyarakatan agar fungsi check and balances dapat lebih efektif serta pemberdayaan akan pentingnya Pengawasan masyarakat. Kehadiran instrumen atau perangkat yang mengatur tentang bagaimana keterlibatan masyarakat seperti media, lembaga non pemerintahan (LSM) dan perorangan dalam melakukan kontrol atau pengawasan pada tiap UPT Pemasyarakatan sangat mendesak untuk diwujudkan sehingga proses pembinaan dan pelayanan pada tiap UPT Pemasyarakatan terhadap narapidana dapat berjalan secara optimal. Sahardjo conceptions are the momentum that distinguishes correctional philosophy, process and purpose of punishment in Indonesia with the previous period, ie since the Dutch colonial period and the period of Indonesia's independence in 1945 until early 1963. Philosophically correctional system is already moving far left retributive philosophy, Detterence and Resocialization. Correctional facilities in line with the philosophy of the social reintegration assume that crime is a conflict between the convict with the community so that criminal prosecution is intended to restore conflict or convict reunite with his society (reintegration). Correctional show commitment in the effort to change the condition of prisoners through the coaching process and treat the human rights of prisoners through. Remission is one of the prisoners' rights provided for in Article 14 letter-i of Act No. 12 of 1995 on Corrections, but the authors of the study there was a shift from understanding, and purpose of the remission criteria. Especially to inmates of corruption seen any discrimination against granting the rights to it. It is no longer in line with the principle of stewardship is the principle and the principle of equal treatment shelter and services. Remission to the prisoners' lack of clarity of rules of corruption and weak oversight made the lack of protection for the rights of prisoners in general and prisoners of corruption in particular. The need to question the rights of prisoners of corruption to be recognized and protected by law and law enforcement corruption cases because inmates are citizens who need to be protected although has violated the law. Punishment does not mean deprivation of rights attached to him. The author sees is the lack of attention as well as legal protection of the rights of prisoners, it is very different from the protection of the rights of suspects or accused because of the Criminal Procedure Code and with all the imperfections that still contained in it, was very much reduces the possible arbitrariness of the criminal justice process under HIR. For ensuring the protection of the rights of prisoners of corruption it is necessary according to the authors re-empowerment of the institution of monitoring and controlling Judges functions as mandated by the Criminal Procedure Code. Consideration repositioning Correctional Center to be directed as a forerunner to the birth of a new entity instance in the form of the Commission of Corrections for checks and balances to function more effectively as well as the empowerment of the importance of community supervision. The presence of an instrument or device that regulates how community involvement such as media, non governmental organizations and individuals in the control or supervision at each UPT Correctional very urgent to be realized so that the process of coaching and service to each of the Correctional Unit inmates to run optimally. |