Kolonialisme pada mulanya adalah penguasaan rempah rempah dan hasil bumi untuk memperkaya negeri penjajah dalam meluaskan kekuasaannya. Pada fase selanjutnya, kolonialisme tidak hanya berpusat pada rempah, beras, dan sagu, melainkan juga penguasaan masyarakat atau hegemoni. Kaum penjajah tidak hanya mengambil sumber daya alam yang ada, tetapi juga membentuk pola pikir sumber daya manusianya sehingga mereka dapat menerima diri sebagai kaum inferior. Penjajah membalikkan masa lalu bangsa terjajah, dan mendistorsi, menodai, dan menulis ulang masa lalu bangsa tersebut. Skripsi ini membahas orientalisme dan pengaruh poskolonialisme pada masyarakat bekas jajahan, khususnya Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelusuran literatur kepustakaan dari tema tersebut. Hasil penelitian memperlihatkan pengetahuan dan kekuasaan tidaklah terpisahkan. Siapa yang berpengetahuan dialah yang berkuasa, dan penguasa menciptakan kebenaran atas sebuah pengetahuan. Kami dan mereka adalah sebuah kata yang diwacanakan sang penguasa. Bahasa tidak lagi sebagai alat berkomunikasi tetapi sebagai alat menghegemoni. At the beginning colonialism was the mastery of spices and agricultural products to enrich the invading country in expanding his power. In the next phase, colonialism is not only centered on the spices, rice, and sago, but also the mastery of society, or hegemony. The invaders did not just take the existing natural resources, but also establish the mindset of its human resources so that they can accept themselves as the inferior. Reversing past invaders colonized people, and distort, stain, and rewriting the history of the nation. This thesis discusses orientalism and post colonialism influence on the former colonies, especially Indonesia. This study uses literature source of the theme. The results show that knowledge and power are not separated. Those who have knowledge, they have power to lead. The sovereign has power to create the truth of knowledge. 'Us' and 'them' are words that discourse of the sovereign. Language is no longer as a means of communication but as hegemony. |