Penelitian ini adalah untuk memahami tentang bagaimana masyarakat Kp. Lampegan dapat bertahan dari tidak terjadinya konflik terbuka, menyangkut masalah tradisi ngabagi salawat. Ngabagi salawat sendiri adalah suatu tradisi yang dilakukan oleh keluarga duka, dengan cara membagi-bagikan uang dan beras kepada setiap warga yang hadir ke pemakaman. Hal ini disatu sisi seolah membebani keluarga duka, yang baru saja ditimpa musibah meninggal. Kemudian konflik pun mulai muncul disaat warga pendatang, khususnya yang memiliki norma budaya yang berbeda serta bertolak belakang dengan tradisi ngabagi salawat mulai merasakan keberatannya atas tradisi ini. Anggapan bahwa tradisi ini adalah tradisi yang bid?ah/sesat serta merugikan, seringkali muncul dari warga pendatang yang memiliki budaya berbeda serta bertolak belakang dengan tradisi ngabagi salawat ini. Bersinggungannya dua budaya berbeda ini, pada awalnya dianggap akan mampu mencetuskan suatu konflik terbuka, namun hingga pada akhirnya didapatkan suatu fakta dari daerah penelitian Kp. Lampegan bahwa ternyata konflik tidak harus berujung menjadi permusuhan maupun menjadi sebuah konflik terbuka. Dan dari penelitian ini akan terlihat bagaimana masyarakat Kp.Lampegan kemudian berhasil berintegrasi dengan baik walaupun berada dalam perbedaan norma kebudayaan serta perbedaan pemahaman. Rasa Toleransi, adaptasi yang tinggi serta solidaritas antar sesama menjadi kunci atas keharmonisan yang mampu terjalin ditengah perbedaan yang sensitif, disamping pada kenyataannya tradisi ngabagi salawat itu sendiri merupakan fungsi dari pertukaran sosial bagi warganya. This research is to understand how people Kp. Lampegan can withstand the absence of overt conflict, a matter of tradition ngabagi salawat. Ngabagi salawat itself is a tradition that is carried by a family funeral, which is handing out money and rice to every citizen who attended the funeral. It is as if a burden on one side of the family in grief, misfortune befalls you just died. Then the conflict began to emerge when immigrant population, especially those with different cultures and traditions contrary to ngabagi salawat begin to feel the objections to this tradition. Assumption that this tradition is the tradition of heresy / false and harmful, often emerge from migrants who have different cultures and traditions in contrast to this salawat ngabagi. These two different conduct norm cultures that meet together, were initially considered to be capable of sparking an open conflict, and eventually obtained a fact of Kp research areas. Lampegan that the conflict was not necessarily culminate into an open conflict. And from this study will look into how people of Kp.Lampegan then successfully integrate well despite being in the understanding of cultural norms differences and differences. Sense of tolerance, high adaptability and solidarity between the members to be able to lock the harmony that existed in the middle of sensitive differences, besides the fact that ngabagi salawat tradition is itself as a function of social exchange for its people. |