Undang Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)) memang patut diapresiasi karena ketika dibuat pada tahun 1970-an sampai dengan diundangkannya pada tahun 1981, Kitab Undang Undang ini sudah merupakan pembaharuan total dari kitab undang undang hukum acara pidana kolonial, Herziene Indische Reglement (HIR), sehingga dibangga banggakan sebagai salah satu "masterpiece" dalam hukum nasional. Namun, harus diakui bahwa setelah berjalan lebih dari dua dekade, ternyata terdapat banyak kekurangan dan kelemahan yang ditemukan dalam praktek, sehingga timbul kebutuhan mendesak untuk memperbaiki Kitab Undang Undang ini.Hal ini sangatlah wajar mengingat dinamika perkembangan masyarakat demokratis yang menuntut adanya pembaharuan hukum secara berkala melalui produk hukum yang responsif.KUHAP memang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti dengan hukum acara pidana yang baru.Oleh karena itu, upaya pembaharuan hukum acara pidana nasional melalui Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2010 yang akan menggantikan keberadaan KUHAP memang patut disambut gembira. Salah satu ketentuan baru dalam RKUHAP adalah diusulkannya lembaga Hakim Komisaris untuk menggantikan keberadaan pra peradilan dalam KUHAP.Sekalipun berorientasi pada upaya pembaharuan hukum acara pidana nasional, wacana penghapusan pra peradilan untuk kemudian menggantikannya dengan Hakim Komisaris tampaknya masih terus mengundang perdebatan.Pihak yang pro terhadap Hakim Komisaris berangkat dari pemikiran bahwa pra peradilan seringkali dianggap sudah tidak memadai lagi untuk diberlakukan sebagai lembaga pengawasan kewenangan penyidik dan penuntut umum pada tahap pemeriksaan pendahuluan. Lembaga ini juga dianggap sudah tidak mampu lagi mengakomodir pemenuhan keadilan dan kepastian hukum baik bagi tersangka maupun pihak lain yang merasa dirugikan kepentingannya pada tahap pemeriksaan pendahuluan. Apa yang kemudian menjadi pertanyaan apakah ide untuk mengganti pra peradilan dalam KUHAP dengan Hakim Komisaris melalui RKUHAP merupakan langkah tepat menuju pembaharuan hukum acara pidana nasional mengingat polemik terkait wacana pengesahan Hakim Komisaris muncul dikarenakan adanya semacam kekhawatiran bahwa lembaga baru ini justru merupakan sebuah kemunduran, bukan kemajuan, mengingat lembaga serupa pernah ditolak pada saat diintrodusir dalam RKUHAP 1974 dengan alasan terlampau luasnya kewenangan lembaga ini dalam melakukan intervensi terhadap kewenangan penyidik dan penuntut umum pada tahap pemeriksaan pendahuluan. Law No. 8 Year 1981 Regarding Criminal Procedural Law (Code of Criminal Procedural Law) is reasonably appreciated ?, since when it was made in 1970?s until it was promulgated in 1981, it had been a total reform of colonial code, Herziene Indische Reglement (HIR) ?, the reason why it was put on its place as one of national law ?masterpiece? we are proud of. But however, it has to be admitted that after passed through two decades, there are a lot of shortages and weaknesses found in its practice, with the result that the correction about this code became an urgent necessity. This action is considerably proper, since dynamic of democratic society growth claims the existence of periodically law reform through responsive law product. Code of Criminal Procedural Law is no longer suit the law development in society, so it is necessary to substitute it by a new criminal law. For that reason, the effort to renew criminal procedural law through its future replacement with Draft of Criminal Procedural Law Year 2010 should be gladly welcomed. One of new provision in Draft of Criminal Procedural Law is the suggestion of Hakim Komisaris to replace the existence of pra peradilan in Code of Criminal Procedural Law. Even though it is oriented in effort of national criminal procedural law reform, discourse about the elimination and replacement of pra peradilan with Hakim Komisaris still seems debatable. The pro sides of Hakim Komisaris derives from a point of view that pra peradilan is often considered as no more reasonable to be treated as investigator and prosecutor authority supervising institution in preliminary examination. The question afterwards is whether the idea of substituting pra peradilan in Code of Criminal Procedural Law with Hakim Komisaris through Draft of Criminal Procedural Law is appropriate step towards national criminal procedural law reform, since polemics involving legalization of Hakim Komisaris emerge because of worries that this new institution is a regress instead of progress, since similar institution had ever been rejected when it was introduced in Draft of Criminal Procedural Law 1974, with a reason that authority of this institution when intervening with inspector and prosecutor authority in introductory inspection, is excessive. |