ABSTRAK Subjek penelitian ini adalah kerjasama kebahasaan Indonesia-Malaysia yangdilaksanakan pasca konfrontasi tahun 1966 hingga tahun 1985. Fokus kajiannyadiarahkan pada pembahasan sekitar sejarah perjalanan Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia (MBIM) sejak resmi didirikan pada 29 Desember 1972 hingga tahun 1985ketika kerjasama ini berubah nama menjadi Majelis Bahasa Brunei-Indonesia-Malaysia (MABBIM) seiring diikutsertakannya Brunei Darussalam sebagai anggota.Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan menyajikan hasilpenelitian dalam bentuk deskriptif-analisis.Dengan apa yang telah diperagakan selama kurang lebih 14 tahun, MBIMberhasil menjadi sebuah forum unik?tidak ada di wilayah manapun?yang sangatefektif dan membawa banyak perubahan, khususnya dalam aspek kebahasaan, baikbagi Indonesia maupun Malaysia. Selain mampu menenggelamkan traumakonfrontasi yang pernah dirasakan oleh kedua negara, MBIM juga tercatat mampumenghadirkan ragam hasil di ranah kebahasaan.Salah satu keluaran penting yang dihasilkan dari adanya serangkaianpersidangan MBIM adalah semakin kuatnya kedua negara dalam konteks merancangdan menyempurnakan?termasuk mempergunakan?sistem ejaan yang di Indonesiadikenal sebagai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan di Malaysia dinamakanEjaan Rumi Baru Bahasa Malaysia (ERB). Selain ejaan, keluaran lain yang jugapenting dicatat adalah pedoman pembentukan istilah. Di Malaysia pedoman inidikenal sebagai Pedoman Umum Pembentukan Istilah Bahasa Melayu (PUPIBM),sementara di Indonesia pedoman ini dikenal sebagai Pedoman Umum PembentukanIstilah (PUPI). Pedoman tersebut serentak mulai digunakan oleh masing-masingnegara sejak tahun 1975.Namun seiring banyaknya keluaran yang dihasilkan dari serangkaian sidangMBIM, tak pelak MBIM pun harus menghadapi beragam persoalan. Akan tetapi,meskipun dihadapkan pada beberapa persoalan. MBIM tetap dipandang sebagaisebuah forum kerjasama yang berhasil memberikan kontribusi tidak hanya padaproses pengembangan bahasa kedua negara tapi juga pada proses membangkitkanmemori kolektif kesejarahan Indonesia-Malaysia. ABSTRACT This study aims to describe and explore the language cooperation between Indonesiaand Malaysia, initiated in 1966, just after the end of Confrontation of the twocountries, and lasted until 1985. Resulted from historical research, this thesis presentsthe subject in descriptive-analyses writing. The main point is discussion on theestablishment of the Language Council of Indonesia-Malaysia called MBIM-MajelisBahasa Indonesia-Malaysia; and how this language cooperation implemented in bothcountries from 1972 to 1985.By what has been executed for about 14 years under the Language Council showedchanges and progress, in particular of the Malaya and Indonesian languages, giventhat both share the same roots, i.e. the Malay language. The cooperation, in its ownway, had diminished the trauma and bitterness underwent in both countries, due topolitical divergences.The most significant result of this language cooperation could be observed in thefields of policy language planning and designing, new formulation of word-spelling,due to historical background of colonialism, in which Indonesia has strong influenceof the Dutch and Malaysia of the British. This way, both Malay spoken in Indonesiaand Malaysia found new form agreed by both countries. Indonesia called it EjaanYang Disempurnakan (New Better-Formed Spelling) and Malaysia launched EjaanRumi Baru (Rumi New Spelling).Other notable result is the guidelines of terms accorded by the Language Councilduring these 14 formative years, covering scientific terms of pure, natural and socialsciences. Malaysia published the General Guides for Establishment of Term in Malayand Indonesia issued Petunjuk Umum Penggunaan Istillah, both were implemented in1975.Despite such a success story of the Language Council of Indonesia-Malaysia,problems were to be managed under friendly Malay way of problem-solving.However, MBIM was still considered a model cooperation, contributing not only tolanguage development of both countries but also in making progress of reawakeningcollective memories shared by both nations, Indonesian and Malaysian. |