Kegiatan waralaba diawali dengan dibuatnya perjanjian waralaba secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Pembuatan perjanjian waralaba ini menerapkan asas kebebasan berkontrak yang berarti para pihak dapat menentukan isi perjanjian tetapi tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, hal ini merupakan implemantasi dari syarat sebab yang halal yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Sebagai pelaku usaha yang tujuannya untuk mencari keuntungan, para pihak dalam perjanjian waralaba juga harus tunduk pada hukum persaingan usaha. Namun, sistem waralaba ini dikecualikan untuk tunduk terhadap UU No. 5 Tahun 1999 ini, hal ini dicantumkan dalam Pasal 50 huruf b. Kemudian dalam praktiknya, terdapat klausul-klausul dalam perjanjian waralaba yang berpotensi mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, maka dibuat Pedoman Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 mengenai pembatasan terhadap pengecualian Pasal 50 huruf b, tetapi pedoman ini tidak dapat mengikat secara umum karena dibuat bukan berdasarkan perintah perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut pedoman ini klausulklausul dalam perjanjian waralaba yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat tidak dikecualikan untuk tunduk pada UU No. 5 Tahun 1999. Untuk menghindari adanya persaingan usaha yang tidak sehat, perjanjian waralaba tetap harus berpedoman pada UU No. 5 Tahun 1999. Pendekatan dalam skripsi ini dilakukan dengan menggunakan analisis berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, serta membandingkannya dengan peraturan waralaba yang berlaku di Inggris. Inggris tidak memiliki peraturan yang secara spesifik mengatur mengenai waralaba, hanya terdapat kode etik yang dibuat oleh organisasi nirlaba yang bergerak di bidang waralaba. Setelah melakukan perbandingan, kemudian dilakukan analisis suatu perjanjian waralaba antara PT SAT dan HM untuk menilai klausul-klausul yang terdapat di dalamnya apakah sesuai dengan prinsip persaingan usaha atau tidak. Berdasarkan analisis perjanjian waralaba PT SAT dan HM tidak melanggar prinsip persaingan usaha. Franchise business activities are started from the making of a written franchise agreement that is signed by both or more of the parties. The writing of this agreement puts forth the principle known as freedom of contract, which means the parties are free to determine the body of the contract as long as it does not contradict with the law, general order, and moral decency. This principle is an implementation towards the good cause as one of the condition for the licit agreement. As an entrepreneur who aims for profit, the parties involved should binds themselves to competition law. But, franchise itself is an exception for Law No. 5 Year 1999, as ruled in article 50 letter (b). And also in practice, there are clauses that could potentially cause an unfair practice in the franchise agreement, so therefore an Implementing Guidelines for Article 50 letter (b) Law No. 5 Year 1999 regarding boundaries for the exception ruled out in article 50 letter (b). But this implementing guideline can?t bind in general because it is made not from command of the higher law. According to this guidelines, the clause in a franchise agreement that may cause an unfair practice is not an exception to bind to Law No. 5 Year 1999. To avoid an unfair practice, the franchise agreement must be in accordance to Law No. 5 Year 1999. This thesis is approached by analyzing governing law, and by comparing it with the British franchise regulation. The British did not have any regulation that is specifically governs franchising, but there are only code of ethics that is created by a non-profit organization that moves in the franchising field. After the comparison, an analysis to a franchise agreement between PT. SAT and HM is done to assess the clauses that is in the body of the agreement, whether or not it is in accordance to competition law principle or not. According to the analysis, the franchise agreement between PT. SAT and HM did not violate the competition law. |