Menjelang abad ke-21, kita menyaksikan tingkat kegairahan baru umat manusia dalam meyakini dan mengamalkan agama (Naisbitt & Aburdene, 1990).Fenomena kesadaran beragama ini juga berlangsung di Indonesia yang mayoritas rakyatnya beragama Islam. Kalangan mahasiswa Islam tampaknya merupakan kelompok masyarakat yang paling aktif dan antusias menyambutnya.Kebangkitan Islam di kalangan mahasiswa, telah menjelma menjadi sebuah gerakan yang ekstensif dan signifikan bagi tata kehidupan sosial dan masyarakat. Bahkan Azis (1995), seorang peneliti dari Departemen Agama RI, telah menggolongkan gerakan keagamaan oleh mahasiswa di berbagai perguruan tinggi ini sebagai sebuah gerakan sosial. Di kampus Universitas Indonesia, gerakan keagamaan yang dewasa ini mempunyai pengaruh Iuas di kalangan mahasiswa adalah suatu gerakan yang dapat disebut sebagai gerakan Tarbiyah (Azis, 1995). Sebutan Iainnya mencakup istilah Harakah, Usrah, Liqaa, maupun 'Rohis'. Sebagai sebuah gerakan keagamaan , Tarbiyah memiliki sejumlah karakteristik antara Iain : Pertama, pandangan keagamaan yang dikotomis dan monoIitik. Dikotomis maksudnya, dunia, aiau realitas. cenderung dipandang hitam-putih, misalnya manusia di dunia terbagi dua golongan : muslimin dan jahiliyah (Iihat M. Quthb, 1985: 30; S. Quthb. 1994: 25). Monolitik maksudnya, adanya pengakuan, implisit atau eksplisit, bahwa Islam (dalam kerangka interpretasi merekalah ) yang paling benar (Azis, 1995: 38). Kedua, peran, posisi. dan otoritas murobbi (mentor agama) di dalam keiompok/sel. Para anggola sangat patuh pada murobbi. Murobbi dipercaya mulai dalam ajaran agamanya sampai dalam mencarikan jodoh. Ketiga, kohesivitas dan kolektivitas kelompok. Sejumlah kelompok diketahui mengembangkan doktrin tentang al-wala wal bara (arti harfiahnya adalah loyalitas dan pemisahan diri). Peneliti dari Departemen Agama Rl sendiri menggolongkan gerakan Tarbiyah ini sebagai gerakan fundamentalisme agama. Kemudian dalam praktik kehidupan sehari-hari di kampus UI, gerakan Tarbiyah ini, dengan segala karakteristik tersebui, selain berkembang dan tumbuh dengan pesat. ternyata juga mengalami interaksi yang seringkali konfliktual. Interaksi yang konfliktual ini barangkali menemukan wujud nyatanya pada proses-proses pemilihan pucuk pimpinan organisasi kemahasiwaan di UI (lihat Kuswari, 1995: 44-45). Menurut catatan Kuswari, pertarungan itu terjadi karena ?kelompok Rohis memiliki visi kemahasiswaan berdasarkan kacamata Islam, sedangkan kelompok non-Rohis melihat dunia kemahasiswaan dari kacamata "sekular". Interaksi konfliktual itu juga dialami beberapa individu. Di antaranya seorang mahasiswa F. Psikologi, non-peserta Tarbiyah, yang disudutkan oleh seorang peserta Tarbiyah dari fakultas Iain dengan kecaman terhadap Psikologi sebagai ilmu yang 'sesat', produk Barat, yang sok tahu tentang motif dan perilaku manusia, padahal yang paling tahu hanya Tuhan". Seorang mahasiswa lain, ketika baru masuk UI, mendapatkan mentoring-mentoring dari Tarbiyah, yang menurutnya menampilkan Islam sebagai wajah yang ?irasional, ekslusif dan penuh amarah", sehingga pada diri mahasiswa tersebut terbangun kekecewaan dan sikap negatif terhadap islam. Sampai di sini, sebagai sebuah gerakan keagamaan yang bergerak di kampus perguruan tinggi dan hidup di kalangan mahasiswa, menjadi sebuah pertanyaan yang mengusik bila kita kaitkan karakteristik gerakan Tarbiyah ini dengan keberadaan mahasiswa sebagai calon-calon intelektual masa depan. Seorang intelektual adalah seseorang yang secara kritis selalu mempertanyakan masalah nilai, mempertanyakan maksud dan tujuan sesuatu, seraya membebaskan dirinya dari pertimbangan-pertimbangan praktis yang bertalian dengan kepentingan masa kini semata-mata (Buchori, 1994: 156). Artinya, setiap mahasiswa harus membiasakan diri untuk membuka cakrawala berpikir seluas-Iuasnya. Melihat dan membandingkan berbagai alternatif pendapat yang berkembang, serta kritis terhadap suatu pemikiran yang mapan (yang tampaknya pasti benar). Jamaluddin al-Afgani, salah seorang tokoh Kebangkitan Islam ternama, menganalisa sebab keterbelakangan masyarakat Islam, terutama para pemimpin agamanya, yang kekurangan minat intelektual (Alatas, 1988: 19). Menurutnya. semangat mengkaji, kenikmatan dalam pencarian intelektual, dan rasa hormat yang mendalam terhadap pengetahuan ilmiah dan rasional ini, sayangnya tidak menyebar Iuas di kalangan masyarakat berkembang (lihat Keddie, 1968 : 105 dalam Alatas, 1988: 19). Mengenai tradisi pemikiran Islam, Abraham S. Halkin, seorang sarjana besar Yahudi, bahkan mengatakan bahwa sikap kaum Muslim terhadap ilmu pengetahuan adalah spontan menghargai, mengadaptasi dan memanfaatkan. Kaum Muslim terdahulu, dengan penuh percaya diri berdasarkan iman, dengan bebas dan tanpa beban psikologis apa pun mengambil apa saja yang baik dan membuang mana saja yang buruk dari budaya asing itu. Karena itu, sebagai contoh para filsuf Muslim tak segan-segan mengambil dan menggunakan budaya Yunani yang ?netraI', seperti sebagian besar filsafat dan ilmu pengetahuan. tetapi mereka manyingkirkan unsur-unsur yang tidak sejalan dengan pokok-pokok ajaran Islam seperti mitologi yang kebanyakan menjadi tema sastra Yunani (Madjid, 1995). Selain menghadapi persoalan etos berpikir kritis dan perluasan cakrawala pandangan, gerakan Tarbiyah juga tampaknya berjumpa dengan kemajemukan (pluralitas) masyarakat yang kiranya menjadi keniscayaan hidup di dunia. Sebagai ketentuan Ilahi, kemajemukan termasuk kalegori Sunnatullah yang tidak terhindarkan karena kepastiannya (Madjid, 1992: 160). Karena itulah manusia. manusia Muslim dituntut untuk senantiasa merendahkan hati dan bersedia berdialog dengan 'kebenaran' (al-Haqq) dan kesabaran (al-Shabr) dalam setiap langkah hidupnya (lihat Al Quran s. al-Ashr : 1-3). Al Quran, setidaknya dalam jajaran konsep, telah memberi resep atau arahan yang sangat diperlukan bagi manusia muslim untuk memecahkan masalah kemanusian universal, yaitu realitas kemajemukan keberagamaan manusia. Al Quran sering menyebut para pemeluk agama islam sebagai ummatan wasatan ( umat yang berada di tengah-tengah), maksudnya tidak "berlebih-lebihan" dalam segala hal, termasuk di dalamnya ?berlebihan" dalam persoalan kehidupan keberagamaan (Abdullah, 1994: 95-97). Sampai di sini peneliti berpendapat bahwa pandangan dan perilaku peserta gerakan Tarbiyah tersebut diatas dapat coba dijelaskan dengan teori Sistem Kepercayaan yang disusun oleh Milton Rokeach. Milton Rokeach (1960) dalam bukunya The Open and Closed Mind memberikan gambaran bahwa perilaku sosial seseorang dapat dijelaskan berdasarkan analisa terhadap struktur sistem kepercayaannya (belief system). Adapun pengertian sistem kepercayaan adalah seperangkat kepercayaan, set, harapan, atau dugaan, baik yang disadari atau yang tidak disadari, yang diterima individu sebagai sesuatu yang benar mengenai dunia yang dihuninya (Rokeach 1960: 33). Lebih jelasnya, menurut Rokeach, setiap individu memiliki sistem kepercayaan tertentu yang dapat bersifat terbuka ( low dogmatic/ open minded) atau pun tertutup (high dogmatic/ closed mind). Menurul Rokeach, individu yang terbuka sistem kepercayaannya cenderung menerima, mengevaluasi serta bertindak berdasarkan informasi yang relevan sesuai dengan tuntutan situasional. Manifestasi dari keterbukaan kepercayaan antara Iain adalah kecenderungan untuk Iebih mudah menerima ide-ide baru atau pun perubahan-perubahan baru serta Iebih obyektif terhadap realitas. Sebaliknya, mereka yang tertutup sistem kepercayaannya cenderung menerima, mengevaluasi serta bertindak atas dasar tekanan dari faktor-faktor yang tidak relevan, yang berasal dari dalam atau pun luar dirinya. Faktor yang tidak relevan yang berasal dari dalam diri antara Iain kebutuhan untuk berkuasa, kebutuhan unluk mengurangi kecemasan, motif ego yang tidak rasional, kepercayaan atau kebiasaan yang tidak relevan dengan tuntutan situasi dan sebagainya. Sedangkan faktor dari Iuar antara lain adalah adanya ganjaran maupun tekanan dari otoritas di Iuar dirinya, seperti orang tua, guru, norma institusi. norma sosial maupun norma budaya (Rokeach, 1960:57-58). Manifestasi dari ketertutupan sistem kepercayaan antara Iain kurang terbuka bahkan cenderung waspada terhadap terhadap ide-ide baru yang berbeda dengan paham atau keyakinannya, Ioyalitas membuta pada sistem sosialnya serta fanatik terhadap kelompok serta cenderung mempunyai orientasi waktu yang sempit. Setelah melalui pengukuran memakai Skala Dogmatisme Form E yang dapat menunjukkan kecenderungan keterbukaan-ketertutupan sistem kepercayaan seseorang. serta melakukan wawancara terhadap sejumlah responden peserta Tarbiyah, maka penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem kepercayaan mahasiswa UI peserta Tarbiyah cenderung tertutup (high dogmatic/closed minded). Artinya pandangan dan perilaku keagamaan yang ditarnpilkan peserta gerakan Tarbiyah memang dilatari oleh sistem kepercayaan yang cenderung tertutup. |