Maraknya perkawinan beda agama selalu menjadi kontroversi serta polemik di masyarakat, baik masyarakat organisasi keagamaan maupun agamawan hampir sepakat melarang dilakukannya perkawinan beda agama. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan dan metode lapangan, terlihat bahwa pandangan masyarakat serta para agamawan tersebut semakin kuat sejak diberlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan khususnya pada pasal 2 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 8 huruf (f), Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 dan diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 1 Juni 1980 yang mengharamkan pernikahan beda agama baik antara laki-laki muslim dengan perempuan non muslim ataupun sebaliknya. Terlepas dari ketentuan di atas, nyatanya perkawinan beda agama kian hari kian meningkat jumlahnya, bahkan belakangan ini telah terjadi perkawinan beda agama yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, yang membolehkan perkawinan beda agama dengan berdasar pada Al Quran surat Al Maidah ayat 5 serta menegaskan bahwa tidak ada tafsir tunggal atas teks-teks Kitab suci. Yayasan tersebut juga mengeluarkan surat keterangan sahnya perkawinan yang hanya sah menurut Yayasan Wakaf Paramadina, tetapi tidak sah menurut hukum Negara karena Yayasan Wakaf Paramadina bukanlah instansi yang berwenang untuk melangsungkan maupun mencatat perkawinan. Perkawinan beda agama tersebut juga tidak luput dari permasalahan yang dapat timbul dikemudian hari antara lain terhadap status perkawinan itu sendiri yang dapat mengakibatkan batalnya perkawinan, Adanya kekhawatiran terjadi konversi agama atau “pemurtadan”, serta permasalahan mengenai pembagian warisan dari perkawinan tersebut yang hanya dapat diwariskan melalui wasiat karena adanya perbedaan agama. |