Dari suatu perkawinan akan lahir anak yang merupakan keturunan yang sah dari mereka yang mengikatkan diri dalam suatu perkawinan tersebut, sehingga perkawinan menimbulkan akibat hukum bagi hubungan suami-istri dengan anak yang dilahirkan dimana orang tua bertanggung jawab memelihara, mendidik, dan memberi nafkah pada anak sampai anak tersebut dewasa, dan kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan tersebut terputus. Hal ini ditegaskan dalam Hukum Islam dan juga dalam Pasal 105 dan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam. Pada umumnya hak pemeliharaan anak jatuh pada pihak istri dan kewajiban pemberian nafkah anak jatuh pada suami. Dalam praktek, walaupun sudah ada putusan Pengadilan yang memerintahkan suami untuk memberi biaya pemeliharaan anak, suami tidak melaksanakan kewajibannya tersebut sehingga putusan pengadilan itu hanyalah hitam di atas putih saja, dan merugikan pihak istri. Dalam penulisan ini penulis menggunakan alat pengumpulan data yang dilakukan dengan mempelajari bahanbahan kepustakaan, seperti Undang-Undang, yurisprudensi, buku-buku, majalah, serta tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. Selain itu penulis juga melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait, yaitu hakim, ulama, dan pihak yang mengalami, karena masih sering terjadi kasus ayah tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, seperti yang telah diputuskan oleh Pengadilan, yang disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya kurangnya kesadaran hukum suami mengenai tanggung jawabnya terhadap anak, faktor budaya, kurang sempurnanya Undang- Undang, dan lain-lain. Akibatnya anak menghadapi masa depan yang suram dan tidak menentu. Untuk mengatasi masalah tersebut, pihak istri dapat mengajukan permohonan untuk meminta kepada Pengadilan Agama yang memutuskan proses perceraiannya untuk mengeluarkan surat perintah sita eksekusi. Dan seharusnya ketentuan dalam KHI dan PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, pelaksanaannya dikaitkan dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menentukan sanksi pidana penjara dan/atau denda bagi mereka yang menelantarkan anak. A red line between parents and their child remain eternally. A beloved child that emerges from this matrimony brings husband and wife responsibility to raise their child for his or her future to come. It is the parents obligation to take care of their child, to give fine education, fulfill his or her needs financially so he or she will be set for life. Such consequences linger even the marriage has been broken. The parents are obligated until the child has grown up. This is clearly stated in Islamic Mandate and Commandment and also in Paragraphs 105 and 156 of Islamic Sharia Compilation. In general, the mother has the right to stay with the child, while the father provides the life support for the child. However, many times this is just words written on papers; the father does not provide any life support for the child even though there’s a court’s order. In this thesis, the methodologies that the writer uses are collecting data and reference study such as constitution and jurisprudence, books, magazine and scientific articles which related to the object. Other than that, the writer also conducts some interviews with related parties which are judges, a spiritual leader, and the people who go through this household case like above. The writer comes to many case of misdemeanor from father side due to several factor; lack of responsibility from father side, family custom and cultural stereotype, flawed regulation, etc. Hence, many children are facing perplex and uncertain future. To overcome these issues, the wife could insinuate the court to issue an execution letter. However the KHI and PP No.10 Year 1983 that is regarding to marriage and divorce policy for government officer should be related to UU No. 23 year 2002 in regards to child’s protection which conclude the jail sentence and/or fine for those who abandon their children. |