Proses berita acara dalam tindak pidana pemilu (laporan-penyelidikan-penuntutan proses peradilan) menurut uu no. 12 Tahun 2003 (studi kasus : Taufik Rahman, calon legislatif DPD DKI Jakarta)
Yulia Apriati Santi;
Pane, Thorkis, supervisor; Sonyendah Retnaningsih, supervisor
(Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005)
|
Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara Republik Indonesia. Untuk menjamin kemurnian pemilu dan tercapainya demokrasi, para pembuat undang-undang telah merumuskan sejumlah perbuatan curang yang memiliki sifat dan bentuk yang spesifik yang dilakukan selama tahapan pemilu sebagai suatu tindak pidana dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD. Dalam undang-undang tersebut diatur 26 (dua puluh enam) pasal tindak pidana pemilu yang memuat ketentuan minimal dan ketentuan maksimal ancaman hukuman, dan terdapatnya pidana denda dan/atau pidana penjara yang dapat dijatuhkan secara alternatif kumulatif. Selain itu, Undang-undang No. 12 Tahun 2003 merupakan Undang-undang Pemilu pertama yang mengatur tentang proses beracara dalam menyelesaikan tindak pidana pemilu karena pembuat undang-undang berpikir bahwa pemilu merupakan satu-satunya hak asasi dalam bidang politik bagi sebagian besar warga negara Indonesia. Perumusan tersebut adalah untuk menghindari tidak terselesaikannya perkara tindak pidana pemilu seperti yang banyak terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Dalam undangundang tersebut terdapat beberapa kekhususan/penyimpangan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam hal; pertama, pelaporan karena melibatkan panwaslu sebagai gerbang penyelesaian tindak pidana pemilu; kedua, pembatasan waktu dalam proses beracara (laporan, penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan); dan ketiga, adanya pembatasan upaya hukum sehingga Pengadilan Negeri mempunyai kewenangan yang besar sebagai Pengadilan tingkat pertama dan terakhir pada tindak pidana pemilu yang diancam hukuman kurang dari 18 (delapan belas) bulan dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua dan terakhir untuk tindak pidana pemilu yang diancan hukuman lebih dari 18 (delapan belas) bulan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, ketentuan khusus tersebut belum dapat ditegakkan secara baik karena banyak menghadapi benturanbenturan dengan kepentingan masyarakat, hak-hak terdakwa, dan keadilan hukum. |
S22468-Yulia Apriati Santi.pdf :: Unduh
|
No. Panggil : | S-Pdf |
Entri utama-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama badan : | |
Subjek : | |
Penerbitan : | Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005 |
Program Studi : |
Bahasa : | ind |
Sumber Pengatalogan : | LibUI ind rda |
Tipe Konten : | text |
Tipe Media : | computer |
Tipe Carrier : | online resource |
Deskripsi Fisik : | ii, 248 pages ; 28 cm |
Naskah Ringkas : | |
Lembaga Pemilik : | Universitas Indonesia |
Lokasi : | Perpustakaan UI |
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
S-Pdf | 14-22-39355172 | TERSEDIA |
Ulasan: |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20323521 |